BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam dunia
kesehatan sering kita jumpai permasalahan kematian kepada seorang ibu. Masalah
yang terkait begitu banyak mulai dari Solusio plasenta, Plasenta previa,
Preeklamsia ringan dan berat, eklamsia,
rupture uteri, dan Intrauterine fetal death (IUFD).
Kasus-kasus ini sudah sering terjadi yang hingga akhinya menyebabkan kematian
dan pada Indonesia sendiri angka kematian seorang ibu sangat tinggi , banyak
faktor-faktor yang menyebabkan itu semua terjadi mulai dari faktor umum sampai
dengan khusus. Tentu bidan mempunyai tanggung jawab mengapa hal itu bisa
terjadi dan bagaimana cara penangan yang tepat terhadap kasus yang sering
terjadi agar mengurangi angak kematian di Indonesia.
Pada makalah ini saya banyak mengupas
hal yang terkait pada permasalahan yang terjadi dalam kebidanan seperti kasus
di atas dengan di dukung dari jurnal
dengan sumber yang akurat, tentunya pada jurnal yang saya ambil sudah terlebih
dahulu melakukan penelitian.
1.2 Tujuan
Makalah ini
bertujuan agar setiap mahasiswa dapat memahami dan mencermati setiap kasus dan
bagaimana cara penangannya . Dan di harapkan kepada mahasiswi bidan dapat
menambah wawasan secara lebih luas dan kelak akan di jadikan pelajaran pada
saat telah menjadi seorang bidan.
1.3 Manfaat
Semoga pada
makalah ini memberikan manfaat dalam menganalisis suatu kasus dan membantu
mahasiswi kebidanan dalam mengerjakan tugas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Plasenta Previa
Plasenta
previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium
uteri
internum.1 Gambaran klinis yang paling khas pada plasenta previa
adalah
perdarahan tanpa rasa sakit, yang biasanya timbul pada trimester
kedua
atau setelahnya.
Plasenta previa memiliki beberapa faktor risiko yaitu usia,
paritas,
riwayat seksio sesaria, riwayat abortus, dan suku. Pada
penelitian oleh
Tabassum et al., tahun 2010 di Pakistan mendapatkan bahwa
usia adalah
salah satu faktor risiko dari plasenta previa, yaitu usia ≥ 35
tahun memiliki
risiko hampir 2 kali lebih besar dibandingkan usia < 35
tahun, serta ibu
4,5 kali mengalami plasenta previa.5 Berdasarkan penelitian oleh Kim et
al. tahun 2011, didapatkan
bahwa wanita Asia dan wanita kulit hitam
memiliki risiko mengalami plasenta previa lebih tinggi
dibandingkan wanita
kulit putih.6
Hasil penelitian oleh Abdat di rumah sakit dr. Moewadi Surakarta
tahun 2010 mendapatkan risiko terjadinya plasenta previa pada
ibu
multiparitas meningkat 2,53 kali.7 Penelitian Alit dan Kornia di
rumah sakit
Sanglah Denpasar, Bali, tahun 2002, mendapatkan peningkatan
risiko
terjadinya plasenta previa pada wanita dengan riwayat abortus
sampai 4
kali lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa riwayat
abortus.8
Prevalensi yang didapatkan pada penelitian ini (2,02%) lebih
rendah dibandingkan prevalensi yang dilaporkan pada studi oleh
Halimi
tahun 2003-2007 di Pakistan 10, Eichelberger et al. pada
Desember 2003-
2007 11, Dirjen Yanmedik tahun 2005 3, Imna tahun 2010 di RS dr.
Pirngadi Medan 4, Rambey tahun 2005-2006 di RS dr. M. Djamil
Padang
12, namun lebih tinggi dari yang dilaporkan Hung et al.
tahun 2007 di
Taiwan 13 dan RS Parkland, Amerika Serikat pada tahun
1998-2006.2 Hal
ini bisa dikarenakan pencatatan dan penyimpanan rekam medis
secara
tidak sistematis dan lengkap,. Penyebab lain yang mungkin adalah
masih
rendahnya penggunaan ultrasonografi (USG) baik untuk diagnosis
maupun deteksi dini. Padahal dengan meluasnya penggunaan
ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih
dini,
insiden plasenta previa bisa lebih tinggi.1 Adanya perbedaan
prevalensi
plasenta previa yang dilaporkan pada studi-studi yang dilakukan
8
disebabkan perbedaan populasi yang diteliti dan perbedaan metode
diagnosis plasenta previa yang dilakukan22.
Penelitian ini mendapatkan bahwa plasenta previa lebih banyak
terjadi pada usia < 35 tahun dan usia memiliki hubungan yang
bermakna
dengan plasenta previa serta merupakan faktor risiko dari
plasenta previa
(OR = 1,93), yang sejalan dengan hasil penelitian dari Hung et
al. tahun
2007 (OR = 2,0-2,2)13, Tabassum et al. tahun 2010 (OR = } 2)5 dan
Widyastuti tahun 2007 (OR = 2,01)14. Dampak peningkatan usia ibu
terutama ≥ 35 tahun kemungkinan besar berhubungan dengan penuaan
uterus, sehingga terjadi sklerosis pembuluh darah arteri kecil
dan arteriol
miometrium, menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata
sehingga plasenta tumbuh dengan luas permukaan yang lebih besar,
untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat, yang akhirnya
menyebabkan terjadinya plasenta previa.8,13
Multiparitas merupakan faktor risiko plasenta previa sebagaimana
yang dilaporkan oleh Davood et al. tahun 2008 (OR =
3,8)15, Abdat pada
tahun 2010 (OR = 2,53)7 dan Simbolon tahun 2012.16 Hasil
penelitian ini
juga menemukan bahwa ibu dengan paritas ≥ 3 memiliki risiko 2,07
kali
mengalami plasenta previa dibandingkan ibu dengan paritas 0-2.
Terdapat
perbedaan OR dengan penelitian sebelumnya yaitu OR yang
didapatkan
lebih rendah, karena perbedaan jumlah sampel yang mempengaruhi
karakteristik sampel penelitian itu sendiri. Meningkatnya risiko
pada
multiparitas adalah disebabkan vaskularisasi yang berkurang dan
atrofi
pada desidua akibat persalinan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan
aliran
darah ke plasenta tidak cukup sehingga plasenta memperluas
permukaannya untuk mencari bagian dengan suplai darah yang
banyak
yaitu bagian segmen bawah uterus dan menutupi jalan lahir, yang
biasanya dikaitkan dengan placental migration.1,17 Hal
yang serupa
diungkapkan oleh Kay et al. tahun 2011 yaitu terjadinya
persalinan
berulang pada wanita multipara mengakibatkan adanya predisposisi
9
perbaikan jaringan yang abnormal pada endometrium sehingga
implantasi
plasenta cenderung di segmen bawah uterus bukan di bagian
fundus.21
Riwayat seksio sesaria dilaporkan oleh Tabassum et al.
tahun 2010
meningkatkan risiko plasenta previa sebesar 5,3 kali dan 1,6
kali pada
penelitian Cromwell et al. tahun 2011, serta Getahun et
al. tahun 2006
melaporkan peningkatan risiko sebesar 2 kali.5,18,19 Studi pada
penelitian
ini mendapatkan tidak adanya hubungan antara riwayat seksio
sesaria
dan plasenta previa, dengan OR sebesar 1,35. Odds Ratio yang
didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan OR yang
dilaporkan pada penelitian sebelumnya, yang diakibatkan
perbedaan
demografi penduduk yang menjadi subjek penelitian karena
perbedaan
tempat penelitian dan perbedaan metodologi penelitian dalam hal
pemilihan kelompok kasus dan kontrol, begitu pula desain
penelitian yang
digunakan. Perubahan patologis dapat terjadi pada miometrium dan
endometrium uterus jika ada jaringan parut bekas seksio sesaria
yang
mengakibatkan implantasi plasenta menjadi rendah pada ostium
uteri
internum sehingga meningkatkan risiko plasenta previa.19,20
Hasil dari penelitian ini mengkonfirmasi hasil penelitian
sebelumnya,
baik yang dilaporkan oleh Hung et al. tahun 2007 (OR =
1,3-3,0), Davood
et al. tahun 2008 (OR = 8,1)
serta Alit dan Kornia tahun 2002 (OR = 3,5) ,
yaitu adanya hubungan antara riwayat abortus dan plasenta previa
serta
riwayat abortus merupakan faktor risiko plasenta previa dengan
OR
sebesar 2,34 untuk penelitian ini yang nilainya lebih rendah
dari hasil
ketiga penelitian tersebut.8,13,15 Hal ini dapat diakibatkan
pertama karena
perbedaan metodologi penelitian, baik dari segi jumlah sampel
penelitian
maupun tempat penelitian dilakukan yang berkaitan dengan
perbedaan
demografi subjek penelitiannya. Kedua, adanya perbedaan tingkat
pajanan faktor risiko, dalam hal ini berupa riwayat abortus,
bisa dilihat dari
jumlah ibu hamil yang memiliki riwayat abortus jumlahnya lebih
sedikit dari
yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya. Adanya riwayat
abortus
pada kehamilan sebelumnya baik yang diinduksi maupun spontan
10
berpengaruh terhadap terjadinya plasenta previa. Mekanisme yang
dapat
menjelaskan pengaruh tersebut adalah kerusakan ataupun
terbentuknya
jaringan parut pada endometrium akibat dilakukannya kuretase
uterus
sehingga menganggu proses implantasi plasenta di bagian fundus
uteri.15
Kesimpulan
Jumlah kasus plasenta previa di RSU dr. Soedarso pada tahun 2009
sampai dengan 2011 adalah 109 kasus dari 5406 persalinan, dengan
persentase 2,02%. Usia maternal, paritas, riwayat seksio sesaria
dan
riwayat abortus merupakan faktor risiko kejadian plasenta previa
pada ibu
hamil di RSU dr. Soedarso tahun 2009 sampai dengan 2011.
2.2 Preeklamsia
Ringan dan Berat
1.
Preeklamsia
Ringan
adalah timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu
pada penyakit trofoblas.
Preeklampsia
ringan bila disertai dengan keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada
posisi berbaring telentang, atau kenaikan sistdik 30 mmHg atau lebih
cara pengukuran sekurang-urangnnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa
1 jam, sebaiknya 6 jam.
b. Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka : atau
kehamilan berat badan 1 kg lebih atau lebih perminggu.
c. Proteinuria kwantitatif 0,3 gram atau lebih perliter :
kwalitatif 1 + atau 2 + pada urun
kater
atau midstream.
Adanya
yang melaporkan angka kejadian sebanyak 6% seluruh kehamilan, dan 12% pada
kehamilan pimigravida. Menurut beberapa penulis dan frekuensi dilaporkan
sekitar 3-10%.
Lebih
banyak dijumpai pada primigravida dari pada multigravida, terutama primigravida
usia muda.
Faktor-faktor
predisposisi untuk terjadinya preeklamsia adalah molahida tidosa, diabetes
melitus, kehamilan ganda, hidrops fetalis, obetasi, dan umur yang lebih dari 35
tahum.
Penanganan
Tujuan utama penanganan ialah :
Pencegahan
terjadi pre-eklamsia berat dan eklamsia
Melahirkan
janin hidup
Melahirkan
janin dengan trauma sekecil kecilnya.
Pada dasarnya penanganan terdiri dari penanganan medik dan obstetrik.
Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optoimal yaitu sebvelum janin mati dalam kandungan akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus.
Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita pre-eklamsi di rumah sakit ialah
- tekanan darah siscol 140 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah diastol 90 mmHg, protein +1 atau lebih.
- Kenaikan berat badan 1,5 Kg atau lebih dalam seminggu berulang
- Penambahan edema berlebihan tiba-tiba
Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optoimal yaitu sebvelum janin mati dalam kandungan akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus.
Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita pre-eklamsi di rumah sakit ialah
- tekanan darah siscol 140 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah diastol 90 mmHg, protein +1 atau lebih.
- Kenaikan berat badan 1,5 Kg atau lebih dalam seminggu berulang
- Penambahan edema berlebihan tiba-tiba
Penanganan pre-eklamsia ringan
Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi untuk penanganan pre-eklamsia. Istirahat dengan berbaring pada posisi tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga elbih banyak. Tekanan pada ekstermitas bawah turun dan resobsi aliran darah tersebut bertambah. Selain itu juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar. Oleh sebab itu, dengan istirahat biasanya tekanan darah turun dan adema berkurang. Pemberian fenobarbital 3 x 30mg sehari akan meningkatkan penderita dan dapat juga menurunkan tekanan darah.
Pada umunya pemberian diuretik dan anti hipertensi pada pre-eklamsia ringan tidak dianjurkan karena obat-obat tersebut tidak menghentikan proses penyakit dan juga tidak memperbaiki prognosis janin. Selain itu, pemakaian obat-obatan tersebut dapat menutupi tanda dan gejala pre-eklamsia berat.
Setelah keadaan normal, penderita dibolehkan pulang, akan tetapi harus dipaksa lebih sering. Karena biasanya hamil sudah tua, persalinan tidak lama lagi. Bila hipertensi menetap, penderita tetap tinggal dirumah sakit. Bila keadaan janin mengizinkan, tunggu dengan melakukan induksi persalinan, sampai persalinan cukup bulan atau > 37 minggu.
Beberapa kasus pre-eklamsia ringan tidak membaik dengan penanganan konservatif. Tekanan darah meningkat, retensi cairan dan proteinuria bertambah, walaupun penderita istirahat dengan pengobatan medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.
Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi untuk penanganan pre-eklamsia. Istirahat dengan berbaring pada posisi tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga elbih banyak. Tekanan pada ekstermitas bawah turun dan resobsi aliran darah tersebut bertambah. Selain itu juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar. Oleh sebab itu, dengan istirahat biasanya tekanan darah turun dan adema berkurang. Pemberian fenobarbital 3 x 30mg sehari akan meningkatkan penderita dan dapat juga menurunkan tekanan darah.
Pada umunya pemberian diuretik dan anti hipertensi pada pre-eklamsia ringan tidak dianjurkan karena obat-obat tersebut tidak menghentikan proses penyakit dan juga tidak memperbaiki prognosis janin. Selain itu, pemakaian obat-obatan tersebut dapat menutupi tanda dan gejala pre-eklamsia berat.
Setelah keadaan normal, penderita dibolehkan pulang, akan tetapi harus dipaksa lebih sering. Karena biasanya hamil sudah tua, persalinan tidak lama lagi. Bila hipertensi menetap, penderita tetap tinggal dirumah sakit. Bila keadaan janin mengizinkan, tunggu dengan melakukan induksi persalinan, sampai persalinan cukup bulan atau > 37 minggu.
Beberapa kasus pre-eklamsia ringan tidak membaik dengan penanganan konservatif. Tekanan darah meningkat, retensi cairan dan proteinuria bertambah, walaupun penderita istirahat dengan pengobatan medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.
Pada tanggal 20
Juni 2012 pukul 16.00 WIB, Ny. E umur 25 tahun mengeluh pusing
dan kakinya bengkak. Ibu mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit apapun.
Riwayat menstruasi siklus 30 hari, banyaknya 3x ganti pembalut, teratur,
lamanya 5 hari, sifat darah encer, dan tidak disminorhoe. Riwayat perkawinan
syah 1 kali dan belum mempunyai anak. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas
yang lalu G1P0A0. Ibu mengatakan belum pernah menyusui sebelumnya. Riwayat
hamil HPHT 08-10-2011 dan ramalan persalinannya tanggal 15-7-2012, ANC 8 kali
teratur, hamil muda keluhan mual muntah, mendapatkan imunisasi TT 2 kali pada
usia kehamilan 20 dan 24 munggu dan hamil tua keluhan pusing dan kaki bengkak.
Ibu mengatakan tidak pernah menggunakan KB apapun, ibu mengatakan tidak
mempunyai riwayat penyakit sistemik seperti DM, TBC, Asma, jantung, hipertensi,
ginjal dan hepatitis dan ibu mengatakan tidak pernah dioperasi, dikeluarganya
tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit apapun dan tidak ada keturunan kembar
baik dari pihak ibu maupun suami. Ibu mengatakan kehamilan ini direncanakan dan
jenis kelamin yang diharapkan laki-laki. Kebiasaan ibu sehari-hari antara lain
makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk bervariasi, sayuran dan buah-buahan,
porsinya setengah piring dan tidak ada pantangan apapun, ibu minum air putih
sehari ± 7-8 gelas dan tidak ada keluhan apapun, istirahat cukup tidur malam ±
6-7 jam dan tidur siang ± 2 jam. Ibu mengatakan tidak merokok dan tidak
mengkonsumsi obat-obatan selain obat dari bidan, untuk eliminasi BAK ± 4 kali
sehari konsistensinya jernih tapi tidak ada keluhan apapun, BAB 1 kali sehari
konsistensi lunak dan berbau khas srta tidak ada keluhan apapun.
Setelah
dilakukan pemeriksaan status generalis didapatkan keadaan umum ibu baik,
kesadaran composmentis, TTV: tekanan darah 140/110mmHg, 37°C, nadi 79x/menit,
respirasi 20x/menit, tinggi badan ibu 162cm, BB sekarang 72 kg, BB sebelum
hamil 68 kg, dan LILA 26 cm. Sedangkan dari hasil pemeriksaan sistematis
muka sedikit bengkak, mata conjungtiva tidak pucat, skelera tidak kuning,
palpebra tidak cekung.Hasil pemeriksaan mamae membesar, tidak ada tumor,
simetris kanan dan kiri, aerola hyperpigmentasi, puting susu menonjol,
kolostrum belum keluar, axilla tidak ada tumor dan nyeri tekan, ekstremitas
tungkai simetris kanan dan kiri, tidak ada varices, oedema positif kanan dan kiri
dan refleks pattela positif kanan dan kiri. Pemeriksaan khusus obstetric
didapatkan inspeksi abdomen membesar dengan arah memanjang dan
tidak ada pelebaran vena, striae albican, linea nigra, palpasi tidak ada
kontraksi, TFU 30cm, Leopold I FU teraba bulat, lunak, tidak melenting (bokong)
, Leopold II kanan teraba panjang, keras, seperti papan ( punggung), kiri
teraba bagian-bagian kecil janin (ekstremitas), Leopold III terisi bulat,
keras, tidak melenting (kepala), Leopold IV divergent 3/5 bagian, lingkar
bendel tidak ada, nyeri tekan tidak ada, TBJ (30-11)x155= 2945 gram, DJJ
terdengar jelas disatu titik frekuensi 146x/menit. Pemeriksaan ano genital
tidak dilakukan, pemeriksaan laboratorium Hb dan urin reduksi tidak dilakukan,
protein urin (++).
Berdasarkan hasil
pengkajian dan hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa
yaitu ibu G1P0A0 hamil 36 minggu > 3 hari dengan preeklamsi
ringan, Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala. Dasar
ibu mengatakan ini kehamilan pertamanya, belum pernah melahirkan dan tidak
pernah keguguran, HPHT 08-10-2011, TD 140/110 mmHg dan hasil pemeriksaan
protein urin (++), DJJ terdengar jelas disatu titik frekuensi 146x/menit,
leopold III teraba bulat, keras, tidak melenting (kepala). Masalah ibu merasa
pusing dan kakinya bengkak, masalah potensial preeklamsi berat antisipasi
melakukan terapi penanganan preeklamsi danobservasi tanda dan gejala PEB, tindakan segera
kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan.
Setelah menentukan
diagnosa pada ibu rencana asuhan yang akan diberikan yaitu beritahu ibu dan
keluarga tentang kondisi bu saat ini, beri terapi penanganan preeklamsi,
anjurkan ibu untuk diet tinggi protein dan rendah lemak, beri tahu ibu
tanda-tanda preeklamsi dan eklamsi, anjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan
kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan
rencana pada ibu maka dapat melakukan tindakan yaitu memberitahu ibu dan
keluarga bahwa kondisi ibu kurang baik yaitu ibu mengalami preeklamsi atau
keracunan dalam kehamilan dimana salah satu cirinya yakni adanya peningkatan
tekadan darah dan adanya protein dalam urin tapi preeklamsinya masih ringan,
memberi terapi penanganan preeklamsi yaitu memberitahu ibu tentang pentingnya
istirahat tidur malam minimal 7-8 jam dan tidur siang minimal 1 jam,
menganjurkan ibu untuk tidak bekerja terlalu berat dan selalu menjaga
ketenangan pikirannya, menganjurkan ibu untuk tidur dengan posisi kaki lebih
tinggi dari kepala, menaganjurkan ibu untuk diet tinggi protein dan rendah
lemak serta mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan untuk mengurangi tekanan
darahnya, memberitahu i u tanda-tanda preklamsi berat dan eklamsi seperti sakit
kepala yang hebat disertai penglihatan kabur, nyeri epigastrium, dan kejang,
menganjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan
tindakan kami dapat mengevaluasi hasil ibu dan keluarga sudah tau
tentang kondisi ibu, ibu mengerti dengan apa yang dianjurkan oleh bidan, ibu
berjanji akan melakukan apa yang dianjurka oleh bidan, ibu sudah tahu tentang
tanda-tanda preeklamsi dan eklamsi, ibu berjanji akan melakukanpemeriksaan
kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan
pengkajian pada pasien Ny. E hamil dengan preeklamsi ringan. Terdapat
kesenjangan pada teori dan tindakan yang telah dilakukan seperti, dalam teori
pemeriksaan ibu hamil seharusnya dilakukan sesuai dengan manajemen varney,
tetapi disini ada beberapa pemeriksaan yang tidak dilakukan seperti pemeriksaan
rambut, hidung, telinga, mulut, leher, pemeriksaan anogenital dan pemeriksaan
Hb dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan.
2.
Preeklampsia
Berat
Dari data yang didapat di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010
didapatkan
234 (11,86%) kasus preeklamsia berat dari 1973 persalinan
dengan umur
kehamilan diatas 20 minggu. Terjadi penurunan 1,46% angka
kejadian
preeklamsia berat apabila dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan oleh
Arie Indrianto (2009).4 Dari seluruh persalinan tersebut
terdapat lima belas
kehamilan (6,4%) dengan jumlah janin ganda. Sehingga jumlah
bayi dari
persalinan ibu hamil dengan preeklamsia di RSUP dr Kariadi
tahun 2010 adalah
249 bayi. Dari 234 ibu hamil dengan preeklamsia berat yang
dirawat, sebagian
besar (70,5%) masuk dalam kategori umur produktif yaitu
antara umur 20 tahun
hingga 35 tahun. Sedangkan 29,5% sisanya berada dalam
kategori umur ekstrim
atau kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Hasil
yang didapat tidak
sesuai dengan sumber literatur dimana risiko terjadinya
preeklamsia meningkat
pada ibu dengan umur terlalu tua atau terlalu muda. Hal ini
mungkin terjadi
karena meningkatnya kesadaran masyarakat tentang bahaya
kehamilan pada
umur ekstrim. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Duckitt
dan Harrington
(2005) mengatakan bahwa seorang nulipara memiliki risiko mengalami
preeklamsia berat dua kali lebih besar.9 Sehingga dapat
dikatakan nullipara dan
primigravida merupakan faktor risiko timbulnya preeklamsia.1
Hal ini sesuai
dengan data yang didapat dimana 35,9% atau 84 dari pasien
belum pernah
melahirkan bayi yang dapat bertahan hidup atau nullipara dan
juga sebagian
besar (31,2%) pasien merupakan primigravida. Duckitt dan
Harrington juga
13
melaporkan bahwa risiko terjadinya preeklamsia meningkat
dengan adanya
peningkatan BMI. Sedangkan risiko preeklamsia berkurang
secara signifikan
pada pasien dengan BMI <20.9 Hal ini sesuai dengan data
yang didapat yaitu 64
kasus (58,2%) memiliki BMI >29 atau masuk dalam kriteria
obese dan 2 kasus
(1,8%) yang memiliki BMI ≤19. Akan tetapi 124 data yang
didapat tidak tercatat
lengkap sehingga tidak dapat diketahui BMI pasien. Selain
itu pencatatan berat
badan hanya dicatat saat pasien masuk atau dirujuk ke RSUP
dr Kariadi
sehingga tidak dapat diketahui penambahan jumlah berat badan
sebelum masa
kehamilan hamil hingga hamil. Penyakit penyerta yang dapat
menjadi penyulit
atau faktor risiko terjadinya preeklamsia yang tersering
adalah hipertensi (8,1%),
penyakit jantung (4,3%) dan diabetes melitus (1,7%). Menurut
penelitian yang
telah dilakukan oleh McCowan, dkk (1996) bahwa wanita dengan
hipertensi
kronik dapat mengalami superimposed preeclampsia yang
dapat meningkatkan
risiko terjadinya kematian perinatal, pertumbuhan janin yang
terhambat, dan
kelahiran sebelum 32 minggu umur kehamilan.9
Tuffnell (2005) melaporkan dalam kurun waktu 1999 hingga
2003 tidak
terdapat kematian maternal dari 1087 pasien preeklamsia
berat.10 Sedangkan
pada penelitian ini dari 234 ibu hamil dengan preeklamsia
berat yang melakukan
persalinan di RSUP dr Kariadi terdapat lima (2,1%) pasien
yang meninggal.
Kelimanya disebabkan karena gagal nafas dan edema paru. Tiga
diantaranya
disertai HELLP sindrom parsial, satu karena efusi pleura dan
satu lagi karena
DIC dan gagal ginjal akut. Dari lima kasus tersebut, satu
diantaranya meninggal
sebelum persalinan. Terjadi peningkatan angka kematian
maternal jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie
Indrianto, dimana
pada tahun 2004 angka kematian maternal karena preeklamsia
berat di RSUP dr
Kariadi adalah 1,8%.4 Sebagian besar dari pasien preeklamsia
berat melakukan
persalinan dengan tindakan (69,3%) dan yang paling sering
adalah dengan
seksio sesarea (44%) lalu diikuti dengan ekstraksi vakum
(20,1%). Sedangkan
30,3% lainnya melakukan persalinan spontan pervaginam. Hasil
yang didapat
hampir serupa dengan hasil dari penelitian yang dilakukan
oleh Alexander,dkk
(1999) dimana dari 278 bayi tunggal lahir hidup di Parkland
Hospital separuh
14
diantaranya menjalani persalinan melalui seksio sesarea.1
Dari data yang didapat
hanya sebagian kecil dari pasien dengan preeklamsia berat
yang mengalami
perdarahan antepartum (4,7%) dan perdarahan postpartum
(2,1%). Perdarahan
antepartum yang lebih sering terjadi adalah plasenta previa
(4,3%), sedangkan
solusio plasenta hanya satu kasus (0,4%). Hasil yang didapat
tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ananth dkk (1999) dimana
terjadi peningkatan
insiden solusio plasenta tiga kali lipat pada hipertensi
kronik dan empat kali lipat
pada preeklamsia berat.1 Hal ini mungkin disebabkan karena
sebagian besar dari
pasien merupakan nullipara maupun primipara dimana salah
satu faktor risiko
terjadinya solusio plasenta selain preeklamsia dan
hipertensi kronik adalah
paritas yang tinggi sehingga didapat angka kejadian solusio
plasenta yang
rendah. Menurut penelitian yang dilakukan Frediksen dkk
(1999) insidensi
plasenta previa meningkat seiring dengan bergesernya umur
populasi obstetris
ke arah yang lebih tua.11 Hal ini sesuai dengan hasil yang
didapat dimana
kejadian plasenta previa meningkat seiring dengan
peningkatan umur pasien
preeklamsia berat. Rendahnya angka kejadian perdarahan
postparum
menandakan bahwa telah terjadi penangan persalinan yang baik
sehingga
kejadian perdarahaan postpartum dapat dihindari. Pada
penelitian ini terdapat
tujuh kasus (3%) eklamsia dari 234 pasien dengan preeklamsia
berat pada tahun
2010 di RSUP dr Kariadi. Dari tujuh kasus tersebut, empat
diantaranya
mengalami kejang setelah persalinan. Sedangkan sisanya
mengalami kejang
saat perawatan atau sebelum dirujuk ke RSUP dr Kariadi.
Selain itu terdapat
pula 19 kasus (8,1%) impending eclampsia yang
menunjukan tanda- tanda
prodormal, atau tanda khas yang dapat menjadi tanda akan
terjadinya kejang,
seperti pusing, mual, muntah, nyeri ulu hati dan pandangan
kabur. Dari 19 kasus
tersebut hanya satu yang mengalami eklamsia. Chappell (2008)
melaporkan
terdapat tiga pasien (2%) yang mengalami sindrom HELLP dari
180 pasien
superimposed preeclampsia.6 Sedangkan pada penelitian ini, angka kejadian
sindrom HELLP lebih rendah 0,3% yaitu terdapat empat kasus
(1,7%) sindrom
HELLP yang terdiri dari trombositopenia dan gangguan fungsi
hati yang
ditandai dengan kenaikan kadar LDH dan SGOT dalam darah.
Selain itu
15
terdapat 26 kasus (11,11%) sindrom HELLP parsial yang hanya
terdiri dari satu
atau dua gejala sindrom HELLP. Dari 26 kasus tersebut
terdapat sembilan belas
kasus trombositopenia, tiga belas kasus kadar SGOT lebih
dari 70 UI/L dan
delapan kasus kadar LDH melebihi 600 UI/L. Pada penelitian
ini didapat 24
kasus (10,3%) edema paru pada pasien preeklamsia berat di
RSUP dr Kariadi.
Dimana lima diantaranya meninggal dunia. Menurut penelitian
yang dilakukan
oleh Arie Indrianto di RSUP dr Kariadi pada tahun 2004
terdapat empat kasus
edema paru (1,7%) dimana tiga diantaranya, yang disertai
dengan sindrom
HELLP dan payah jantung, dinyatakan meninggal dunia. Selain
edema paru
komplikasi lain pada ibu karena preeklamsia berat adalah
gagal ginjal akut.
Didapatkan empat kasus (1,7%) gagal ginjal akut pada pasien
preeklamsia berat
di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010. Pada penelitian yang
dilakukan oleh
Tuffnell terdapat enam kasus (0,6%) gagal ginjal hingga
memerlukan dialisis.10
Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya penurunan
kesadaran pasca serangan
kejang eklamsia yang dapat disebabkan karena komplikasi pada
otak seperti
edema serebri dan perdarahan otak. Hal ini mungkin
disebabkan karena
sedikitnya kasus preeklamsia berat yang mengalami eklamsia
(3%). Karena
menurut penelitian yang dilakukan oleh Cunningham dan
Twickler (2000)
selama 13 tahun di Parkland Hospital hanya terdapat
10 dari 175 wanita yang
mengalami eklamsia yang memperlihatakan adanya edema
serebri. Loureiro dkk
(2003) melaporkan dari 25% wanita dengan eklamsia
memperlihatkan adanya
area infark serebri pada pemeriksaan neuroimaging.1
Sedangkana pada pasien
preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi tidak dilakukan
pemeriksaan CT Scan
sehingga tidak didapatkan kasus komplikasi pada otak.
Dari data yang didapat sebagian besar pasien preeklamsia
melahirkan
bayi dengan berat badan diatas 2500 gram (63,8%). Begitu
juga dengan hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Chappell dimana hanya 56%
bayi yang lahir dari
pasien preeklamsia berat memiliki berat diatas 2500 gram.6
Dari berat badan
badan bayi lahir didapatkan juga angka kejadian pertumbuhan
janin yang
terhambat yaitu sebanyak 17 kasus (7%). Angka kejadian
pertumbuhan janin
yang terhambat dalam penelitian ini diambil dari diagnosis
dalam catatan medik.
16
Pada penelitian ini sebagian besar (72,8%) bayi lahir pada
umur kehamilan lebih
dari 37 minggu. Terjadi peningkatan angka kejadian kelahiran
preterm sebesar
1,7% apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Arie
Indrianto dimana terdapat angka kejadian kelahiran preterm
sebesar 25,5%.4
Akan tetapi hasil yang berbeda dilaporkan oleh Tuffnell
dimana dari 1078 pasien
preeklamsia berat sebagian besar (65,3%) lahir pada umur
kehamilan kurang
dari 37 minggu.10 Begitu juga dengan Chappell yang
melaporkan bahwa 75%
dari bayi yang lahir dilahirkan pada umur kehamilan kurang
dari 37 minggu.6
Sebagian besar (83,3%) bayi lahir dengan nilai skor APGAR
lebih dari
tujuh,sehingga terdapat 16,7% atau 38 kasus yang lahir dalam
keadaan nilai skor
APGAR kurang dari tujuh. Dari 38 kasus tersebut, sebelas
bayi mengalami
asfiksia berat dan tiga diantaranya tidak dapat bertahan hidup.
Dari 244 bayi
yang lahir didapatkan angka kematian perinatal sebesar 7,8%
atau 19 perinatal
meninggal baik dalam kandungan atau sesaat setelah
persalinan. Sebagian besar
dari angka kejadian kematian perinatal tersebut meninggal
dalam kandungan
atau intra uterine fetal death (IUFD) sebanyak 84,2%.
Sisanya meninggal
karena asfiksia berat (15,8%).Hasil dari penelitian ini
apabila dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie Indrianto maka
terlihat peningkatan
presentase kematian perinatal sebesar 2,1%. Akan tetapi
presentase kematian ini
lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Tuffnell
dimana terdapat 54 (4,7%) kematian perinatal dari 1145 bayi
yang lahir dan
penelitian yang dilakukan Chappell dimana terdapat 7 (3,8%)
kematian perinatal
dari 180 bayi yang lahir.4,6,10
Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak semua data
pasien
preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010 dapat
diambil karena
ada beberapa data yang tidak tercatat dengan baik dalam
catatan medik dan
beberapa catatan medik yang tidak dapat ditemukan. Selain
itu data diambil dari
diagnosis terakhir sebelum pasien meninggalkan rumah sakit
sehingga terdapat
kemungkinan terjadi human error dalam penulisan data
dalam catatan medik.
17
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian pengaruh preeklamsia berat pada
kehamilan terhadap
keluran maternal dan perinatal di RSUP dr Kariadi didapatkan
bahwa terjadi
peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal dan
perinatal. Pada penelitian
ini didapatkan keluaran maternal pada preeklamsia berat
berdasarkan profil
obstetri meliputi antara lain cara persalinan diakhiri
dengan seksio sesarea 103
kasus (44%), perdarahan antepartum yang meliputi plasenta
previa 10 kasus
(4,3%) dan solusio plasenta 1 kasus (0,4%), perdarahan
postpartum 5 kasus
(2,1%). Keluaran maternal pada preeklamsia berat berdasarkan
komplikasi
karena preeklamsia berat meliputi antara lain eklamsia 7
kasus (3%), impending
eclampsia 19 kasus (8,1%), sindrom HELLP 4 kasus (1,7%),
sindrom HELLP
parsial 26 kasus (11,1%), edema paru 24 kasus (10,3%), gagal
ginjal akut 4
kasus (1,7%), kematian maternal adalah 5 kasus (2,1%).
Keluaran perinatal pada
preeklamsia berat antara lain berat bayi lahir rendah (BBLR)
88 kasus (36,2%),
pertumbuhan janin yang terhambat 17 kasus (7%), kelahiran
preterm 66 kasus
(27,2%), asfiksia neonatorum 38 kasus (16,7%), kematian
perinatal adalah 19
kasus (7,8%). Kematian maternal adalah 5 kasus (2,1%)
Sebagai saran, perlu dilakukan pencatatan data catatan medik
secara
lengkap dan benar sehingga diharapkan dikemudian hari
apabila diadakan
penelitian menggunakan catatan medik dapat didapatkan data
yang optimal dan
perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut tentang faktor
risiko preeklamsia
berat sehingga dapat diketahui karakteristik ibu hamil yang
berpotensi
mengalami preeklamsia berat.
2.3 Solusio
Plasenta

Sulosio plasenta menurut derajat
lepasnya plasenta dibagi menjadi :
Solusio
plasenta lateralis/parsialis
Bila hanya sebgian dari plasenta yang
terlepas dari tempat perletakannya
Solusio
plasenta totalis
Bila seluruh bagian plasenta sudah
terlepas dari perletakannya
Prolapsus
plasenta
Kadang-kadang plasenta ini turun ke
bawah dan dapat teraba pada pemeriksaan dalam
Perdarahan
antepartum termasuk salah satu penyebab kematian ibu yang banyak terjadi di
Indonesia, yaitu sebesar 15 % dari keseluruhan angka kematian ibu. Penyebab
kematian ibu di negara berkembang yaitu perdarahan (25 %), sepsis (15 %),
aborsi yang tidak aman (13 %), hipertensi (12 %), persalinan macet (8 %),
lain-lain (8 %), dan penyebab tidak langsung (19 %). 1
Perdarahan antepartum dapat
mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin pada ibu hamil yang mengalaminya, yang
disebabkan hilangnya banyak darah ibu serta bayi.3 Keadaan demikian
dikhawatirkan dapat berpengaruh pada kondisi bayi yang dilahirkan. Kondisi bayi
yang baru dilahirkan dapat dinilai dengan skor apgar, yang merupakan singkatan
dari Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration. Skor apgar
adalah suatu cara sederhana untuk menentukan kondisi bayi dengan cepat, sesaat
setelah dilahirkan.4
Perdarahan antepartum berkaitan dengan
risiko hasil persalinan yang buruk.3 Baik atau buruknya hasil persalinan dapat
dinilai antara lain dengan melihat skor apgar bayi yang dilahirkan. Skor apgar
akan sangat menentukan tindakan medis apakah yang harus diberikan untuk menyelamatkan
kondisi bayi. Skor apgar bayi yang rendah berarti bayi perlu perawatan
postnatal yang lebih segera dan intensif dibandingkan bayi yang skor apgarnya
agak rendah atau yang normal.4
Menurut WHO, kurang lebih 80% kematian maternal merupakan
akibat langsung
dari komplikasi langsung selama kehamilan, persalinan dan
masa nifas dan 20%
kematian maternal terjadi akibat penyebab tidak
langsung.1,7) Perdarahan, terutama
perdarahan post partum, dengan onset yang tiba – tiba dan
tidak dapat diprediksi
sebelumnya, akan membahayakan nyawa ibu, terutama bila ibu
tersebut menderita
anemia. Pada umumnya, 25% kematian maternal terjadi akibat
perdarahan hebat,
sebagian besar terjadi saat post partum. Sepsis / infeksi
memberikan kontribusi 15%
terhadap kematian maternal, yang pada umumnya merupakan
akibat dari rendahnya
higiene saat proses persalinan atau akibat penyakit menular
seksual yang tidak diobati
sebelumnya. Infeksi dapat
dicegah secara efektif dengan melakukan asuhan persalinan
yang bersih dan deteksi serta manajemen penyakit menular
selama kehamilan. Perawatan
postpartum secara sistematik akan menjamin deteksi penyakit
infeksi secara cepat dan
dapat memberikan manajemen antibiotika secara tepat.
Hipertensi selama kehamilan,
khususnya eklamsia memberikan kontribusi 12% terhadap
kematian maternal. Kematian
ini dapat dicegah dengan melakukan monitoring selama
kehamilan dan dengan
pemberian terapi antikonvulsan, seperti magnesium sulfat.
Abortus tidak aman (unsafe
abortion)
memberikan kontribusi 13% terhadap kematian maternal, hal ini berkaitan
dengan komplikasi yang ditimbulkan, berupa sepsis,
perdarahan, perlukaan uterus dan
keracunan obat – obatan. Di beberapa belahan dunia,
sepertiga atau lebih kematian
maternal berhubungan dengan abortus tidak aman. Kematian ini
dapat dicegah apabila
para ibu memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan
keluarga berencana, dan
apabila abortus tidak dilarang secara hukum, maka abortus
dapat dilakukan dengan
pemberian pelayanan abortus secara aman. Partus lama atau
partus macet menyebabkan
kurang lebih 8% kematian maternal. Keadaan ini sering
merupakan akibat dari
disproporsi sefalopelvik (bila kepala janin tidak dapat
melewati pelvis ibu) atau akibat
letak abnormal (bila janin tidak dalam posisi yang benar
untuk dapat melalui jalan lahir
ibu).1,4,7) Penyebab tidak langsung dari kematian maternal
memberikan kontribusi sebesar
20% terhadap kematian maternal. Penyebab tidak langsung dari
kematian maternal ini
terjadi akibat penyakit ibu yang telah diderita sebelumnya
atau diperberat dengan
keadaan kehamilan atau penanganannya. Contoh penyebab
kematian maternal tidak
langsung adalah anemia, infeksi hepatitis, malaria,
tuberkulosis, penyakit jantung dan
infeksi HIV/AIDS.1,4,7)
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus
dicurigai bahwa
penyebabnya adalah plasenta previa sampai kemudian ternyata
dugaan itu salah.54)
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta terletak
abnormal yaitu pada segmen
bawah uterus, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
ostium uteri
internum.44,54) Keadaan ini mengakibatkan perdarahan
pervaginam pada kehamilan 28
minggu atau lebih, karena segmen bawah uterus telah
terbentuk, dan dengan
bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih
melebar dan serviks
mulai membuka. Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan
serviks akan
2.4 Eklamsia
didefinisikan sebagai kejadian kejang pada
wanita dengan preeklamsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba,
proteinuria dan udem yang bukan disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit
neurology lain.1,2 Kejang pada eklamsia dapat berupa kejang motorik fokal
atau kejang tonok klonik umum.2 Eklamsia terjadi pada 0,3% kehamilan , dan
terutama terjadi antepartum pada usia kehamilan 20-40 minggu atau dalam
beberapa jam sampai 48 jam dan kadang-kadang lebih
lama dari 48 jam setelah kelahiran.1 Beberapa tanda dan gejala
peringatan yang mendahului eklamsia dapat berupa peningkatan tekanan darah yang
tiba-tiba, nyeri kepala, perubahan visual dan mental, retensi cairan, dan
hiperrefleksia, fotofobia, iritabel, mual dan muntah.1,3 Untuk
menentukan dengan pasti kondisi neuropatologik yang menjadi pemicu kejang dapat
dilakukan pemeriksaan diagnostic seperti foto rongen, CT scan atau MRI.4
Adanya
udem serebri yang difus akan menimbulkan gambaran kejang pada eklamsia.5 Data
menunjukkan bahwa udem sitotoksik maupun udem vasogenik dapat terjadi pada
preeklamsia berat atau eklamsia.6 Udem vasogenik reversible adalah yang
paling predominan sehingga eklamsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele
neurologik yang permanent.7
Dilaporkan
suatu kasus seorang perempuan umur 38 tahun, dalam kondisi hamil 34 minggu
dengan gravida 3, para 1, abortus1, beralamat di Margotirto Kokap, masuk rumah
sakit Dr. Sardjito pada tanggal 14 Juli 2004, dirawat di bangsal obstetri dan
ginekologi dengan diagnosis preeklamsia dan sindrom HELLP parsial. Pasien
dikonsulkan ke bagian saraf dengan keluhan utama nyeri kepala, muntah,
pandangan kabur dan bingung.
Anamnesis
yang diperoleh dari pasien, suami pasien dan dokter yang merawat di bagian
obstetrik dan ginekologi, menunjukkan bahwa 6 hari setelah mondok pasien
melahirkan seorang anak perempuan, sehat, berat 1800 gram, pervaginam dengan
induksi sintosinon. Enam jam postpartum pasien diberikan bolus magnesium sulfat
4 gram. Hari kedua postpartum pasien mengalami kejang tonok-klonik yang
melibatkan seluruh ekstremitas selama 3 menit. Sehari berikutnya pasien kembali
mengalami kejang tonik-klonik umum yang disertai dengan hilangnya kesadaran
selama 5 menit. Kejang dapat dihentikan setelah diberikan 5 mg diazepam
intravena, dan 15 menit berikutnya pasien mulai sadar kembali. Pasien kemudian
diberikan fenitoin peroral dengan dosis 2 x 100 mg, dan selama itu pasien tidak
mengalami kejang. Selain itu selama dirawat di bagian obstetrik dan ginekologi
pasien juga mendapatkan nifedipin peroral 3 x 10 mg untuk mengontrol
hipertensinya. Pada hari ke enam postpartum, pagi hari saat bangun tidur
tiba-tiba pasien merasakan nyeri kepala, mual dan muntah, pandangan kabur dan
bingung. Nyeri kepala dirasakan sekali saat kepala digerakkan. Keluhan ini
tanpa disertai dengan kejang, kelemahan anggota badan, hemiparestesia,
disfonia, gangguan menelan dan kelemahan otot-otot muka. Kondisi pasien
sebelumnya tidak didapatkan adanya riwayat demam, tumor atau trauma kepala,
hipertensi, sakit jantung, diabetes mellitus, strok atau TIK, riwayat
ketergantungan obat, maupun kejang. Kemudian pasien dikonsulkan ke bagian
neurologi.
Pada
pemeriksaan fisik hari ke enam postpartum didapatkan keadaan umum lemah dan
bingung, skala koma Glasgow E4V5M6, tekanan darah 200/100 mmHg, nadi 80
kali/menit, respirasi 20 kali/menit, sclera tampak ikterik dan pandangan kabur
tanpa disertai udem ekstremitas. Pada pemeriksaan psikiatris ditemukan tingkah
laku yang bingung (confused), serta mood yang hipotimik. Pemeriksaan neurologik
menunjukkan visus yang menurun, peningkatan reflek fisiologi dan klonus yang
positif pada anggota gerak kiri, serta
ditemukan reflek patologis pada keempat anggota gerak. Pasien tidak
mengalami gangguan pada fungsi kognisinya.
Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan :
1. Pemeriksaan laboratorium darah: bilirubin total: 2,4;
bilirubin direk: 0,7; bilirubin indidek: 1,6; protein total: 6,1; Albumin: 3,0;
AST: 64; ALT: 28. Laboratorium darah lainnya dalam batas normal.
2. Pemeriksaan elektrokardiografi dalam batas normal.
3. Pemeriksaan X-Ray thorax menunjukkan adanya udem paru
4. Pemeriksaan CT scan kepala menunjukkan udem serebri difus
dengan effacement ventrikel, dan tidak ditemukan tanda-tanda infark,
perdarahan ataupun tumor.
5. Pemeriksaan fundoskopi (oleh bagian mata) menunjukkan
adanya papil udem pada kedua mata dengan elevasi 6-7 dioptri, dengan tanda
perdarahan retina minimal pada mata kanan.
Terapi
yang diberikan pada penderita ini adalah: oksigen 2-3 liter/menit, infuse
asering 16 tetes/menit, injeksi furosemid 20 mg/24 jam, nifedipin tablet 2x10
mg, aspar K 2x1 tablet, dan infuse magnesium sulfat 100 ml/6jam.
Pada
perkembangan penyakitnya pasien sempat mengalami penurunan kesadaran dengan
skor koma Glasgow E2V2M3 dengan tanda-tanda herniasi berupa penurunan reflek
cahaya dan hilangnya fenomena doll’s eye. Akan tetapi kondisi segera
membaik dengan terapi yang diberikan.
PEMBAHASAN
Pada
pasien ini tanda-tanda eklamsia mulai terjadi pada hari kedua postpartum dengan
munculnya gejala kejang tonik-klonik pada seluruh badan. Meskipun kejang dapat
diatasi namun kejadian eklamsi masih tetap berlanjut sampai hari keenam
postpartum dengan tanda-tanda nyeri kepala, mual dan muntah, pandangan kabur
dan bingung. Adanya tanda-tanda tersebut perlu dicurigai adanya late
postpartum eclampsia. Perkembangan eklamsia postpartum dapat terjadi 3-4
minggu setelah kelahiran. Beberapa peneliti menyebutkan 50% kejang terjadi
antepartum, 25% intrapartum, dan 25% postpartum.1 Peneliti lain
menyebutkan hasil yang berbeda bahwa kejang pada
eklamsia terjadi 64% postpartum, 38% antepartum, dan 18% intrapartum.4 Eklamsia
post partum dapat terjadi karena pada saat itu level substansi konstriktor yang
dilepaskan oleh plasenta akan menurun sehingga akan terjadi overperfusi darah
serebral.9
Penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar kejang postpartum (93%) berhubungan dengan
udem serebri sebagai manifestasi encefalopati hipertensi pada eklamsia7 , dan
hanya terdapat 0,01-0,05 % dari seluruh kehamilan yang merupakan stroke
postpartum. Kejang, hipertensi, proteinuria, dan gangguan fisual dapat terjadi
baik pada eklamsia pospartum maupun pada stroke postpartum sehingga dua kondisi
tersebut sering misdiagnosis.10,11
Tidak
terdapat simtom patognomonik yang spesifik yang dapat memberikan gambaran
adanya udem serebri. Adanya nyeri kepala akut yang biasanya terjadi pada pagi
hari dan meningkat dengan pergerakan kepala, dengan atau tanpa muntah, disertai
tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial yang difus dapat dicurigai adanya
udem serebri.12 Dengan demikian untuk menentukan kondisi neuropatologik
yang mendasari terjadinya kejang pada eklamsia perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostic seperti CTscan kepala atau MRI.4
Pemeriksaan
CT scan kepala pada pasien ini ditemukan adanya udem serebri yang difus. Data
menunjukkan bahwa pada eklamsia dapat terjadi udem sitotoksik maupun vasogenik.6 Cunningham
pada penelitiannya menyebutkan bahwa udem vasogenik terjadi pada semua
penderita eklamsia, dan 18% diantaranya terdeteksi pula adanya udem sitotoksik.5
Secara
teoritis terdapat 2 penyebab terjadinya udem serebri fokal yaitu adanya
vasospasme dan dilatasi yang kuat. Teori vasospasme menganggap bahwa
overregulasi serebrovaskuler akibat naiknya tekanan darah menyebabkan
vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal.1,5,13 Akibat
iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membrane sel sehingga
akan terjadi kegagalan ATP-dependent Na/K pump yang akan menyebabkan
udem sitotoksikApabila proses ini terus berlanjut dapat terjadi rupture
membrane sel yang menimbuklan lesi infark yang bersifat irreversible.8 Teori force
dilatation mengungkapkan bahwa akibat peningkatan tekanan darah yang
ekstrem pada eklamsia menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi
sehingga terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan
peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan
terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan ini
akan menimbulkan terjadinya udem vasogenik.1,5,8
Udem
vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang dapat menimbulkan
kejang pada eklamsia.1 Perluasan udem serebri yang difus hanya terjadi pada 6%
saja, dan 30%-nya dapat berkembang menjadi herniasi transtentorial.5 Akibat
efek penekanan vaskuler akibat perluasan udem vasogenik ini dapat memperparah
kondisi iskemiknya yang menimbulkan infark dan perdarahan perikapiler sehingga
akan memperburuk prognosis. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi pengelolaan
pasien dan harus lebih hati-hati dalam mengontrol tekanan darah.14
Pemeriksaan
MRI dengan metode diffusion weighted imaging dapat membedakan gambaran
udem serebri sitotoksik dan vasogenik, karena dapat mendeteksi perubahan
distribusi molekul air pada jaringan serebral.7 Gambaran neuroradiologik serta
defisit neurologik secara klinis pada eklamsia bersifat reversibel.8 Felz
dkk. menemukan bahwa lesi sitotoksik dapat terjadi pemulihan yang sempurna.1 Peneliti
lain membuktikan bahwa udem vasogenik yang terutama terjadi pada penderita
eklamsia bersifat reversibel yang akan mengalami perbaikan dengan pengobatan
yang cepat. Dengan demikian eklamsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele
neurologik yang permanent.7
Udem
serebri pada eklamsia bersifat reversibel sehingga pemahaman patofisiologi udem
serebri sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis dan terapi pada
eklamsia. Pengobatan udem serebri secara umum meliputi: 15
1. Hiperventilasi, yang menyebabkan darah menjadi lebih
alkali yang menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga akan
mengurangi udem serebri dan menurunkan tekanan intracranial.
2. Manitol, yang secara osmotic akan menarik cairan dari
jaringan otak kembali ke vaskuler sehingga dapat mengurangi udem serebri dan
menurunkan tekanan intracranial.
3. Mengontril hipertensi maligna, yang menimbulkan
peningkatan tekanan darah serebral dan kebocoran cairan darah sehingga
menimbulkan udem serebri.
Pada pasien ini
diberikan injeksi diazepam untuk menghentikan kejang yang terjadi, dan fenitoin
peroral untuk mengontrol kejang dan mencegah rekurensi kejang. Diazepam dapat
dipergunakan untuk mengontrol kejang dengan cepat, akan tetapi penggunaanya
untuk mencegah rekurensi kejang dengan infuse intravena atau pemberian bolus
berulang masih diperdebatkan karena efek sampingnya berupa hipotoni,
hiponatremia dan apnea. Antikonvulsan seperti fenitoin dapat dipergunakan untuk
mengatasi dan mengontrol kejang pada eklamsia tanpa menimbulkan komplikasi
maternal dan fetal, namun penggunaannya pada eklamsia masih banyak
diperdebatkan.2
Pemberian
magnesium sulfat pada pasien ini dapat berfungsi sebagai pencegahan kejang dan
mencegah rekurensi kejang pada eklamsia. Beberapa penelitian oleh Duley dkk.
menunjukkan bahwa magnesium sulfat merupakan pilihan utama untuk mencegah
eklamsia. Magnesium sulfat lebih efektif daripada diazepam untuk terapi dan
pencegahan eklamsia.16 Dibandingkan dengan fenitoin, magnesium sulfat juga
lebih efektif untuk terapi eklamsia dan dapat mengurangi rekurensi kejang pada
eklamsia.17
Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah dengan memblok reseptor
NMDA yang berperan pada terjadinya kejang, atau memblok pintu kalsium yang
diperlukan untuk kontraksi otot polos vaskuler sehingga dapat dipergunakan
untuk mencegah vasospasme pada eklamsia.2,6 Data menunjukkan bahwa efek
dilatator pembuluh darah sistemik lebih prominen daripada vasodilatator
serebralnya sehingga akan menurunkan tekanan perfusi serebral yang akan
mencegah terjadinya udem serebri. Efek inilah yang membuat magnesium sulfat
penting dalam mekanisme penekanan kejang.6
Beberapa
penelitian oleh Duley dkk. menunjukkan bahwa magnesium sulfat merupakan pilihan
utama untuk mencegah eklamsia. Magnesium sulfat terbukti lebih efektif daripada
diazepam untuk terapi dan pencegahan eklamsia.16,17 Selain itu magnesium sulfat
juga lebih efektif untuk terapi eklamsia dan dapat mengurangi kejang pada
eklamsia dibandingkan dengan fenitoin.18
Penggunaan
manitol pada pasien ini adalah sebagai osmoterapi yang akan menurunkan volume
otak dengan menurunkan kandungan airnya, menurunkan volume darah dengan
vasokonstriksi, dan menurunkan volume liquor cerebro spinalis (LCS) dengan
menurunkan kandungan airnya. Manitol juga akan memperbaiki perfusi serebral
dengan menurunkan
viskositas atau merubah rheologi sel darah merah serta mempunyai efek protektif
terhadap biochemical injury.12
Penggunaan
furosemid pada pasien ini selain sebagai antihipertensi, juga sekaligus mempunyai
efek memperpanjang efek osmotic dari pengobatan manitol.12 Rekomendasi
penggunaan antihipertensi pada penderita eklamsia adalah tekanan darah sistolik
≥ 160 mmHg dan diastolic > 105 mmHg atau bila tekanan arteri rata-rata (MAP)
≥ 125 mmHg. Pengobatan ini bertujuan untuk menurunkan resiko gangguan
autoregulasi serebrovaskuler akibat hipertensi, sehingga hiperperfusi serebral
yang dapat menimbulkan udem vasogenik dapat dicegah. Beberapa rejimen yang
direkomendasikan adalah hydralazine, labetolol, nifedipin dan sodium
nitropruside.4,19
Pada
pasien ini diberikan nifedipin sebagai antihipertensi. Nifedipin peroral
terbukti efektif dalam pengobatan hipertensi emergensi akut yang terjadi pada
kehamilan, yang dapat mengontrol hipertensi dengan lebih cepat. Adanya
kecenderungan deplesi dan penurunan perfusi ginjal pada eklamsia dapat
diperbaiki dengan pemberian nifedipin peroral karena efeknya yang memperbaiki
sirkulasi darah ke ginjal. Selain itu nifedipin aman digunakan karena tidak
menurunkan aliran darah uteroplasenta dan tidak berpengaruh terhadap
abnormalitas jantung fetal.20 Pada pasien ini juga diberikan oksigenasi
yang merupakan upaya hiperventilasi. Hiperventilasi akan membantu menurunkan
peningkatan tekanan intracranial.15,12
Hipertensi
pada pasien ini merupakan hipertensi emergensi, dimana terjadi komplikasi
sistemik pada paru dengan adanya udem paru pada pemeriksaan X-Ray thoraks,
serta liver yang nampak pada pemeriksaan laboratorium darah dengan peningkatan
bilirubin total, bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, dan peningkatan
AST. Dengan adanya peningkatan nilai tes fungsi hati ini dapat dikatakan
sebagai sindroma HELLP (Hemolisis, Elevated Liver function test, Low Platelet
count) parsial. Selain itu keterlibatan sistemik pada eklamsia sering juga
terjadi pada ginjal dan plasenta. Adapun proses yang terjadi pada organ-organ
tersebut identik dengan proses mikrovaskuler yang terjadi di otak.1
Dari
kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemberian antiudem yang cepat dan tepat
berdasarkan pemahaman patofisiologi udem serebri yang terjadi pada eklamsia
akan memperbaiki manifestasi klinis kelainan neurologi. Udem sitotoksik pada
pasien ini dapat
diperbaiki
dengan pemberian manitol dan magnesium sulfat, sedangkan udem vasogenik dapat
diperbaiki dengan pemberian nifedipin sebagai obat antihipertensi. Selain itu
udem serebri dapat pula diatasi dengan pemberian oksigenasi.
2.5 Intrauterine fetal death (IUFD)
Intrauterine
fetal death (IUFD) adalah janin yang mati dalam
rahim
dengan berat 500 gram atau lebih atau kematian janin
dalam rahim pada kehamilan 20
minggu atau lebih. Terdapat beberapa faktor
maternal, fetal, dan plasenta yang
mempengaruhi risiko IUFD. Dalam kasus ini, diagnosis
IUFD ditegakkan berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Beberapa studi yang dilakukan pada akhir-akhir ini
melaporkan sejumlah
faktor risiko kematian fetal, khususnya IUFD.
Peningkatan usia maternal akan
meningkatkan risiko IUFD. Wanita diatas usia 35
tahun memiliki risiko 40-50%
lebih tinggi akan terjadinya IUFD dibandingkan
dengan wanita pada usia 20-29
tahun. Risiko terkait usia ini cenderung lebih berat
pada pasien primipara
dibanding multipara. Selain itu, kebiasaan buruk
(merokok), berat maternal,
kunjungan antenatal care, faktor sosioekonomi
juga mempengaruhi resiko
terjadinya
IUFD (Sarah and Mcdonald, 2007).
Kasus
Pada tanggal 24 Agustus 2012 datang
seorang pasien, Ny. M, G3P2A0,
38 tahun, gravid 28 minggu ke RSUD
Jendral Ahmad Yani Metro dengan keluhan
utama perut terasa kencang sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak
pernah merasa perutnya kencang seperti
ini sebelumnya. Sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, telah keluar air-air dan
lendir dari liang kemaluannya. Lendir
berwarna bening, lengket, dan tidak ada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
13
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
darah. Pasien merasa tidak ada gerakan
bayi sejak satu minggu terakhir. Pasien
merasa perutnya tidak bertambah besar.
Pasien juga merasa mules-mules seperti
mau melahirkan sejak tadi pagi hari,
hilang timbul dan tidak teratur.
Pasien melakukan antenatal care (ANC)
di Puskesmas 3 kali selama
kehamilan, tidak teratur setiap bulan,
terakhir pada 1 Agustus 2012 dan terdapat
denyut jantung janin (DJJ), selama ANC
dikatakan tidak ada kelainan. Pasien
tidak pernah dilakukan USG.
Pasien tidak pernah mengalami trauma
selama hamil, pasien juga tidak ada
riwayat demam tinggi dan alergi, riwayat
minum alkohol dan merokok juga
disangkal pasien, riwayat memelihara
binatang peliharaan disangkal, riwayat
makan makanan setengah matang/panggang
disangkal, riwayat keputihan
disangkal, riwayat minum obat-obatan
lama juga disangkal.
Pasien mengalami haid pertama haid
terakhir (HPHT) pada tanggal 27
Januari 2012 dengan taksiran persalinan
pada tanggal 3 Oktober 2012. Pasien
menikah satu kali dengan usia perkawinan
20 tahun. Kehamilan sekarang
merupakan kehamilan ke 3, dimana 2
kehamilan yang lalu dilahirkan dengan
persalinan normal (aterm, pervaginam
spontan) dibantu oleh bidan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran compos mentis, keadaan
umum tampak sakit sedang, tekanan darah
120/70 mmHg, nadi 80x/menit,
pernapasan 22x/menit, dan suhu 36,7oC.
Kepala tampak normocephali, kedua
konjungtiva mata tidak anemis dan tidak
ikterik, kelenjar getah bening (KGB)
pada leher tidak membesar, mammae tampak
simetris, membesar dan areola
hiperpigmentasi, paru-paru, jantung dan
ekstremitas dalam batas normal. Pada
status obstetrikus didapatkan kesan
yaitu tinggi fundus uteri (TFU) 13 cm tidak
sesuai dengan hamil 28 minggu, letak
sungsang, presentasi bokong, punggung
kanan, tidak ada denyut jantung janin,
janin intrauterine, tunggal, mati.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
hemoglobin : 12,5 gr/dl,
hematokrit : 18,2 %, leukosit 9.600/uL,
trombosit 237.000/uL, CT : 2’30’’, BT :
13’’. Pada pemeriksaan USG tampak janin
tunggal, intra uterin, letak sungsang,
tidak ada gerakan janin, tidak ada
denyut jantung janin, terdapat Spalding Sign,
biparietal diameter (BPD) 15 mm, ketuban
sedikit.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
14
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
maka pada pasien ini dapat ditegakkan
diagnosis G3P2A0, 38 tahun, gravid 28
minggu, janin tunggal mati, intrauterin,
presentasi bokong, letak sungsang, belum
inpartu dengan Intrauterine Fetal
Death (IUFD). Penatalaksanaan pada pasien ini,
yaitu observasi tanda-tanda vital/jam,
observasi tanda-tanda inpartu, rencana
terminasi kehamilan, merangsang kontaksi
uterus dengan uterotonika, dan
pemberian antibiotik untuk mecegah
infeksi.
Pembahasan
Pada kasus ini Ny.M, 38 tahun dengan
diagnosis Intra Uterine Fetal Death
( IUFD ). Pada kasus ini, diagnosis IUFD ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
IUFD menurut ICD 10 – International
Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems adalah kematian fetal atau janin pada usia
gestasional ≥ 22 minggu (Petersson,
2002). WHO dan American College of
Obstetricians and
Gynecologist (1995) menyatakan IUFD
adalah janin yang mati
dalam rahim dengan berat badan 500 gram
atau lebih tau kematian janin dalam
rahim pada kehamilan 20 minggu atau
lebih (Petersson, 2003; Winknjosastro,
2008).
Untuk mendiagnosis IUFD dari anamnesis
biasanya didapatkan gerakan
janin yang tidak ada, perut tidak
bertambah besar, bahkan mungkin mengecil
(kehamilan tidak seperti biasanya),
perut sering menjadi keras, merasakan sakit
seperti ingin melahirkan, danpenurunan
berat badan (Agudelo et al., 2004; Mu et
al., 2003; Winknjosastro, 2008).
Pemeriksaan fisik pada pasien IUFD
biasanya didapatkan tinggi fundus
uteri berkurang atau lebih rendah dari
usia kehamilan, tidak terlihat gerakangerakan
janin yang biasanya dapat terlihat pada
ibu yang kurus. Pada palpasi
didapatkan tonus uterus menurun, uterus
teraba flaksid, dantidak teraba gerakangerakan
janin. Pada auskultasi tidak terdengar
denyut jantung janin setelah usia
kehamilan 10-12 minggu (Agudelo et al.,
2004; Mu et al., 2003; Winknjosastro,
2008).
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
15
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
Pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
pada pasien ini yaitu pemeriksaan
obstetri, inspeksi menjelaskan tanda-
tanda kehamilan tidak sesuai dengan masa
kehamilan. Ukuran tinggi fundus uteri
tidak sesuai dengan usia kehamilan. Hal ini
dikarenakan kematian janin pada kasus
ini sudah berlangsung 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Pada palpasi, tidat
teraba gerak janin dan pada auskultasi
dengan pemeriksaan Doppler tidak
terdengar bunyi jantung janin, hal ini turut
membuktikan adanya kematian janin intra
uterin.
Pada pemeriksaan laboratorium, hanya
didapatkan pemeriksaan darah
rutin dalam batas normal. Seharusnya
dilakukan pemeriksaan darah yang lebih
lengkap yaitu fibrinogen untuk
mengetahui ada tidaknya permasalahan pada
faktor pembekuan darah dari faktor janin
terhadap maternal.
Pada pemeriksaan USG biasanya akan
didapatkan beberapa tanda yaitu,
tulang tengkorak saling tutup menutupi (Spalding’s
Sign), tulang punggung janin
sangat melengkung (Naujokes’s Sign),
hiperekstensi kepala (Gerhard’s Sign),
Gelembung gas pada badan janin (Robert’s
Sign), dan femur length yang tak
sesuai dengan usia kehamilan (Agudelo et
al., 2004; Mu et al., 2003;
Winknjosastro, 2008)
Pada pemeriksaan USG yang telah
dilakukan pada pasien ini, ditemukan
janin tunggal, intrauterine dengan letak
sungsang. Didapatkan kesan janin IUFD
disertai dengan deskripsi yang menjadi
dasar diagnosis IUFD, seperti tidak adanya
gerakan janin dan tidak ada denyut
jantung janin, terdapat Spalding’s Sign
sehingga dapat ditegakkan diagnosis IUFD
dengan pasti.
Penyebab IUFD pada pasien ini bisa
dikarenakan faktor maternal dan fetal.
Berdasarkan anamnesis, pasien ini tidak
ada riwayat trauma, infeksi, dan alergi
dalam kehamilannya ini. Pasien juga
mengaku tidak punya kebiasaan minum
alkohol, merokok, dan minum obat- obatan
lama. Namun melihat usia ibu 38
tahun, dapat merupakan faktor ibu yang
terlalu tua saat kehamilan.
Faktor fetal belum dapat kita singkirkan
karena sebaiknya dilakukan
pemeriksaan autopsi apakah terdapat
kelainan kongenital mayor pada janin.
Pasien tidak memiliki binatang
peliharaan, makan daging setengah matang, yang
menurut literatur dapat menyebabkan
infeksi toksoplasmosis pada janin. Anomali
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
16
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
kromosom biasanya terjadi pada ibu
dengan usia diatas 40 tahun, dan dibutuhkan
analisa kromosom. Inkompatibilitas
Rhesus juga sangat kecil kemungkinannya
mengingat pasien dan suaminya dari suku
yang sama.
Menurut United States National Center
for Health Statistic Kematian janin
dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:
(Winknjosastro, 2008; Cuningham et al.,
2004)
1. Golongan I : Kematian sebelum massa
kehamilan mencapai 20 minggu penuh
(early fetal death)
2. Golongan II : Kematian sesudah ibu
hamil 20-28 minggu (intermediate fetal
death)
3. Golongan III : Kematian sesudah masa
kehamilan >28 minggu (late fetal death)
4. Golongan IV : Kematian yang tidak
dapat digolongkan pada ketiga golongan di
atas.
Pada kasus ini, kematian janin yang
terjadi pada usia kehamilan 28
minggu, sehingga pada kasus ini termasuk
golongan II yaitu (intermediate fetal
death). Penatalaksanaan pada kasus IUFD yaitu dengan terminasi
kehamilan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu : (Cuningham et al., 2004; Weeks,
2007)
1. Pilihan cara persalinan dapat secara
aktif dengan induksi maupun ekspektatif,
perlu dibicarakan dengan pasien dan
keluarganya sebelum keputusan diambil.
2. Bila pilihan penanganan adalah
ekspektatif maka tunggu persalinan spontan
hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 %
persalinan spontan akan terjadi
tanpa komplikasi
3. Jika trombosit dalam 2 minggu menurun
tanpa persalinan spontan, lakukan
penanganan aktif.
4. Jika penanganan aktif akan dilakukan,
nilai serviks yaitu
a. Jika serviks matang, lakukan induksi
persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, lakukan
pematangan serviks dengan
prostaglandin atau kateter foley, dengan
catatan jangan lakukan
amniotomi karena berisiko infeksi
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
17
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
c. Persalinan dengan seksio sesarea
merupakan alternatif terakhir
5. Jika persalinan spontan tidak terjadi
dalam 2 minggu, trombosit menurun dan
serviks belum matang, dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol:
a. Berikan misoprostol 25 mcg dipuncak
vagina dan dapat diulang
sesudah 6 jam
b. Jika tidak ada respon sesudah 2x25
mcg misoprostol maka naikkan
dosis menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan
berikan lebih dari 50 mcg
setiap kali dan jangan melebihi 4 dosis.
6. Jika ada tanda infeksi, berikan
antibiotika untuk metritis.
7. Jika tes pembekuan sederhana lebih
dari 7 menit atau bekuan mudah pecah,
waspada koagulopati
8. Berikan kesempatan kepada ibu dan
keluarganya untuk melihat dan
melakukan kegiatan ritual bagi janin
yang meninggal tersebut.
9. Pemeriksaan patologi plasenta adalah
untuk mengungkapkan adanya patologi
plasenta dan infeksi .
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai
dengan literatur, yaitu dilakukan
dengan penanganan aktif. Terminasi
kehamilan segera pada pasien ini dipilih
melalui induksi persalinan pervaginam
dengan mempertimbangkan kehamilan
aterm dan mengurangi gangguan psikologis
pada ibu dan keluarganya.
Penanganan secara aktif pada pasien ini
juga sudah sesuai dengan prosedur yang
seharusnya. Pada kasus ini persalinan
spontan tidak terjadi dalam 2 minggu,
sehingga perlu pematangkan serviks dengan
misoprostol atau prostaglandin F2.
Komplikasi IUFD lebih dari 6 minggu akan
mengakibatkan gangguan
pembekuan darah yang meluas (Disseminated
intravascular coagulation atau
DIC), infeksi, dampak psikologis dan
berbagai komplikasi yang membahayakan
nyawa ibu (Winknjosastro, 2008).
Penyebab kematian pada janin dalam kasus
ini, kemungkinan besar akibat
dari faktor maternal,dimana usia ibu
yang terlalu tua (> 35 tahun) (Sarah and
Mcdonald, 2007).
Edukasi pada pasien ini ialah
penjelasan mengenai program KB dan
memotivasi ibu untuk mengikutinya,
mengingat sudah memiliki anak 2 dan usia
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
18
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
ibu yang sudah tua. Mengedukasi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
mengenai kehamilan pada usia ibu yang
tua. Memberikan dukungan psikologis
agar pasien tidak terganggu akibat
kematian janin yang dialaminya saat ini, dan
menyarankan kepada keluarga pasien
untuk memberikan dukungan yang besar
untuk ibu.
Simpulan. Bedasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien ini didiagnosis
sebagai IUFD. Faktor maternal merupakan
kemungkinan terbesar penyabab kematian
janin dalam kasus ini. Terminasi kehamilan
merupakan tatalaksana dari IUFD.
2.6 Ruptur Uteri
Terjadinya rupture
uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan
suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan anak
karena rupture uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita
jumpai dinegara-negara yang sedang berkembang, seperti afrika dan asia. Angka
ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan
masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas
pengangkutan dari daerah-daerah periver dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan
faktor yang penting.
Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai teknik operasi.
Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai teknik operasi.
Menurut lokasinya:
1. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti; SC klasik(korporal) atau miomektomi.
2. Segmen bawah rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah tegang dan tipis dan akhirnya terjadi rupture uteri.
3. Servik uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versa dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-kolporeksi
Robekan-robekan diantara servik dan vagina.
Upaya pencegahan (provilaksis)
1. Panggul sempit (CPD)
Anjurkan bersalin dirumah sakit
2. Malposisi kepala
Cobalah lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tidak berhasil, pikirkan untuk melakukan SC primer saat inpartu
3. Malpresentasi
letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid servik
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara dan abdomen pendulum
9. Pada bekas SC
10. Uterus cacat karena miomektomi, curetage, manual uri, maka dianjurkan bersalin diruma sakit dengan pengawasan yang teliti
11. Rupture uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara legeartis, jangan melakukan ekspresi kristeler yang berlebih-lebihan, bidan dilarang memberikan oksitosin sebelum janin lahir
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotonika, antibiotika. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi.
1. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti; SC klasik(korporal) atau miomektomi.
2. Segmen bawah rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah tegang dan tipis dan akhirnya terjadi rupture uteri.
3. Servik uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versa dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-kolporeksi
Robekan-robekan diantara servik dan vagina.
Upaya pencegahan (provilaksis)
1. Panggul sempit (CPD)
Anjurkan bersalin dirumah sakit
2. Malposisi kepala
Cobalah lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tidak berhasil, pikirkan untuk melakukan SC primer saat inpartu
3. Malpresentasi
letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid servik
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara dan abdomen pendulum
9. Pada bekas SC
10. Uterus cacat karena miomektomi, curetage, manual uri, maka dianjurkan bersalin diruma sakit dengan pengawasan yang teliti
11. Rupture uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara legeartis, jangan melakukan ekspresi kristeler yang berlebih-lebihan, bidan dilarang memberikan oksitosin sebelum janin lahir
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotonika, antibiotika. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi.
Kasus
Senin 25 Desember
2012 pukul 10.00 WIB
Ibu datang
kebidan mengatakan hamil anak ke lima sudah melahirkan secara normal 2
kali dan secara operasi sesarea 2 kali dan tidak pernah keguguran dengan
HPHT 04 juni 2012. Ibu mengeluh nyeri perut bagian bawah, keluar
darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules sejak 1 jam yang lalu.
Keadaan umum gelisah dan
tampak cemas, kesadaran compos mentis, keadaan emosional syok, TD: 80/60
mmhg, N : 100x/menit, S: 380C, R: 30x/menit, BB sekarang 72 kg, BB
sebelumnya 63 kg, muka tidak oedema, konjungtiva pucat, sklera tidak
ikterik, Pemeriksaan abdomen: terdapat luka bekas operasi, Palpasi : TFU :
¹/3 antara pusat dan PX (Prosesus Xyfoideus) (28 cm), L1
= Difundus teraba bulat, lunak, tidak melenting ( Bokong ), LII = sebelah kanan
teraba kecil-kecil ( ektermitas ), sebelah kiri teraba lurus seperti papan (
punggung ), LIII = Disymphisis teraba keras, bulat, melenting ( kepala ) masih
bisa digoyangkan, LIV = belum masuk PAP. DJJ (+) 144x/menit,
teratur. Ekstremitas atas dan bawah simetris, tidak ada oedema, tidak ada
varises. Pemeriksaan Dalam : portio : nyeri goyang. Data penunjang : Hb : 9 gr
%
A : Ny. Z Usia 42
tahun G5P4 A0 hamil 28 minggu
dengan rupture uteri
Janin Tunggal Hidup Intra Uterin
Presentasi Kepala
P :
1. Menyampaikan
hasil pemeriksaan (bahwa ada penyulit yang menyertai,
menjelaskan kemungkinan untuk ditranfusi darah,
dan dilakukan operasi)
Hasil : ibu telah mengetahui hasil
pemeriksaan
2. Mengatur
posisi ibu senyaman mungkin
Hasil : ibu sudah diposisikan dengan
posisi tidur
3. Memberi
dukungan psikologis pada ibu
Hasil : ibu terlihat tenang
setelah diberikan dukungan psikologis
4. Memberi
cairan Ringer Laktat 28 tetes/menit
Hasil : cairan Ringer Laktat sudah
diberikan dengan 28 tetes/menit
5. Memberikan
antibiotic ampicilin 2 gr melalui IV
Hasil : antibiotic ampicilin
2gr sudah diberikan melalui IV
6. Segera
merujuk ibu dengan membawa BAKSOKUDA (Bidan, Alat, keluarga, Surat
(dokumentasi), Obat, Kenderaan, Uang, Donor darah).
Hasil : hal-hal yang diperlukan
untuk rujukan sudah dipersiapkan dan pasien siap dirujuk.
PEMBAHASAN
Pada awal pemeriksaan penulis
memberikan pelayanan standar 10 T, hal ini sesuai dengan Direktorat Bina
Kesehatan Ibu, Kementrian Kesehatan RI, bahwa pelayanan atau asuhan standar
minimal pemeriksaan 10 T. Pasien telah melakukan 2 kali kunjungan
ANC.
Dari hasil anamnesa didapat Ny. Z
berumur 42 tahun, hamil yang kelima, menurut teori bahwa umur yang baik untuk
ibu hamil adalah 20-35 tahun agar segalanya sehat, baik reproduksinya maupun
psikologinya. Berarti tidak sama antara teori dengan kasus yang diambil, jadi
Ny. Z tergolong kurang baik untuk hamil karena umurnya 42 tahun dan hamil
kelima ini tidak sesuai dengan program pemerintah yaitu dua anak lebih baik.
Menurut teori bahwa umur yang baik
untuk ibu hamil adalah 20-35 tahun agar segalanya sehat, baik reproduksinya
maupun psikologinya, sedangkan dari hasil anamnesa didapat Ny. Z berumur 42
tahun, hamil yang kelima. Hal ini menunjukan bahwa Ny. Z tidak termasuk
kedalam katagori usia yang dianjurkan untuk hamil.
Pada riwayat menstruasi Ny. Z
didapatkan informasi bahwa siklus haidnya 28 hari, teratur, sehingga tapsiran
persalinan Ny. Z dapat menggunakan rumus Neagel, dimana hari pertama haid
terakhir tanggal 08 Oktober 2012, dengan tapsiran persalinan tanggal 15 Juli
2013 (Wiknjosastro, 2006).
Pada usia kehamilan
12 minggu ibu mengeluh nyeri perut bagian bawah, keluar darah
pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules.
bahwa nyeri perut bagian bawah,
keluar darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules yang dialami ibu,
menurut teori adalah tanda bahaya kehamilan trimester I ( Sarwono,2002
). Tekanan darah Ny Z juga mengalami penurunan dari 110/70 mmHg pada
usia kehamilan 8 minggu menjadi 80/60 mmHg pada usia kehamilan 12 minggu
menurut teori bahwa tekanan darah ibu hamil normal 110/70 mmHg – 120/80 mmHg
(Sarwono,2002) sedangkan dari hasil data objektif didapatkan Tekanan darah Ny.
Z 80/60 mmHg. Hal ini Ny. Z termasuk keadaan yang tidak normal ( hipotensi ).
Muka tidak oedema, konjungtiva pucat. Pemeriksaan abdomen: terdapat luka bekas
operasi, Palpasi : TFU : 2 jari dibawah pusat (16 cm). Menurut teori bahwa
normal TFU usia kehamilan 12 minguu adalah 3 jari diatas sympisis ( Mc.donald
). saat dilakukan pemeriksaan penunjang, didapat hasil Hb: 9 gram %
Hal ini menunjukan keadaan ibu anemis karena menurut teori bahwa normal ibu
hamil 11 gr % (Depkes RI ). Sehingga ibu didiagnosa mengalami rupture uteri,
dilihat dari faktor riwayat persalinan yang lalu.
Dikarenakan adanya komplikasi
kehamilan pada Ny.Z, maka Ny.Z dirujuk ke tempat yang memiliki fasilitas yang
memadai, hal ini sesuai dengan APN 2008 rujukan dalam
kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas rujukan atau fasilitas yang
memiliki sarana lebih lengkap.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah beberapa kasus yang terajdi seperti plasenta previa,
solusio plasenta, preeklamsia ringan dan berat, rupture uteri dan eklamsia
bahwa semuanya sebenarnya dapat di atasi atau ditangani dengan cepat dan tepat.
Namun ada banyak hal yang dapat menyebabkan itu terjadi dan disinilah
dibutuhkan keterampilannya seorang bidan mulai dari skill/ kemampuan, tidak
salah dalam penatalaksaan persalinan, dan mendirikan diagnosis yang tepat agar
terhindar dari kematian ibu.
Terutama
pada kasus pendarahan seorang ibu yang melahirkan, kasus ini masih sangat
tinggi bahkan sering menyebakan kematian, inilah yang harus diperbaiki dan
harus mengetahui apa penyebab itu terjadi. Dan disinilah peran bidan harus dapat menanganinya.
3.2
Saran
Saat menangani proses persalinan terlebih
dahulu kita harus mengetahui yang terjadi pada kondisi ibu sehingga bidan dapat
mengambil langkah untuk tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam dunia
kesehatan sering kita jumpai permasalahan kematian kepada seorang ibu. Masalah
yang terkait begitu banyak mulai dari Solusio plasenta, Plasenta previa,
Preeklamsia ringan dan berat, eklamsia,
rupture uteri, dan Intrauterine fetal death (IUFD).
Kasus-kasus ini sudah sering terjadi yang hingga akhinya menyebabkan kematian
dan pada Indonesia sendiri angka kematian seorang ibu sangat tinggi , banyak
faktor-faktor yang menyebabkan itu semua terjadi mulai dari faktor umum sampai
dengan khusus. Tentu bidan mempunyai tanggung jawab mengapa hal itu bisa
terjadi dan bagaimana cara penangan yang tepat terhadap kasus yang sering
terjadi agar mengurangi angak kematian di Indonesia.
Pada makalah ini saya banyak mengupas
hal yang terkait pada permasalahan yang terjadi dalam kebidanan seperti kasus
di atas dengan di dukung dari jurnal
dengan sumber yang akurat, tentunya pada jurnal yang saya ambil sudah terlebih
dahulu melakukan penelitian.
1.2 Tujuan
Makalah ini
bertujuan agar setiap mahasiswa dapat memahami dan mencermati setiap kasus dan
bagaimana cara penangannya . Dan di harapkan kepada mahasiswi bidan dapat
menambah wawasan secara lebih luas dan kelak akan di jadikan pelajaran pada
saat telah menjadi seorang bidan.
1.3 Manfaat
Semoga pada
makalah ini memberikan manfaat dalam menganalisis suatu kasus dan membantu
mahasiswi kebidanan dalam mengerjakan tugas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Plasenta Previa
Plasenta
previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium
uteri
internum.1 Gambaran klinis yang paling khas pada plasenta previa
adalah
perdarahan tanpa rasa sakit, yang biasanya timbul pada trimester
kedua
atau setelahnya.
Plasenta previa memiliki beberapa faktor risiko yaitu usia,
paritas,
riwayat seksio sesaria, riwayat abortus, dan suku. Pada
penelitian oleh
Tabassum et al., tahun 2010 di Pakistan mendapatkan bahwa
usia adalah
salah satu faktor risiko dari plasenta previa, yaitu usia ≥ 35
tahun memiliki
risiko hampir 2 kali lebih besar dibandingkan usia < 35
tahun, serta ibu
4,5 kali mengalami plasenta previa.5 Berdasarkan penelitian oleh Kim et
al. tahun 2011, didapatkan
bahwa wanita Asia dan wanita kulit hitam
memiliki risiko mengalami plasenta previa lebih tinggi
dibandingkan wanita
kulit putih.6
Hasil penelitian oleh Abdat di rumah sakit dr. Moewadi Surakarta
tahun 2010 mendapatkan risiko terjadinya plasenta previa pada
ibu
multiparitas meningkat 2,53 kali.7 Penelitian Alit dan Kornia di
rumah sakit
Sanglah Denpasar, Bali, tahun 2002, mendapatkan peningkatan
risiko
terjadinya plasenta previa pada wanita dengan riwayat abortus
sampai 4
kali lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa riwayat
abortus.8
Prevalensi yang didapatkan pada penelitian ini (2,02%) lebih
rendah dibandingkan prevalensi yang dilaporkan pada studi oleh
Halimi
tahun 2003-2007 di Pakistan 10, Eichelberger et al. pada
Desember 2003-
2007 11, Dirjen Yanmedik tahun 2005 3, Imna tahun 2010 di RS dr.
Pirngadi Medan 4, Rambey tahun 2005-2006 di RS dr. M. Djamil
Padang
12, namun lebih tinggi dari yang dilaporkan Hung et al.
tahun 2007 di
Taiwan 13 dan RS Parkland, Amerika Serikat pada tahun
1998-2006.2 Hal
ini bisa dikarenakan pencatatan dan penyimpanan rekam medis
secara
tidak sistematis dan lengkap,. Penyebab lain yang mungkin adalah
masih
rendahnya penggunaan ultrasonografi (USG) baik untuk diagnosis
maupun deteksi dini. Padahal dengan meluasnya penggunaan
ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih
dini,
insiden plasenta previa bisa lebih tinggi.1 Adanya perbedaan
prevalensi
plasenta previa yang dilaporkan pada studi-studi yang dilakukan
8
disebabkan perbedaan populasi yang diteliti dan perbedaan metode
diagnosis plasenta previa yang dilakukan22.
Penelitian ini mendapatkan bahwa plasenta previa lebih banyak
terjadi pada usia < 35 tahun dan usia memiliki hubungan yang
bermakna
dengan plasenta previa serta merupakan faktor risiko dari
plasenta previa
(OR = 1,93), yang sejalan dengan hasil penelitian dari Hung et
al. tahun
2007 (OR = 2,0-2,2)13, Tabassum et al. tahun 2010 (OR = } 2)5 dan
Widyastuti tahun 2007 (OR = 2,01)14. Dampak peningkatan usia ibu
terutama ≥ 35 tahun kemungkinan besar berhubungan dengan penuaan
uterus, sehingga terjadi sklerosis pembuluh darah arteri kecil
dan arteriol
miometrium, menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata
sehingga plasenta tumbuh dengan luas permukaan yang lebih besar,
untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat, yang akhirnya
menyebabkan terjadinya plasenta previa.8,13
Multiparitas merupakan faktor risiko plasenta previa sebagaimana
yang dilaporkan oleh Davood et al. tahun 2008 (OR =
3,8)15, Abdat pada
tahun 2010 (OR = 2,53)7 dan Simbolon tahun 2012.16 Hasil
penelitian ini
juga menemukan bahwa ibu dengan paritas ≥ 3 memiliki risiko 2,07
kali
mengalami plasenta previa dibandingkan ibu dengan paritas 0-2.
Terdapat
perbedaan OR dengan penelitian sebelumnya yaitu OR yang
didapatkan
lebih rendah, karena perbedaan jumlah sampel yang mempengaruhi
karakteristik sampel penelitian itu sendiri. Meningkatnya risiko
pada
multiparitas adalah disebabkan vaskularisasi yang berkurang dan
atrofi
pada desidua akibat persalinan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan
aliran
darah ke plasenta tidak cukup sehingga plasenta memperluas
permukaannya untuk mencari bagian dengan suplai darah yang
banyak
yaitu bagian segmen bawah uterus dan menutupi jalan lahir, yang
biasanya dikaitkan dengan placental migration.1,17 Hal
yang serupa
diungkapkan oleh Kay et al. tahun 2011 yaitu terjadinya
persalinan
berulang pada wanita multipara mengakibatkan adanya predisposisi
9
perbaikan jaringan yang abnormal pada endometrium sehingga
implantasi
plasenta cenderung di segmen bawah uterus bukan di bagian
fundus.21
Riwayat seksio sesaria dilaporkan oleh Tabassum et al.
tahun 2010
meningkatkan risiko plasenta previa sebesar 5,3 kali dan 1,6
kali pada
penelitian Cromwell et al. tahun 2011, serta Getahun et
al. tahun 2006
melaporkan peningkatan risiko sebesar 2 kali.5,18,19 Studi pada
penelitian
ini mendapatkan tidak adanya hubungan antara riwayat seksio
sesaria
dan plasenta previa, dengan OR sebesar 1,35. Odds Ratio yang
didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan OR yang
dilaporkan pada penelitian sebelumnya, yang diakibatkan
perbedaan
demografi penduduk yang menjadi subjek penelitian karena
perbedaan
tempat penelitian dan perbedaan metodologi penelitian dalam hal
pemilihan kelompok kasus dan kontrol, begitu pula desain
penelitian yang
digunakan. Perubahan patologis dapat terjadi pada miometrium dan
endometrium uterus jika ada jaringan parut bekas seksio sesaria
yang
mengakibatkan implantasi plasenta menjadi rendah pada ostium
uteri
internum sehingga meningkatkan risiko plasenta previa.19,20
Hasil dari penelitian ini mengkonfirmasi hasil penelitian
sebelumnya,
baik yang dilaporkan oleh Hung et al. tahun 2007 (OR =
1,3-3,0), Davood
et al. tahun 2008 (OR = 8,1)
serta Alit dan Kornia tahun 2002 (OR = 3,5) ,
yaitu adanya hubungan antara riwayat abortus dan plasenta previa
serta
riwayat abortus merupakan faktor risiko plasenta previa dengan
OR
sebesar 2,34 untuk penelitian ini yang nilainya lebih rendah
dari hasil
ketiga penelitian tersebut.8,13,15 Hal ini dapat diakibatkan
pertama karena
perbedaan metodologi penelitian, baik dari segi jumlah sampel
penelitian
maupun tempat penelitian dilakukan yang berkaitan dengan
perbedaan
demografi subjek penelitiannya. Kedua, adanya perbedaan tingkat
pajanan faktor risiko, dalam hal ini berupa riwayat abortus,
bisa dilihat dari
jumlah ibu hamil yang memiliki riwayat abortus jumlahnya lebih
sedikit dari
yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya. Adanya riwayat
abortus
pada kehamilan sebelumnya baik yang diinduksi maupun spontan
10
berpengaruh terhadap terjadinya plasenta previa. Mekanisme yang
dapat
menjelaskan pengaruh tersebut adalah kerusakan ataupun
terbentuknya
jaringan parut pada endometrium akibat dilakukannya kuretase
uterus
sehingga menganggu proses implantasi plasenta di bagian fundus
uteri.15
Kesimpulan
Jumlah kasus plasenta previa di RSU dr. Soedarso pada tahun 2009
sampai dengan 2011 adalah 109 kasus dari 5406 persalinan, dengan
persentase 2,02%. Usia maternal, paritas, riwayat seksio sesaria
dan
riwayat abortus merupakan faktor risiko kejadian plasenta previa
pada ibu
hamil di RSU dr. Soedarso tahun 2009 sampai dengan 2011.
2.2 Preeklamsia
Ringan dan Berat
1.
Preeklamsia
Ringan
adalah timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu
pada penyakit trofoblas.
Preeklampsia
ringan bila disertai dengan keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada
posisi berbaring telentang, atau kenaikan sistdik 30 mmHg atau lebih
cara pengukuran sekurang-urangnnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa
1 jam, sebaiknya 6 jam.
b. Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka : atau
kehamilan berat badan 1 kg lebih atau lebih perminggu.
c. Proteinuria kwantitatif 0,3 gram atau lebih perliter :
kwalitatif 1 + atau 2 + pada urun
kater
atau midstream.
Adanya
yang melaporkan angka kejadian sebanyak 6% seluruh kehamilan, dan 12% pada
kehamilan pimigravida. Menurut beberapa penulis dan frekuensi dilaporkan
sekitar 3-10%.
Lebih
banyak dijumpai pada primigravida dari pada multigravida, terutama primigravida
usia muda.
Faktor-faktor
predisposisi untuk terjadinya preeklamsia adalah molahida tidosa, diabetes
melitus, kehamilan ganda, hidrops fetalis, obetasi, dan umur yang lebih dari 35
tahum.
Penanganan
Tujuan utama penanganan ialah :
Pencegahan
terjadi pre-eklamsia berat dan eklamsia
Melahirkan
janin hidup
Melahirkan
janin dengan trauma sekecil kecilnya.
Pada dasarnya penanganan terdiri dari penanganan medik dan obstetrik.
Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optoimal yaitu sebvelum janin mati dalam kandungan akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus.
Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita pre-eklamsi di rumah sakit ialah
- tekanan darah siscol 140 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah diastol 90 mmHg, protein +1 atau lebih.
- Kenaikan berat badan 1,5 Kg atau lebih dalam seminggu berulang
- Penambahan edema berlebihan tiba-tiba
Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optoimal yaitu sebvelum janin mati dalam kandungan akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus.
Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita pre-eklamsi di rumah sakit ialah
- tekanan darah siscol 140 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah diastol 90 mmHg, protein +1 atau lebih.
- Kenaikan berat badan 1,5 Kg atau lebih dalam seminggu berulang
- Penambahan edema berlebihan tiba-tiba
Penanganan pre-eklamsia ringan
Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi untuk penanganan pre-eklamsia. Istirahat dengan berbaring pada posisi tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga elbih banyak. Tekanan pada ekstermitas bawah turun dan resobsi aliran darah tersebut bertambah. Selain itu juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar. Oleh sebab itu, dengan istirahat biasanya tekanan darah turun dan adema berkurang. Pemberian fenobarbital 3 x 30mg sehari akan meningkatkan penderita dan dapat juga menurunkan tekanan darah.
Pada umunya pemberian diuretik dan anti hipertensi pada pre-eklamsia ringan tidak dianjurkan karena obat-obat tersebut tidak menghentikan proses penyakit dan juga tidak memperbaiki prognosis janin. Selain itu, pemakaian obat-obatan tersebut dapat menutupi tanda dan gejala pre-eklamsia berat.
Setelah keadaan normal, penderita dibolehkan pulang, akan tetapi harus dipaksa lebih sering. Karena biasanya hamil sudah tua, persalinan tidak lama lagi. Bila hipertensi menetap, penderita tetap tinggal dirumah sakit. Bila keadaan janin mengizinkan, tunggu dengan melakukan induksi persalinan, sampai persalinan cukup bulan atau > 37 minggu.
Beberapa kasus pre-eklamsia ringan tidak membaik dengan penanganan konservatif. Tekanan darah meningkat, retensi cairan dan proteinuria bertambah, walaupun penderita istirahat dengan pengobatan medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.
Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi untuk penanganan pre-eklamsia. Istirahat dengan berbaring pada posisi tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga elbih banyak. Tekanan pada ekstermitas bawah turun dan resobsi aliran darah tersebut bertambah. Selain itu juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar. Oleh sebab itu, dengan istirahat biasanya tekanan darah turun dan adema berkurang. Pemberian fenobarbital 3 x 30mg sehari akan meningkatkan penderita dan dapat juga menurunkan tekanan darah.
Pada umunya pemberian diuretik dan anti hipertensi pada pre-eklamsia ringan tidak dianjurkan karena obat-obat tersebut tidak menghentikan proses penyakit dan juga tidak memperbaiki prognosis janin. Selain itu, pemakaian obat-obatan tersebut dapat menutupi tanda dan gejala pre-eklamsia berat.
Setelah keadaan normal, penderita dibolehkan pulang, akan tetapi harus dipaksa lebih sering. Karena biasanya hamil sudah tua, persalinan tidak lama lagi. Bila hipertensi menetap, penderita tetap tinggal dirumah sakit. Bila keadaan janin mengizinkan, tunggu dengan melakukan induksi persalinan, sampai persalinan cukup bulan atau > 37 minggu.
Beberapa kasus pre-eklamsia ringan tidak membaik dengan penanganan konservatif. Tekanan darah meningkat, retensi cairan dan proteinuria bertambah, walaupun penderita istirahat dengan pengobatan medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.
Pada tanggal 20
Juni 2012 pukul 16.00 WIB, Ny. E umur 25 tahun mengeluh pusing
dan kakinya bengkak. Ibu mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit apapun.
Riwayat menstruasi siklus 30 hari, banyaknya 3x ganti pembalut, teratur,
lamanya 5 hari, sifat darah encer, dan tidak disminorhoe. Riwayat perkawinan
syah 1 kali dan belum mempunyai anak. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas
yang lalu G1P0A0. Ibu mengatakan belum pernah menyusui sebelumnya. Riwayat
hamil HPHT 08-10-2011 dan ramalan persalinannya tanggal 15-7-2012, ANC 8 kali
teratur, hamil muda keluhan mual muntah, mendapatkan imunisasi TT 2 kali pada
usia kehamilan 20 dan 24 munggu dan hamil tua keluhan pusing dan kaki bengkak.
Ibu mengatakan tidak pernah menggunakan KB apapun, ibu mengatakan tidak
mempunyai riwayat penyakit sistemik seperti DM, TBC, Asma, jantung, hipertensi,
ginjal dan hepatitis dan ibu mengatakan tidak pernah dioperasi, dikeluarganya
tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit apapun dan tidak ada keturunan kembar
baik dari pihak ibu maupun suami. Ibu mengatakan kehamilan ini direncanakan dan
jenis kelamin yang diharapkan laki-laki. Kebiasaan ibu sehari-hari antara lain
makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk bervariasi, sayuran dan buah-buahan,
porsinya setengah piring dan tidak ada pantangan apapun, ibu minum air putih
sehari ± 7-8 gelas dan tidak ada keluhan apapun, istirahat cukup tidur malam ±
6-7 jam dan tidur siang ± 2 jam. Ibu mengatakan tidak merokok dan tidak
mengkonsumsi obat-obatan selain obat dari bidan, untuk eliminasi BAK ± 4 kali
sehari konsistensinya jernih tapi tidak ada keluhan apapun, BAB 1 kali sehari
konsistensi lunak dan berbau khas srta tidak ada keluhan apapun.
Setelah
dilakukan pemeriksaan status generalis didapatkan keadaan umum ibu baik,
kesadaran composmentis, TTV: tekanan darah 140/110mmHg, 37°C, nadi 79x/menit,
respirasi 20x/menit, tinggi badan ibu 162cm, BB sekarang 72 kg, BB sebelum
hamil 68 kg, dan LILA 26 cm. Sedangkan dari hasil pemeriksaan sistematis
muka sedikit bengkak, mata conjungtiva tidak pucat, skelera tidak kuning,
palpebra tidak cekung.Hasil pemeriksaan mamae membesar, tidak ada tumor,
simetris kanan dan kiri, aerola hyperpigmentasi, puting susu menonjol,
kolostrum belum keluar, axilla tidak ada tumor dan nyeri tekan, ekstremitas
tungkai simetris kanan dan kiri, tidak ada varices, oedema positif kanan dan kiri
dan refleks pattela positif kanan dan kiri. Pemeriksaan khusus obstetric
didapatkan inspeksi abdomen membesar dengan arah memanjang dan
tidak ada pelebaran vena, striae albican, linea nigra, palpasi tidak ada
kontraksi, TFU 30cm, Leopold I FU teraba bulat, lunak, tidak melenting (bokong)
, Leopold II kanan teraba panjang, keras, seperti papan ( punggung), kiri
teraba bagian-bagian kecil janin (ekstremitas), Leopold III terisi bulat,
keras, tidak melenting (kepala), Leopold IV divergent 3/5 bagian, lingkar
bendel tidak ada, nyeri tekan tidak ada, TBJ (30-11)x155= 2945 gram, DJJ
terdengar jelas disatu titik frekuensi 146x/menit. Pemeriksaan ano genital
tidak dilakukan, pemeriksaan laboratorium Hb dan urin reduksi tidak dilakukan,
protein urin (++).
Berdasarkan hasil
pengkajian dan hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa
yaitu ibu G1P0A0 hamil 36 minggu > 3 hari dengan preeklamsi
ringan, Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala. Dasar
ibu mengatakan ini kehamilan pertamanya, belum pernah melahirkan dan tidak
pernah keguguran, HPHT 08-10-2011, TD 140/110 mmHg dan hasil pemeriksaan
protein urin (++), DJJ terdengar jelas disatu titik frekuensi 146x/menit,
leopold III teraba bulat, keras, tidak melenting (kepala). Masalah ibu merasa
pusing dan kakinya bengkak, masalah potensial preeklamsi berat antisipasi
melakukan terapi penanganan preeklamsi danobservasi tanda dan gejala PEB, tindakan segera
kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan.
Setelah menentukan
diagnosa pada ibu rencana asuhan yang akan diberikan yaitu beritahu ibu dan
keluarga tentang kondisi bu saat ini, beri terapi penanganan preeklamsi,
anjurkan ibu untuk diet tinggi protein dan rendah lemak, beri tahu ibu
tanda-tanda preeklamsi dan eklamsi, anjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan
kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan
rencana pada ibu maka dapat melakukan tindakan yaitu memberitahu ibu dan
keluarga bahwa kondisi ibu kurang baik yaitu ibu mengalami preeklamsi atau
keracunan dalam kehamilan dimana salah satu cirinya yakni adanya peningkatan
tekadan darah dan adanya protein dalam urin tapi preeklamsinya masih ringan,
memberi terapi penanganan preeklamsi yaitu memberitahu ibu tentang pentingnya
istirahat tidur malam minimal 7-8 jam dan tidur siang minimal 1 jam,
menganjurkan ibu untuk tidak bekerja terlalu berat dan selalu menjaga
ketenangan pikirannya, menganjurkan ibu untuk tidur dengan posisi kaki lebih
tinggi dari kepala, menaganjurkan ibu untuk diet tinggi protein dan rendah
lemak serta mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan untuk mengurangi tekanan
darahnya, memberitahu i u tanda-tanda preklamsi berat dan eklamsi seperti sakit
kepala yang hebat disertai penglihatan kabur, nyeri epigastrium, dan kejang,
menganjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan
tindakan kami dapat mengevaluasi hasil ibu dan keluarga sudah tau
tentang kondisi ibu, ibu mengerti dengan apa yang dianjurkan oleh bidan, ibu
berjanji akan melakukan apa yang dianjurka oleh bidan, ibu sudah tahu tentang
tanda-tanda preeklamsi dan eklamsi, ibu berjanji akan melakukanpemeriksaan
kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan
pengkajian pada pasien Ny. E hamil dengan preeklamsi ringan. Terdapat
kesenjangan pada teori dan tindakan yang telah dilakukan seperti, dalam teori
pemeriksaan ibu hamil seharusnya dilakukan sesuai dengan manajemen varney,
tetapi disini ada beberapa pemeriksaan yang tidak dilakukan seperti pemeriksaan
rambut, hidung, telinga, mulut, leher, pemeriksaan anogenital dan pemeriksaan
Hb dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan.
2.
Preeklampsia
Berat
Dari data yang didapat di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010
didapatkan
234 (11,86%) kasus preeklamsia berat dari 1973 persalinan
dengan umur
kehamilan diatas 20 minggu. Terjadi penurunan 1,46% angka
kejadian
preeklamsia berat apabila dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan oleh
Arie Indrianto (2009).4 Dari seluruh persalinan tersebut
terdapat lima belas
kehamilan (6,4%) dengan jumlah janin ganda. Sehingga jumlah
bayi dari
persalinan ibu hamil dengan preeklamsia di RSUP dr Kariadi
tahun 2010 adalah
249 bayi. Dari 234 ibu hamil dengan preeklamsia berat yang
dirawat, sebagian
besar (70,5%) masuk dalam kategori umur produktif yaitu
antara umur 20 tahun
hingga 35 tahun. Sedangkan 29,5% sisanya berada dalam
kategori umur ekstrim
atau kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Hasil
yang didapat tidak
sesuai dengan sumber literatur dimana risiko terjadinya
preeklamsia meningkat
pada ibu dengan umur terlalu tua atau terlalu muda. Hal ini
mungkin terjadi
karena meningkatnya kesadaran masyarakat tentang bahaya
kehamilan pada
umur ekstrim. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Duckitt
dan Harrington
(2005) mengatakan bahwa seorang nulipara memiliki risiko mengalami
preeklamsia berat dua kali lebih besar.9 Sehingga dapat
dikatakan nullipara dan
primigravida merupakan faktor risiko timbulnya preeklamsia.1
Hal ini sesuai
dengan data yang didapat dimana 35,9% atau 84 dari pasien
belum pernah
melahirkan bayi yang dapat bertahan hidup atau nullipara dan
juga sebagian
besar (31,2%) pasien merupakan primigravida. Duckitt dan
Harrington juga
13
melaporkan bahwa risiko terjadinya preeklamsia meningkat
dengan adanya
peningkatan BMI. Sedangkan risiko preeklamsia berkurang
secara signifikan
pada pasien dengan BMI <20.9 Hal ini sesuai dengan data
yang didapat yaitu 64
kasus (58,2%) memiliki BMI >29 atau masuk dalam kriteria
obese dan 2 kasus
(1,8%) yang memiliki BMI ≤19. Akan tetapi 124 data yang
didapat tidak tercatat
lengkap sehingga tidak dapat diketahui BMI pasien. Selain
itu pencatatan berat
badan hanya dicatat saat pasien masuk atau dirujuk ke RSUP
dr Kariadi
sehingga tidak dapat diketahui penambahan jumlah berat badan
sebelum masa
kehamilan hamil hingga hamil. Penyakit penyerta yang dapat
menjadi penyulit
atau faktor risiko terjadinya preeklamsia yang tersering
adalah hipertensi (8,1%),
penyakit jantung (4,3%) dan diabetes melitus (1,7%). Menurut
penelitian yang
telah dilakukan oleh McCowan, dkk (1996) bahwa wanita dengan
hipertensi
kronik dapat mengalami superimposed preeclampsia yang
dapat meningkatkan
risiko terjadinya kematian perinatal, pertumbuhan janin yang
terhambat, dan
kelahiran sebelum 32 minggu umur kehamilan.9
Tuffnell (2005) melaporkan dalam kurun waktu 1999 hingga
2003 tidak
terdapat kematian maternal dari 1087 pasien preeklamsia
berat.10 Sedangkan
pada penelitian ini dari 234 ibu hamil dengan preeklamsia
berat yang melakukan
persalinan di RSUP dr Kariadi terdapat lima (2,1%) pasien
yang meninggal.
Kelimanya disebabkan karena gagal nafas dan edema paru. Tiga
diantaranya
disertai HELLP sindrom parsial, satu karena efusi pleura dan
satu lagi karena
DIC dan gagal ginjal akut. Dari lima kasus tersebut, satu
diantaranya meninggal
sebelum persalinan. Terjadi peningkatan angka kematian
maternal jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie
Indrianto, dimana
pada tahun 2004 angka kematian maternal karena preeklamsia
berat di RSUP dr
Kariadi adalah 1,8%.4 Sebagian besar dari pasien preeklamsia
berat melakukan
persalinan dengan tindakan (69,3%) dan yang paling sering
adalah dengan
seksio sesarea (44%) lalu diikuti dengan ekstraksi vakum
(20,1%). Sedangkan
30,3% lainnya melakukan persalinan spontan pervaginam. Hasil
yang didapat
hampir serupa dengan hasil dari penelitian yang dilakukan
oleh Alexander,dkk
(1999) dimana dari 278 bayi tunggal lahir hidup di Parkland
Hospital separuh
14
diantaranya menjalani persalinan melalui seksio sesarea.1
Dari data yang didapat
hanya sebagian kecil dari pasien dengan preeklamsia berat
yang mengalami
perdarahan antepartum (4,7%) dan perdarahan postpartum
(2,1%). Perdarahan
antepartum yang lebih sering terjadi adalah plasenta previa
(4,3%), sedangkan
solusio plasenta hanya satu kasus (0,4%). Hasil yang didapat
tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ananth dkk (1999) dimana
terjadi peningkatan
insiden solusio plasenta tiga kali lipat pada hipertensi
kronik dan empat kali lipat
pada preeklamsia berat.1 Hal ini mungkin disebabkan karena
sebagian besar dari
pasien merupakan nullipara maupun primipara dimana salah
satu faktor risiko
terjadinya solusio plasenta selain preeklamsia dan
hipertensi kronik adalah
paritas yang tinggi sehingga didapat angka kejadian solusio
plasenta yang
rendah. Menurut penelitian yang dilakukan Frediksen dkk
(1999) insidensi
plasenta previa meningkat seiring dengan bergesernya umur
populasi obstetris
ke arah yang lebih tua.11 Hal ini sesuai dengan hasil yang
didapat dimana
kejadian plasenta previa meningkat seiring dengan
peningkatan umur pasien
preeklamsia berat. Rendahnya angka kejadian perdarahan
postparum
menandakan bahwa telah terjadi penangan persalinan yang baik
sehingga
kejadian perdarahaan postpartum dapat dihindari. Pada
penelitian ini terdapat
tujuh kasus (3%) eklamsia dari 234 pasien dengan preeklamsia
berat pada tahun
2010 di RSUP dr Kariadi. Dari tujuh kasus tersebut, empat
diantaranya
mengalami kejang setelah persalinan. Sedangkan sisanya
mengalami kejang
saat perawatan atau sebelum dirujuk ke RSUP dr Kariadi.
Selain itu terdapat
pula 19 kasus (8,1%) impending eclampsia yang
menunjukan tanda- tanda
prodormal, atau tanda khas yang dapat menjadi tanda akan
terjadinya kejang,
seperti pusing, mual, muntah, nyeri ulu hati dan pandangan
kabur. Dari 19 kasus
tersebut hanya satu yang mengalami eklamsia. Chappell (2008)
melaporkan
terdapat tiga pasien (2%) yang mengalami sindrom HELLP dari
180 pasien
superimposed preeclampsia.6 Sedangkan pada penelitian ini, angka kejadian
sindrom HELLP lebih rendah 0,3% yaitu terdapat empat kasus
(1,7%) sindrom
HELLP yang terdiri dari trombositopenia dan gangguan fungsi
hati yang
ditandai dengan kenaikan kadar LDH dan SGOT dalam darah.
Selain itu
15
terdapat 26 kasus (11,11%) sindrom HELLP parsial yang hanya
terdiri dari satu
atau dua gejala sindrom HELLP. Dari 26 kasus tersebut
terdapat sembilan belas
kasus trombositopenia, tiga belas kasus kadar SGOT lebih
dari 70 UI/L dan
delapan kasus kadar LDH melebihi 600 UI/L. Pada penelitian
ini didapat 24
kasus (10,3%) edema paru pada pasien preeklamsia berat di
RSUP dr Kariadi.
Dimana lima diantaranya meninggal dunia. Menurut penelitian
yang dilakukan
oleh Arie Indrianto di RSUP dr Kariadi pada tahun 2004
terdapat empat kasus
edema paru (1,7%) dimana tiga diantaranya, yang disertai
dengan sindrom
HELLP dan payah jantung, dinyatakan meninggal dunia. Selain
edema paru
komplikasi lain pada ibu karena preeklamsia berat adalah
gagal ginjal akut.
Didapatkan empat kasus (1,7%) gagal ginjal akut pada pasien
preeklamsia berat
di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010. Pada penelitian yang
dilakukan oleh
Tuffnell terdapat enam kasus (0,6%) gagal ginjal hingga
memerlukan dialisis.10
Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya penurunan
kesadaran pasca serangan
kejang eklamsia yang dapat disebabkan karena komplikasi pada
otak seperti
edema serebri dan perdarahan otak. Hal ini mungkin
disebabkan karena
sedikitnya kasus preeklamsia berat yang mengalami eklamsia
(3%). Karena
menurut penelitian yang dilakukan oleh Cunningham dan
Twickler (2000)
selama 13 tahun di Parkland Hospital hanya terdapat
10 dari 175 wanita yang
mengalami eklamsia yang memperlihatakan adanya edema
serebri. Loureiro dkk
(2003) melaporkan dari 25% wanita dengan eklamsia
memperlihatkan adanya
area infark serebri pada pemeriksaan neuroimaging.1
Sedangkana pada pasien
preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi tidak dilakukan
pemeriksaan CT Scan
sehingga tidak didapatkan kasus komplikasi pada otak.
Dari data yang didapat sebagian besar pasien preeklamsia
melahirkan
bayi dengan berat badan diatas 2500 gram (63,8%). Begitu
juga dengan hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Chappell dimana hanya 56%
bayi yang lahir dari
pasien preeklamsia berat memiliki berat diatas 2500 gram.6
Dari berat badan
badan bayi lahir didapatkan juga angka kejadian pertumbuhan
janin yang
terhambat yaitu sebanyak 17 kasus (7%). Angka kejadian
pertumbuhan janin
yang terhambat dalam penelitian ini diambil dari diagnosis
dalam catatan medik.
16
Pada penelitian ini sebagian besar (72,8%) bayi lahir pada
umur kehamilan lebih
dari 37 minggu. Terjadi peningkatan angka kejadian kelahiran
preterm sebesar
1,7% apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Arie
Indrianto dimana terdapat angka kejadian kelahiran preterm
sebesar 25,5%.4
Akan tetapi hasil yang berbeda dilaporkan oleh Tuffnell
dimana dari 1078 pasien
preeklamsia berat sebagian besar (65,3%) lahir pada umur
kehamilan kurang
dari 37 minggu.10 Begitu juga dengan Chappell yang
melaporkan bahwa 75%
dari bayi yang lahir dilahirkan pada umur kehamilan kurang
dari 37 minggu.6
Sebagian besar (83,3%) bayi lahir dengan nilai skor APGAR
lebih dari
tujuh,sehingga terdapat 16,7% atau 38 kasus yang lahir dalam
keadaan nilai skor
APGAR kurang dari tujuh. Dari 38 kasus tersebut, sebelas
bayi mengalami
asfiksia berat dan tiga diantaranya tidak dapat bertahan hidup.
Dari 244 bayi
yang lahir didapatkan angka kematian perinatal sebesar 7,8%
atau 19 perinatal
meninggal baik dalam kandungan atau sesaat setelah
persalinan. Sebagian besar
dari angka kejadian kematian perinatal tersebut meninggal
dalam kandungan
atau intra uterine fetal death (IUFD) sebanyak 84,2%.
Sisanya meninggal
karena asfiksia berat (15,8%).Hasil dari penelitian ini
apabila dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie Indrianto maka
terlihat peningkatan
presentase kematian perinatal sebesar 2,1%. Akan tetapi
presentase kematian ini
lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Tuffnell
dimana terdapat 54 (4,7%) kematian perinatal dari 1145 bayi
yang lahir dan
penelitian yang dilakukan Chappell dimana terdapat 7 (3,8%)
kematian perinatal
dari 180 bayi yang lahir.4,6,10
Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak semua data
pasien
preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010 dapat
diambil karena
ada beberapa data yang tidak tercatat dengan baik dalam
catatan medik dan
beberapa catatan medik yang tidak dapat ditemukan. Selain
itu data diambil dari
diagnosis terakhir sebelum pasien meninggalkan rumah sakit
sehingga terdapat
kemungkinan terjadi human error dalam penulisan data
dalam catatan medik.
17
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian pengaruh preeklamsia berat pada
kehamilan terhadap
keluran maternal dan perinatal di RSUP dr Kariadi didapatkan
bahwa terjadi
peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal dan
perinatal. Pada penelitian
ini didapatkan keluaran maternal pada preeklamsia berat
berdasarkan profil
obstetri meliputi antara lain cara persalinan diakhiri
dengan seksio sesarea 103
kasus (44%), perdarahan antepartum yang meliputi plasenta
previa 10 kasus
(4,3%) dan solusio plasenta 1 kasus (0,4%), perdarahan
postpartum 5 kasus
(2,1%). Keluaran maternal pada preeklamsia berat berdasarkan
komplikasi
karena preeklamsia berat meliputi antara lain eklamsia 7
kasus (3%), impending
eclampsia 19 kasus (8,1%), sindrom HELLP 4 kasus (1,7%),
sindrom HELLP
parsial 26 kasus (11,1%), edema paru 24 kasus (10,3%), gagal
ginjal akut 4
kasus (1,7%), kematian maternal adalah 5 kasus (2,1%).
Keluaran perinatal pada
preeklamsia berat antara lain berat bayi lahir rendah (BBLR)
88 kasus (36,2%),
pertumbuhan janin yang terhambat 17 kasus (7%), kelahiran
preterm 66 kasus
(27,2%), asfiksia neonatorum 38 kasus (16,7%), kematian
perinatal adalah 19
kasus (7,8%). Kematian maternal adalah 5 kasus (2,1%)
Sebagai saran, perlu dilakukan pencatatan data catatan medik
secara
lengkap dan benar sehingga diharapkan dikemudian hari
apabila diadakan
penelitian menggunakan catatan medik dapat didapatkan data
yang optimal dan
perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut tentang faktor
risiko preeklamsia
berat sehingga dapat diketahui karakteristik ibu hamil yang
berpotensi
mengalami preeklamsia berat.
2.3 Solusio
Plasenta

Sulosio plasenta menurut derajat
lepasnya plasenta dibagi menjadi :
Solusio
plasenta lateralis/parsialis
Bila hanya sebgian dari plasenta yang
terlepas dari tempat perletakannya
Solusio
plasenta totalis
Bila seluruh bagian plasenta sudah
terlepas dari perletakannya
Prolapsus
plasenta
Kadang-kadang plasenta ini turun ke
bawah dan dapat teraba pada pemeriksaan dalam
Perdarahan
antepartum termasuk salah satu penyebab kematian ibu yang banyak terjadi di
Indonesia, yaitu sebesar 15 % dari keseluruhan angka kematian ibu. Penyebab
kematian ibu di negara berkembang yaitu perdarahan (25 %), sepsis (15 %),
aborsi yang tidak aman (13 %), hipertensi (12 %), persalinan macet (8 %),
lain-lain (8 %), dan penyebab tidak langsung (19 %). 1
Perdarahan antepartum dapat
mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin pada ibu hamil yang mengalaminya, yang
disebabkan hilangnya banyak darah ibu serta bayi.3 Keadaan demikian
dikhawatirkan dapat berpengaruh pada kondisi bayi yang dilahirkan. Kondisi bayi
yang baru dilahirkan dapat dinilai dengan skor apgar, yang merupakan singkatan
dari Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration. Skor apgar
adalah suatu cara sederhana untuk menentukan kondisi bayi dengan cepat, sesaat
setelah dilahirkan.4
Perdarahan antepartum berkaitan dengan
risiko hasil persalinan yang buruk.3 Baik atau buruknya hasil persalinan dapat
dinilai antara lain dengan melihat skor apgar bayi yang dilahirkan. Skor apgar
akan sangat menentukan tindakan medis apakah yang harus diberikan untuk menyelamatkan
kondisi bayi. Skor apgar bayi yang rendah berarti bayi perlu perawatan
postnatal yang lebih segera dan intensif dibandingkan bayi yang skor apgarnya
agak rendah atau yang normal.4
Menurut WHO, kurang lebih 80% kematian maternal merupakan
akibat langsung
dari komplikasi langsung selama kehamilan, persalinan dan
masa nifas dan 20%
kematian maternal terjadi akibat penyebab tidak
langsung.1,7) Perdarahan, terutama
perdarahan post partum, dengan onset yang tiba – tiba dan
tidak dapat diprediksi
sebelumnya, akan membahayakan nyawa ibu, terutama bila ibu
tersebut menderita
anemia. Pada umumnya, 25% kematian maternal terjadi akibat
perdarahan hebat,
sebagian besar terjadi saat post partum. Sepsis / infeksi
memberikan kontribusi 15%
terhadap kematian maternal, yang pada umumnya merupakan
akibat dari rendahnya
higiene saat proses persalinan atau akibat penyakit menular
seksual yang tidak diobati
sebelumnya. Infeksi dapat
dicegah secara efektif dengan melakukan asuhan persalinan
yang bersih dan deteksi serta manajemen penyakit menular
selama kehamilan. Perawatan
postpartum secara sistematik akan menjamin deteksi penyakit
infeksi secara cepat dan
dapat memberikan manajemen antibiotika secara tepat.
Hipertensi selama kehamilan,
khususnya eklamsia memberikan kontribusi 12% terhadap
kematian maternal. Kematian
ini dapat dicegah dengan melakukan monitoring selama
kehamilan dan dengan
pemberian terapi antikonvulsan, seperti magnesium sulfat.
Abortus tidak aman (unsafe
abortion)
memberikan kontribusi 13% terhadap kematian maternal, hal ini berkaitan
dengan komplikasi yang ditimbulkan, berupa sepsis,
perdarahan, perlukaan uterus dan
keracunan obat – obatan. Di beberapa belahan dunia,
sepertiga atau lebih kematian
maternal berhubungan dengan abortus tidak aman. Kematian ini
dapat dicegah apabila
para ibu memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan
keluarga berencana, dan
apabila abortus tidak dilarang secara hukum, maka abortus
dapat dilakukan dengan
pemberian pelayanan abortus secara aman. Partus lama atau
partus macet menyebabkan
kurang lebih 8% kematian maternal. Keadaan ini sering
merupakan akibat dari
disproporsi sefalopelvik (bila kepala janin tidak dapat
melewati pelvis ibu) atau akibat
letak abnormal (bila janin tidak dalam posisi yang benar
untuk dapat melalui jalan lahir
ibu).1,4,7) Penyebab tidak langsung dari kematian maternal
memberikan kontribusi sebesar
20% terhadap kematian maternal. Penyebab tidak langsung dari
kematian maternal ini
terjadi akibat penyakit ibu yang telah diderita sebelumnya
atau diperberat dengan
keadaan kehamilan atau penanganannya. Contoh penyebab
kematian maternal tidak
langsung adalah anemia, infeksi hepatitis, malaria,
tuberkulosis, penyakit jantung dan
infeksi HIV/AIDS.1,4,7)
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus
dicurigai bahwa
penyebabnya adalah plasenta previa sampai kemudian ternyata
dugaan itu salah.54)
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta terletak
abnormal yaitu pada segmen
bawah uterus, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh
ostium uteri
internum.44,54) Keadaan ini mengakibatkan perdarahan
pervaginam pada kehamilan 28
minggu atau lebih, karena segmen bawah uterus telah
terbentuk, dan dengan
bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih
melebar dan serviks
mulai membuka. Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan
serviks akan
2.4 Eklamsia
didefinisikan sebagai kejadian kejang pada
wanita dengan preeklamsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba,
proteinuria dan udem yang bukan disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit
neurology lain.1,2 Kejang pada eklamsia dapat berupa kejang motorik fokal
atau kejang tonok klonik umum.2 Eklamsia terjadi pada 0,3% kehamilan , dan
terutama terjadi antepartum pada usia kehamilan 20-40 minggu atau dalam
beberapa jam sampai 48 jam dan kadang-kadang lebih
lama dari 48 jam setelah kelahiran.1 Beberapa tanda dan gejala
peringatan yang mendahului eklamsia dapat berupa peningkatan tekanan darah yang
tiba-tiba, nyeri kepala, perubahan visual dan mental, retensi cairan, dan
hiperrefleksia, fotofobia, iritabel, mual dan muntah.1,3 Untuk
menentukan dengan pasti kondisi neuropatologik yang menjadi pemicu kejang dapat
dilakukan pemeriksaan diagnostic seperti foto rongen, CT scan atau MRI.4
Adanya
udem serebri yang difus akan menimbulkan gambaran kejang pada eklamsia.5 Data
menunjukkan bahwa udem sitotoksik maupun udem vasogenik dapat terjadi pada
preeklamsia berat atau eklamsia.6 Udem vasogenik reversible adalah yang
paling predominan sehingga eklamsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele
neurologik yang permanent.7
Dilaporkan
suatu kasus seorang perempuan umur 38 tahun, dalam kondisi hamil 34 minggu
dengan gravida 3, para 1, abortus1, beralamat di Margotirto Kokap, masuk rumah
sakit Dr. Sardjito pada tanggal 14 Juli 2004, dirawat di bangsal obstetri dan
ginekologi dengan diagnosis preeklamsia dan sindrom HELLP parsial. Pasien
dikonsulkan ke bagian saraf dengan keluhan utama nyeri kepala, muntah,
pandangan kabur dan bingung.
Anamnesis
yang diperoleh dari pasien, suami pasien dan dokter yang merawat di bagian
obstetrik dan ginekologi, menunjukkan bahwa 6 hari setelah mondok pasien
melahirkan seorang anak perempuan, sehat, berat 1800 gram, pervaginam dengan
induksi sintosinon. Enam jam postpartum pasien diberikan bolus magnesium sulfat
4 gram. Hari kedua postpartum pasien mengalami kejang tonok-klonik yang
melibatkan seluruh ekstremitas selama 3 menit. Sehari berikutnya pasien kembali
mengalami kejang tonik-klonik umum yang disertai dengan hilangnya kesadaran
selama 5 menit. Kejang dapat dihentikan setelah diberikan 5 mg diazepam
intravena, dan 15 menit berikutnya pasien mulai sadar kembali. Pasien kemudian
diberikan fenitoin peroral dengan dosis 2 x 100 mg, dan selama itu pasien tidak
mengalami kejang. Selain itu selama dirawat di bagian obstetrik dan ginekologi
pasien juga mendapatkan nifedipin peroral 3 x 10 mg untuk mengontrol
hipertensinya. Pada hari ke enam postpartum, pagi hari saat bangun tidur
tiba-tiba pasien merasakan nyeri kepala, mual dan muntah, pandangan kabur dan
bingung. Nyeri kepala dirasakan sekali saat kepala digerakkan. Keluhan ini
tanpa disertai dengan kejang, kelemahan anggota badan, hemiparestesia,
disfonia, gangguan menelan dan kelemahan otot-otot muka. Kondisi pasien
sebelumnya tidak didapatkan adanya riwayat demam, tumor atau trauma kepala,
hipertensi, sakit jantung, diabetes mellitus, strok atau TIK, riwayat
ketergantungan obat, maupun kejang. Kemudian pasien dikonsulkan ke bagian
neurologi.
Pada
pemeriksaan fisik hari ke enam postpartum didapatkan keadaan umum lemah dan
bingung, skala koma Glasgow E4V5M6, tekanan darah 200/100 mmHg, nadi 80
kali/menit, respirasi 20 kali/menit, sclera tampak ikterik dan pandangan kabur
tanpa disertai udem ekstremitas. Pada pemeriksaan psikiatris ditemukan tingkah
laku yang bingung (confused), serta mood yang hipotimik. Pemeriksaan neurologik
menunjukkan visus yang menurun, peningkatan reflek fisiologi dan klonus yang
positif pada anggota gerak kiri, serta
ditemukan reflek patologis pada keempat anggota gerak. Pasien tidak
mengalami gangguan pada fungsi kognisinya.
Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan :
1. Pemeriksaan laboratorium darah: bilirubin total: 2,4;
bilirubin direk: 0,7; bilirubin indidek: 1,6; protein total: 6,1; Albumin: 3,0;
AST: 64; ALT: 28. Laboratorium darah lainnya dalam batas normal.
2. Pemeriksaan elektrokardiografi dalam batas normal.
3. Pemeriksaan X-Ray thorax menunjukkan adanya udem paru
4. Pemeriksaan CT scan kepala menunjukkan udem serebri difus
dengan effacement ventrikel, dan tidak ditemukan tanda-tanda infark,
perdarahan ataupun tumor.
5. Pemeriksaan fundoskopi (oleh bagian mata) menunjukkan
adanya papil udem pada kedua mata dengan elevasi 6-7 dioptri, dengan tanda
perdarahan retina minimal pada mata kanan.
Terapi
yang diberikan pada penderita ini adalah: oksigen 2-3 liter/menit, infuse
asering 16 tetes/menit, injeksi furosemid 20 mg/24 jam, nifedipin tablet 2x10
mg, aspar K 2x1 tablet, dan infuse magnesium sulfat 100 ml/6jam.
Pada
perkembangan penyakitnya pasien sempat mengalami penurunan kesadaran dengan
skor koma Glasgow E2V2M3 dengan tanda-tanda herniasi berupa penurunan reflek
cahaya dan hilangnya fenomena doll’s eye. Akan tetapi kondisi segera
membaik dengan terapi yang diberikan.
PEMBAHASAN
Pada
pasien ini tanda-tanda eklamsia mulai terjadi pada hari kedua postpartum dengan
munculnya gejala kejang tonik-klonik pada seluruh badan. Meskipun kejang dapat
diatasi namun kejadian eklamsi masih tetap berlanjut sampai hari keenam
postpartum dengan tanda-tanda nyeri kepala, mual dan muntah, pandangan kabur
dan bingung. Adanya tanda-tanda tersebut perlu dicurigai adanya late
postpartum eclampsia. Perkembangan eklamsia postpartum dapat terjadi 3-4
minggu setelah kelahiran. Beberapa peneliti menyebutkan 50% kejang terjadi
antepartum, 25% intrapartum, dan 25% postpartum.1 Peneliti lain
menyebutkan hasil yang berbeda bahwa kejang pada
eklamsia terjadi 64% postpartum, 38% antepartum, dan 18% intrapartum.4 Eklamsia
post partum dapat terjadi karena pada saat itu level substansi konstriktor yang
dilepaskan oleh plasenta akan menurun sehingga akan terjadi overperfusi darah
serebral.9
Penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar kejang postpartum (93%) berhubungan dengan
udem serebri sebagai manifestasi encefalopati hipertensi pada eklamsia7 , dan
hanya terdapat 0,01-0,05 % dari seluruh kehamilan yang merupakan stroke
postpartum. Kejang, hipertensi, proteinuria, dan gangguan fisual dapat terjadi
baik pada eklamsia pospartum maupun pada stroke postpartum sehingga dua kondisi
tersebut sering misdiagnosis.10,11
Tidak
terdapat simtom patognomonik yang spesifik yang dapat memberikan gambaran
adanya udem serebri. Adanya nyeri kepala akut yang biasanya terjadi pada pagi
hari dan meningkat dengan pergerakan kepala, dengan atau tanpa muntah, disertai
tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial yang difus dapat dicurigai adanya
udem serebri.12 Dengan demikian untuk menentukan kondisi neuropatologik
yang mendasari terjadinya kejang pada eklamsia perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostic seperti CTscan kepala atau MRI.4
Pemeriksaan
CT scan kepala pada pasien ini ditemukan adanya udem serebri yang difus. Data
menunjukkan bahwa pada eklamsia dapat terjadi udem sitotoksik maupun vasogenik.6 Cunningham
pada penelitiannya menyebutkan bahwa udem vasogenik terjadi pada semua
penderita eklamsia, dan 18% diantaranya terdeteksi pula adanya udem sitotoksik.5
Secara
teoritis terdapat 2 penyebab terjadinya udem serebri fokal yaitu adanya
vasospasme dan dilatasi yang kuat. Teori vasospasme menganggap bahwa
overregulasi serebrovaskuler akibat naiknya tekanan darah menyebabkan
vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal.1,5,13 Akibat
iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membrane sel sehingga
akan terjadi kegagalan ATP-dependent Na/K pump yang akan menyebabkan
udem sitotoksikApabila proses ini terus berlanjut dapat terjadi rupture
membrane sel yang menimbuklan lesi infark yang bersifat irreversible.8 Teori force
dilatation mengungkapkan bahwa akibat peningkatan tekanan darah yang
ekstrem pada eklamsia menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi
sehingga terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan
peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan
terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan ini
akan menimbulkan terjadinya udem vasogenik.1,5,8
Udem
vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang dapat menimbulkan
kejang pada eklamsia.1 Perluasan udem serebri yang difus hanya terjadi pada 6%
saja, dan 30%-nya dapat berkembang menjadi herniasi transtentorial.5 Akibat
efek penekanan vaskuler akibat perluasan udem vasogenik ini dapat memperparah
kondisi iskemiknya yang menimbulkan infark dan perdarahan perikapiler sehingga
akan memperburuk prognosis. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi pengelolaan
pasien dan harus lebih hati-hati dalam mengontrol tekanan darah.14
Pemeriksaan
MRI dengan metode diffusion weighted imaging dapat membedakan gambaran
udem serebri sitotoksik dan vasogenik, karena dapat mendeteksi perubahan
distribusi molekul air pada jaringan serebral.7 Gambaran neuroradiologik serta
defisit neurologik secara klinis pada eklamsia bersifat reversibel.8 Felz
dkk. menemukan bahwa lesi sitotoksik dapat terjadi pemulihan yang sempurna.1 Peneliti
lain membuktikan bahwa udem vasogenik yang terutama terjadi pada penderita
eklamsia bersifat reversibel yang akan mengalami perbaikan dengan pengobatan
yang cepat. Dengan demikian eklamsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele
neurologik yang permanent.7
Udem
serebri pada eklamsia bersifat reversibel sehingga pemahaman patofisiologi udem
serebri sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis dan terapi pada
eklamsia. Pengobatan udem serebri secara umum meliputi: 15
1. Hiperventilasi, yang menyebabkan darah menjadi lebih
alkali yang menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga akan
mengurangi udem serebri dan menurunkan tekanan intracranial.
2. Manitol, yang secara osmotic akan menarik cairan dari
jaringan otak kembali ke vaskuler sehingga dapat mengurangi udem serebri dan
menurunkan tekanan intracranial.
3. Mengontril hipertensi maligna, yang menimbulkan
peningkatan tekanan darah serebral dan kebocoran cairan darah sehingga
menimbulkan udem serebri.
Pada pasien ini
diberikan injeksi diazepam untuk menghentikan kejang yang terjadi, dan fenitoin
peroral untuk mengontrol kejang dan mencegah rekurensi kejang. Diazepam dapat
dipergunakan untuk mengontrol kejang dengan cepat, akan tetapi penggunaanya
untuk mencegah rekurensi kejang dengan infuse intravena atau pemberian bolus
berulang masih diperdebatkan karena efek sampingnya berupa hipotoni,
hiponatremia dan apnea. Antikonvulsan seperti fenitoin dapat dipergunakan untuk
mengatasi dan mengontrol kejang pada eklamsia tanpa menimbulkan komplikasi
maternal dan fetal, namun penggunaannya pada eklamsia masih banyak
diperdebatkan.2
Pemberian
magnesium sulfat pada pasien ini dapat berfungsi sebagai pencegahan kejang dan
mencegah rekurensi kejang pada eklamsia. Beberapa penelitian oleh Duley dkk.
menunjukkan bahwa magnesium sulfat merupakan pilihan utama untuk mencegah
eklamsia. Magnesium sulfat lebih efektif daripada diazepam untuk terapi dan
pencegahan eklamsia.16 Dibandingkan dengan fenitoin, magnesium sulfat juga
lebih efektif untuk terapi eklamsia dan dapat mengurangi rekurensi kejang pada
eklamsia.17
Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah dengan memblok reseptor
NMDA yang berperan pada terjadinya kejang, atau memblok pintu kalsium yang
diperlukan untuk kontraksi otot polos vaskuler sehingga dapat dipergunakan
untuk mencegah vasospasme pada eklamsia.2,6 Data menunjukkan bahwa efek
dilatator pembuluh darah sistemik lebih prominen daripada vasodilatator
serebralnya sehingga akan menurunkan tekanan perfusi serebral yang akan
mencegah terjadinya udem serebri. Efek inilah yang membuat magnesium sulfat
penting dalam mekanisme penekanan kejang.6
Beberapa
penelitian oleh Duley dkk. menunjukkan bahwa magnesium sulfat merupakan pilihan
utama untuk mencegah eklamsia. Magnesium sulfat terbukti lebih efektif daripada
diazepam untuk terapi dan pencegahan eklamsia.16,17 Selain itu magnesium sulfat
juga lebih efektif untuk terapi eklamsia dan dapat mengurangi kejang pada
eklamsia dibandingkan dengan fenitoin.18
Penggunaan
manitol pada pasien ini adalah sebagai osmoterapi yang akan menurunkan volume
otak dengan menurunkan kandungan airnya, menurunkan volume darah dengan
vasokonstriksi, dan menurunkan volume liquor cerebro spinalis (LCS) dengan
menurunkan kandungan airnya. Manitol juga akan memperbaiki perfusi serebral
dengan menurunkan
viskositas atau merubah rheologi sel darah merah serta mempunyai efek protektif
terhadap biochemical injury.12
Penggunaan
furosemid pada pasien ini selain sebagai antihipertensi, juga sekaligus mempunyai
efek memperpanjang efek osmotic dari pengobatan manitol.12 Rekomendasi
penggunaan antihipertensi pada penderita eklamsia adalah tekanan darah sistolik
≥ 160 mmHg dan diastolic > 105 mmHg atau bila tekanan arteri rata-rata (MAP)
≥ 125 mmHg. Pengobatan ini bertujuan untuk menurunkan resiko gangguan
autoregulasi serebrovaskuler akibat hipertensi, sehingga hiperperfusi serebral
yang dapat menimbulkan udem vasogenik dapat dicegah. Beberapa rejimen yang
direkomendasikan adalah hydralazine, labetolol, nifedipin dan sodium
nitropruside.4,19
Pada
pasien ini diberikan nifedipin sebagai antihipertensi. Nifedipin peroral
terbukti efektif dalam pengobatan hipertensi emergensi akut yang terjadi pada
kehamilan, yang dapat mengontrol hipertensi dengan lebih cepat. Adanya
kecenderungan deplesi dan penurunan perfusi ginjal pada eklamsia dapat
diperbaiki dengan pemberian nifedipin peroral karena efeknya yang memperbaiki
sirkulasi darah ke ginjal. Selain itu nifedipin aman digunakan karena tidak
menurunkan aliran darah uteroplasenta dan tidak berpengaruh terhadap
abnormalitas jantung fetal.20 Pada pasien ini juga diberikan oksigenasi
yang merupakan upaya hiperventilasi. Hiperventilasi akan membantu menurunkan
peningkatan tekanan intracranial.15,12
Hipertensi
pada pasien ini merupakan hipertensi emergensi, dimana terjadi komplikasi
sistemik pada paru dengan adanya udem paru pada pemeriksaan X-Ray thoraks,
serta liver yang nampak pada pemeriksaan laboratorium darah dengan peningkatan
bilirubin total, bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, dan peningkatan
AST. Dengan adanya peningkatan nilai tes fungsi hati ini dapat dikatakan
sebagai sindroma HELLP (Hemolisis, Elevated Liver function test, Low Platelet
count) parsial. Selain itu keterlibatan sistemik pada eklamsia sering juga
terjadi pada ginjal dan plasenta. Adapun proses yang terjadi pada organ-organ
tersebut identik dengan proses mikrovaskuler yang terjadi di otak.1
Dari
kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemberian antiudem yang cepat dan tepat
berdasarkan pemahaman patofisiologi udem serebri yang terjadi pada eklamsia
akan memperbaiki manifestasi klinis kelainan neurologi. Udem sitotoksik pada
pasien ini dapat
diperbaiki
dengan pemberian manitol dan magnesium sulfat, sedangkan udem vasogenik dapat
diperbaiki dengan pemberian nifedipin sebagai obat antihipertensi. Selain itu
udem serebri dapat pula diatasi dengan pemberian oksigenasi.
2.5 Intrauterine fetal death (IUFD)
Intrauterine
fetal death (IUFD) adalah janin yang mati dalam
rahim
dengan berat 500 gram atau lebih atau kematian janin
dalam rahim pada kehamilan 20
minggu atau lebih. Terdapat beberapa faktor
maternal, fetal, dan plasenta yang
mempengaruhi risiko IUFD. Dalam kasus ini, diagnosis
IUFD ditegakkan berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Beberapa studi yang dilakukan pada akhir-akhir ini
melaporkan sejumlah
faktor risiko kematian fetal, khususnya IUFD.
Peningkatan usia maternal akan
meningkatkan risiko IUFD. Wanita diatas usia 35
tahun memiliki risiko 40-50%
lebih tinggi akan terjadinya IUFD dibandingkan
dengan wanita pada usia 20-29
tahun. Risiko terkait usia ini cenderung lebih berat
pada pasien primipara
dibanding multipara. Selain itu, kebiasaan buruk
(merokok), berat maternal,
kunjungan antenatal care, faktor sosioekonomi
juga mempengaruhi resiko
terjadinya
IUFD (Sarah and Mcdonald, 2007).
Kasus
Pada tanggal 24 Agustus 2012 datang
seorang pasien, Ny. M, G3P2A0,
38 tahun, gravid 28 minggu ke RSUD
Jendral Ahmad Yani Metro dengan keluhan
utama perut terasa kencang sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak
pernah merasa perutnya kencang seperti
ini sebelumnya. Sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, telah keluar air-air dan
lendir dari liang kemaluannya. Lendir
berwarna bening, lengket, dan tidak ada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
13
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
darah. Pasien merasa tidak ada gerakan
bayi sejak satu minggu terakhir. Pasien
merasa perutnya tidak bertambah besar.
Pasien juga merasa mules-mules seperti
mau melahirkan sejak tadi pagi hari,
hilang timbul dan tidak teratur.
Pasien melakukan antenatal care (ANC)
di Puskesmas 3 kali selama
kehamilan, tidak teratur setiap bulan,
terakhir pada 1 Agustus 2012 dan terdapat
denyut jantung janin (DJJ), selama ANC
dikatakan tidak ada kelainan. Pasien
tidak pernah dilakukan USG.
Pasien tidak pernah mengalami trauma
selama hamil, pasien juga tidak ada
riwayat demam tinggi dan alergi, riwayat
minum alkohol dan merokok juga
disangkal pasien, riwayat memelihara
binatang peliharaan disangkal, riwayat
makan makanan setengah matang/panggang
disangkal, riwayat keputihan
disangkal, riwayat minum obat-obatan
lama juga disangkal.
Pasien mengalami haid pertama haid
terakhir (HPHT) pada tanggal 27
Januari 2012 dengan taksiran persalinan
pada tanggal 3 Oktober 2012. Pasien
menikah satu kali dengan usia perkawinan
20 tahun. Kehamilan sekarang
merupakan kehamilan ke 3, dimana 2
kehamilan yang lalu dilahirkan dengan
persalinan normal (aterm, pervaginam
spontan) dibantu oleh bidan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran compos mentis, keadaan
umum tampak sakit sedang, tekanan darah
120/70 mmHg, nadi 80x/menit,
pernapasan 22x/menit, dan suhu 36,7oC.
Kepala tampak normocephali, kedua
konjungtiva mata tidak anemis dan tidak
ikterik, kelenjar getah bening (KGB)
pada leher tidak membesar, mammae tampak
simetris, membesar dan areola
hiperpigmentasi, paru-paru, jantung dan
ekstremitas dalam batas normal. Pada
status obstetrikus didapatkan kesan
yaitu tinggi fundus uteri (TFU) 13 cm tidak
sesuai dengan hamil 28 minggu, letak
sungsang, presentasi bokong, punggung
kanan, tidak ada denyut jantung janin,
janin intrauterine, tunggal, mati.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
hemoglobin : 12,5 gr/dl,
hematokrit : 18,2 %, leukosit 9.600/uL,
trombosit 237.000/uL, CT : 2’30’’, BT :
13’’. Pada pemeriksaan USG tampak janin
tunggal, intra uterin, letak sungsang,
tidak ada gerakan janin, tidak ada
denyut jantung janin, terdapat Spalding Sign,
biparietal diameter (BPD) 15 mm, ketuban
sedikit.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
14
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
maka pada pasien ini dapat ditegakkan
diagnosis G3P2A0, 38 tahun, gravid 28
minggu, janin tunggal mati, intrauterin,
presentasi bokong, letak sungsang, belum
inpartu dengan Intrauterine Fetal
Death (IUFD). Penatalaksanaan pada pasien ini,
yaitu observasi tanda-tanda vital/jam,
observasi tanda-tanda inpartu, rencana
terminasi kehamilan, merangsang kontaksi
uterus dengan uterotonika, dan
pemberian antibiotik untuk mecegah
infeksi.
Pembahasan
Pada kasus ini Ny.M, 38 tahun dengan
diagnosis Intra Uterine Fetal Death
( IUFD ). Pada kasus ini, diagnosis IUFD ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
IUFD menurut ICD 10 – International
Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems adalah kematian fetal atau janin pada usia
gestasional ≥ 22 minggu (Petersson,
2002). WHO dan American College of
Obstetricians and
Gynecologist (1995) menyatakan IUFD
adalah janin yang mati
dalam rahim dengan berat badan 500 gram
atau lebih tau kematian janin dalam
rahim pada kehamilan 20 minggu atau
lebih (Petersson, 2003; Winknjosastro,
2008).
Untuk mendiagnosis IUFD dari anamnesis
biasanya didapatkan gerakan
janin yang tidak ada, perut tidak
bertambah besar, bahkan mungkin mengecil
(kehamilan tidak seperti biasanya),
perut sering menjadi keras, merasakan sakit
seperti ingin melahirkan, danpenurunan
berat badan (Agudelo et al., 2004; Mu et
al., 2003; Winknjosastro, 2008).
Pemeriksaan fisik pada pasien IUFD
biasanya didapatkan tinggi fundus
uteri berkurang atau lebih rendah dari
usia kehamilan, tidak terlihat gerakangerakan
janin yang biasanya dapat terlihat pada
ibu yang kurus. Pada palpasi
didapatkan tonus uterus menurun, uterus
teraba flaksid, dantidak teraba gerakangerakan
janin. Pada auskultasi tidak terdengar
denyut jantung janin setelah usia
kehamilan 10-12 minggu (Agudelo et al.,
2004; Mu et al., 2003; Winknjosastro,
2008).
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
15
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
Pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
pada pasien ini yaitu pemeriksaan
obstetri, inspeksi menjelaskan tanda-
tanda kehamilan tidak sesuai dengan masa
kehamilan. Ukuran tinggi fundus uteri
tidak sesuai dengan usia kehamilan. Hal ini
dikarenakan kematian janin pada kasus
ini sudah berlangsung 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Pada palpasi, tidat
teraba gerak janin dan pada auskultasi
dengan pemeriksaan Doppler tidak
terdengar bunyi jantung janin, hal ini turut
membuktikan adanya kematian janin intra
uterin.
Pada pemeriksaan laboratorium, hanya
didapatkan pemeriksaan darah
rutin dalam batas normal. Seharusnya
dilakukan pemeriksaan darah yang lebih
lengkap yaitu fibrinogen untuk
mengetahui ada tidaknya permasalahan pada
faktor pembekuan darah dari faktor janin
terhadap maternal.
Pada pemeriksaan USG biasanya akan
didapatkan beberapa tanda yaitu,
tulang tengkorak saling tutup menutupi (Spalding’s
Sign), tulang punggung janin
sangat melengkung (Naujokes’s Sign),
hiperekstensi kepala (Gerhard’s Sign),
Gelembung gas pada badan janin (Robert’s
Sign), dan femur length yang tak
sesuai dengan usia kehamilan (Agudelo et
al., 2004; Mu et al., 2003;
Winknjosastro, 2008)
Pada pemeriksaan USG yang telah
dilakukan pada pasien ini, ditemukan
janin tunggal, intrauterine dengan letak
sungsang. Didapatkan kesan janin IUFD
disertai dengan deskripsi yang menjadi
dasar diagnosis IUFD, seperti tidak adanya
gerakan janin dan tidak ada denyut
jantung janin, terdapat Spalding’s Sign
sehingga dapat ditegakkan diagnosis IUFD
dengan pasti.
Penyebab IUFD pada pasien ini bisa
dikarenakan faktor maternal dan fetal.
Berdasarkan anamnesis, pasien ini tidak
ada riwayat trauma, infeksi, dan alergi
dalam kehamilannya ini. Pasien juga
mengaku tidak punya kebiasaan minum
alkohol, merokok, dan minum obat- obatan
lama. Namun melihat usia ibu 38
tahun, dapat merupakan faktor ibu yang
terlalu tua saat kehamilan.
Faktor fetal belum dapat kita singkirkan
karena sebaiknya dilakukan
pemeriksaan autopsi apakah terdapat
kelainan kongenital mayor pada janin.
Pasien tidak memiliki binatang
peliharaan, makan daging setengah matang, yang
menurut literatur dapat menyebabkan
infeksi toksoplasmosis pada janin. Anomali
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
16
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
kromosom biasanya terjadi pada ibu
dengan usia diatas 40 tahun, dan dibutuhkan
analisa kromosom. Inkompatibilitas
Rhesus juga sangat kecil kemungkinannya
mengingat pasien dan suaminya dari suku
yang sama.
Menurut United States National Center
for Health Statistic Kematian janin
dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:
(Winknjosastro, 2008; Cuningham et al.,
2004)
1. Golongan I : Kematian sebelum massa
kehamilan mencapai 20 minggu penuh
(early fetal death)
2. Golongan II : Kematian sesudah ibu
hamil 20-28 minggu (intermediate fetal
death)
3. Golongan III : Kematian sesudah masa
kehamilan >28 minggu (late fetal death)
4. Golongan IV : Kematian yang tidak
dapat digolongkan pada ketiga golongan di
atas.
Pada kasus ini, kematian janin yang
terjadi pada usia kehamilan 28
minggu, sehingga pada kasus ini termasuk
golongan II yaitu (intermediate fetal
death). Penatalaksanaan pada kasus IUFD yaitu dengan terminasi
kehamilan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu : (Cuningham et al., 2004; Weeks,
2007)
1. Pilihan cara persalinan dapat secara
aktif dengan induksi maupun ekspektatif,
perlu dibicarakan dengan pasien dan
keluarganya sebelum keputusan diambil.
2. Bila pilihan penanganan adalah
ekspektatif maka tunggu persalinan spontan
hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 %
persalinan spontan akan terjadi
tanpa komplikasi
3. Jika trombosit dalam 2 minggu menurun
tanpa persalinan spontan, lakukan
penanganan aktif.
4. Jika penanganan aktif akan dilakukan,
nilai serviks yaitu
a. Jika serviks matang, lakukan induksi
persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, lakukan
pematangan serviks dengan
prostaglandin atau kateter foley, dengan
catatan jangan lakukan
amniotomi karena berisiko infeksi
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
17
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
c. Persalinan dengan seksio sesarea
merupakan alternatif terakhir
5. Jika persalinan spontan tidak terjadi
dalam 2 minggu, trombosit menurun dan
serviks belum matang, dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol:
a. Berikan misoprostol 25 mcg dipuncak
vagina dan dapat diulang
sesudah 6 jam
b. Jika tidak ada respon sesudah 2x25
mcg misoprostol maka naikkan
dosis menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan
berikan lebih dari 50 mcg
setiap kali dan jangan melebihi 4 dosis.
6. Jika ada tanda infeksi, berikan
antibiotika untuk metritis.
7. Jika tes pembekuan sederhana lebih
dari 7 menit atau bekuan mudah pecah,
waspada koagulopati
8. Berikan kesempatan kepada ibu dan
keluarganya untuk melihat dan
melakukan kegiatan ritual bagi janin
yang meninggal tersebut.
9. Pemeriksaan patologi plasenta adalah
untuk mengungkapkan adanya patologi
plasenta dan infeksi .
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai
dengan literatur, yaitu dilakukan
dengan penanganan aktif. Terminasi
kehamilan segera pada pasien ini dipilih
melalui induksi persalinan pervaginam
dengan mempertimbangkan kehamilan
aterm dan mengurangi gangguan psikologis
pada ibu dan keluarganya.
Penanganan secara aktif pada pasien ini
juga sudah sesuai dengan prosedur yang
seharusnya. Pada kasus ini persalinan
spontan tidak terjadi dalam 2 minggu,
sehingga perlu pematangkan serviks dengan
misoprostol atau prostaglandin F2.
Komplikasi IUFD lebih dari 6 minggu akan
mengakibatkan gangguan
pembekuan darah yang meluas (Disseminated
intravascular coagulation atau
DIC), infeksi, dampak psikologis dan
berbagai komplikasi yang membahayakan
nyawa ibu (Winknjosastro, 2008).
Penyebab kematian pada janin dalam kasus
ini, kemungkinan besar akibat
dari faktor maternal,dimana usia ibu
yang terlalu tua (> 35 tahun) (Sarah and
Mcdonald, 2007).
Edukasi pada pasien ini ialah
penjelasan mengenai program KB dan
memotivasi ibu untuk mengikutinya,
mengingat sudah memiliki anak 2 dan usia
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
18
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
ibu yang sudah tua. Mengedukasi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
mengenai kehamilan pada usia ibu yang
tua. Memberikan dukungan psikologis
agar pasien tidak terganggu akibat
kematian janin yang dialaminya saat ini, dan
menyarankan kepada keluarga pasien
untuk memberikan dukungan yang besar
untuk ibu.
Simpulan. Bedasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien ini didiagnosis
sebagai IUFD. Faktor maternal merupakan
kemungkinan terbesar penyabab kematian
janin dalam kasus ini. Terminasi kehamilan
merupakan tatalaksana dari IUFD.
2.6 Ruptur Uteri
Terjadinya rupture
uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan
suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan anak
karena rupture uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita
jumpai dinegara-negara yang sedang berkembang, seperti afrika dan asia. Angka
ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan
masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas
pengangkutan dari daerah-daerah periver dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan
faktor yang penting.
Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai teknik operasi.
Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai teknik operasi.
Menurut lokasinya:
1. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti; SC klasik(korporal) atau miomektomi.
2. Segmen bawah rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah tegang dan tipis dan akhirnya terjadi rupture uteri.
3. Servik uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versa dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-kolporeksi
Robekan-robekan diantara servik dan vagina.
Upaya pencegahan (provilaksis)
1. Panggul sempit (CPD)
Anjurkan bersalin dirumah sakit
2. Malposisi kepala
Cobalah lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tidak berhasil, pikirkan untuk melakukan SC primer saat inpartu
3. Malpresentasi
letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid servik
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara dan abdomen pendulum
9. Pada bekas SC
10. Uterus cacat karena miomektomi, curetage, manual uri, maka dianjurkan bersalin diruma sakit dengan pengawasan yang teliti
11. Rupture uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara legeartis, jangan melakukan ekspresi kristeler yang berlebih-lebihan, bidan dilarang memberikan oksitosin sebelum janin lahir
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotonika, antibiotika. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi.
1. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti; SC klasik(korporal) atau miomektomi.
2. Segmen bawah rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah tegang dan tipis dan akhirnya terjadi rupture uteri.
3. Servik uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versa dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-kolporeksi
Robekan-robekan diantara servik dan vagina.
Upaya pencegahan (provilaksis)
1. Panggul sempit (CPD)
Anjurkan bersalin dirumah sakit
2. Malposisi kepala
Cobalah lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tidak berhasil, pikirkan untuk melakukan SC primer saat inpartu
3. Malpresentasi
letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid servik
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara dan abdomen pendulum
9. Pada bekas SC
10. Uterus cacat karena miomektomi, curetage, manual uri, maka dianjurkan bersalin diruma sakit dengan pengawasan yang teliti
11. Rupture uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara legeartis, jangan melakukan ekspresi kristeler yang berlebih-lebihan, bidan dilarang memberikan oksitosin sebelum janin lahir
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotonika, antibiotika. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi.
Kasus
Senin 25 Desember
2012 pukul 10.00 WIB
Ibu datang
kebidan mengatakan hamil anak ke lima sudah melahirkan secara normal 2
kali dan secara operasi sesarea 2 kali dan tidak pernah keguguran dengan
HPHT 04 juni 2012. Ibu mengeluh nyeri perut bagian bawah, keluar
darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules sejak 1 jam yang lalu.
Keadaan umum gelisah dan
tampak cemas, kesadaran compos mentis, keadaan emosional syok, TD: 80/60
mmhg, N : 100x/menit, S: 380C, R: 30x/menit, BB sekarang 72 kg, BB
sebelumnya 63 kg, muka tidak oedema, konjungtiva pucat, sklera tidak
ikterik, Pemeriksaan abdomen: terdapat luka bekas operasi, Palpasi : TFU :
¹/3 antara pusat dan PX (Prosesus Xyfoideus) (28 cm), L1
= Difundus teraba bulat, lunak, tidak melenting ( Bokong ), LII = sebelah kanan
teraba kecil-kecil ( ektermitas ), sebelah kiri teraba lurus seperti papan (
punggung ), LIII = Disymphisis teraba keras, bulat, melenting ( kepala ) masih
bisa digoyangkan, LIV = belum masuk PAP. DJJ (+) 144x/menit,
teratur. Ekstremitas atas dan bawah simetris, tidak ada oedema, tidak ada
varises. Pemeriksaan Dalam : portio : nyeri goyang. Data penunjang : Hb : 9 gr
%
A : Ny. Z Usia 42
tahun G5P4 A0 hamil 28 minggu
dengan rupture uteri
Janin Tunggal Hidup Intra Uterin
Presentasi Kepala
P :
1. Menyampaikan
hasil pemeriksaan (bahwa ada penyulit yang menyertai,
menjelaskan kemungkinan untuk ditranfusi darah,
dan dilakukan operasi)
Hasil : ibu telah mengetahui hasil
pemeriksaan
2. Mengatur
posisi ibu senyaman mungkin
Hasil : ibu sudah diposisikan dengan
posisi tidur
3. Memberi
dukungan psikologis pada ibu
Hasil : ibu terlihat tenang
setelah diberikan dukungan psikologis
4. Memberi
cairan Ringer Laktat 28 tetes/menit
Hasil : cairan Ringer Laktat sudah
diberikan dengan 28 tetes/menit
5. Memberikan
antibiotic ampicilin 2 gr melalui IV
Hasil : antibiotic ampicilin
2gr sudah diberikan melalui IV
6. Segera
merujuk ibu dengan membawa BAKSOKUDA (Bidan, Alat, keluarga, Surat
(dokumentasi), Obat, Kenderaan, Uang, Donor darah).
Hasil : hal-hal yang diperlukan
untuk rujukan sudah dipersiapkan dan pasien siap dirujuk.
PEMBAHASAN
Pada awal pemeriksaan penulis
memberikan pelayanan standar 10 T, hal ini sesuai dengan Direktorat Bina
Kesehatan Ibu, Kementrian Kesehatan RI, bahwa pelayanan atau asuhan standar
minimal pemeriksaan 10 T. Pasien telah melakukan 2 kali kunjungan
ANC.
Dari hasil anamnesa didapat Ny. Z
berumur 42 tahun, hamil yang kelima, menurut teori bahwa umur yang baik untuk
ibu hamil adalah 20-35 tahun agar segalanya sehat, baik reproduksinya maupun
psikologinya. Berarti tidak sama antara teori dengan kasus yang diambil, jadi
Ny. Z tergolong kurang baik untuk hamil karena umurnya 42 tahun dan hamil
kelima ini tidak sesuai dengan program pemerintah yaitu dua anak lebih baik.
Menurut teori bahwa umur yang baik
untuk ibu hamil adalah 20-35 tahun agar segalanya sehat, baik reproduksinya
maupun psikologinya, sedangkan dari hasil anamnesa didapat Ny. Z berumur 42
tahun, hamil yang kelima. Hal ini menunjukan bahwa Ny. Z tidak termasuk
kedalam katagori usia yang dianjurkan untuk hamil.
Pada riwayat menstruasi Ny. Z
didapatkan informasi bahwa siklus haidnya 28 hari, teratur, sehingga tapsiran
persalinan Ny. Z dapat menggunakan rumus Neagel, dimana hari pertama haid
terakhir tanggal 08 Oktober 2012, dengan tapsiran persalinan tanggal 15 Juli
2013 (Wiknjosastro, 2006).
Pada usia kehamilan
12 minggu ibu mengeluh nyeri perut bagian bawah, keluar darah
pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules.
bahwa nyeri perut bagian bawah,
keluar darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules yang dialami ibu,
menurut teori adalah tanda bahaya kehamilan trimester I ( Sarwono,2002
). Tekanan darah Ny Z juga mengalami penurunan dari 110/70 mmHg pada
usia kehamilan 8 minggu menjadi 80/60 mmHg pada usia kehamilan 12 minggu
menurut teori bahwa tekanan darah ibu hamil normal 110/70 mmHg – 120/80 mmHg
(Sarwono,2002) sedangkan dari hasil data objektif didapatkan Tekanan darah Ny.
Z 80/60 mmHg. Hal ini Ny. Z termasuk keadaan yang tidak normal ( hipotensi ).
Muka tidak oedema, konjungtiva pucat. Pemeriksaan abdomen: terdapat luka bekas
operasi, Palpasi : TFU : 2 jari dibawah pusat (16 cm). Menurut teori bahwa
normal TFU usia kehamilan 12 minguu adalah 3 jari diatas sympisis ( Mc.donald
). saat dilakukan pemeriksaan penunjang, didapat hasil Hb: 9 gram %
Hal ini menunjukan keadaan ibu anemis karena menurut teori bahwa normal ibu
hamil 11 gr % (Depkes RI ). Sehingga ibu didiagnosa mengalami rupture uteri,
dilihat dari faktor riwayat persalinan yang lalu.
Dikarenakan adanya komplikasi
kehamilan pada Ny.Z, maka Ny.Z dirujuk ke tempat yang memiliki fasilitas yang
memadai, hal ini sesuai dengan APN 2008 rujukan dalam
kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas rujukan atau fasilitas yang
memiliki sarana lebih lengkap.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah beberapa kasus yang terajdi seperti plasenta previa,
solusio plasenta, preeklamsia ringan dan berat, rupture uteri dan eklamsia
bahwa semuanya sebenarnya dapat di atasi atau ditangani dengan cepat dan tepat.
Namun ada banyak hal yang dapat menyebabkan itu terjadi dan disinilah
dibutuhkan keterampilannya seorang bidan mulai dari skill/ kemampuan, tidak
salah dalam penatalaksaan persalinan, dan mendirikan diagnosis yang tepat agar
terhindar dari kematian ibu.
Terutama
pada kasus pendarahan seorang ibu yang melahirkan, kasus ini masih sangat
tinggi bahkan sering menyebakan kematian, inilah yang harus diperbaiki dan
harus mengetahui apa penyebab itu terjadi. Dan disinilah peran bidan harus dapat menanganinya.
3.2
Saran
Saat menangani proses persalinan terlebih
dahulu kita harus mengetahui yang terjadi pada kondisi ibu sehingga bidan dapat
mengambil langkah untuk tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar