RSS

MAKALAH KASUS PERSALINAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam dunia kesehatan sering kita jumpai permasalahan kematian kepada seorang ibu. Masalah yang terkait begitu banyak mulai dari Solusio plasenta, Plasenta previa, Preeklamsia ringan dan berat, eklamsia,  rupture uteri, dan Intrauterine fetal death (IUFD). Kasus-kasus ini sudah sering terjadi yang hingga akhinya menyebabkan kematian dan pada Indonesia sendiri angka kematian seorang ibu sangat tinggi , banyak faktor-faktor yang menyebabkan itu semua terjadi mulai dari faktor umum sampai dengan khusus. Tentu bidan mempunyai tanggung jawab mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana cara penangan yang tepat terhadap kasus yang sering terjadi agar mengurangi angak kematian di Indonesia.
Pada makalah ini saya banyak mengupas hal yang terkait pada permasalahan yang terjadi dalam kebidanan seperti kasus di atas dengan di dukung dari  jurnal dengan sumber yang akurat, tentunya pada jurnal yang saya ambil sudah terlebih dahulu melakukan penelitian.

1.2  Tujuan
Makalah ini bertujuan agar setiap mahasiswa dapat memahami dan mencermati setiap kasus dan bagaimana cara penangannya . Dan di harapkan kepada mahasiswi bidan dapat menambah wawasan secara lebih luas dan kelak akan di jadikan pelajaran pada saat telah menjadi seorang bidan.

1.3  Manfaat
Semoga pada makalah ini memberikan manfaat dalam menganalisis suatu kasus dan membantu mahasiswi kebidanan dalam mengerjakan tugas.








BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Plasenta Previa
      Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri
internum.1 Gambaran klinis yang paling khas pada plasenta previa adalah
perdarahan tanpa rasa sakit, yang biasanya timbul pada trimester kedua
atau setelahnya.
Plasenta previa memiliki beberapa faktor risiko yaitu usia, paritas,
riwayat seksio sesaria, riwayat abortus, dan suku. Pada penelitian oleh
Tabassum et al., tahun 2010 di Pakistan mendapatkan bahwa usia adalah
salah satu faktor risiko dari plasenta previa, yaitu usia ≥ 35 tahun memiliki
risiko hampir 2 kali lebih besar dibandingkan usia < 35 tahun, serta ibu
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfRuM59jUrWwC8sU5eLeKZgjLftB179kXh09f11SpedNsIhyUEFYwPmH2NUEmh5Uh_YOtgXYfdqd1AnWj_rBFXZlW25wlGQ_6PO6cCpTldJXa6CgU42ZBr_ouB_AeBO3TsYJdihp-zuqpK/s1600/placenta-previa.gifdengan riwayat seksio sesaria pada kelahiran sebelumnya memiliki risiko
4,5 kali mengalami plasenta previa.5 Berdasarkan penelitian oleh Kim et
al. tahun 2011, didapatkan bahwa wanita Asia dan wanita kulit hitam
memiliki risiko mengalami plasenta previa lebih tinggi dibandingkan wanita
kulit putih.6
Hasil penelitian oleh Abdat di rumah sakit dr. Moewadi Surakarta
tahun 2010 mendapatkan risiko terjadinya plasenta previa pada ibu
multiparitas meningkat 2,53 kali.7 Penelitian Alit dan Kornia di rumah sakit
Sanglah Denpasar, Bali, tahun 2002, mendapatkan peningkatan risiko
terjadinya plasenta previa pada wanita dengan riwayat abortus sampai 4
kali lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa riwayat abortus.8
Prevalensi yang didapatkan pada penelitian ini (2,02%) lebih
rendah dibandingkan prevalensi yang dilaporkan pada studi oleh Halimi
tahun 2003-2007 di Pakistan 10, Eichelberger et al. pada Desember 2003-
2007 11, Dirjen Yanmedik tahun 2005 3, Imna tahun 2010 di RS dr.
Pirngadi Medan 4, Rambey tahun 2005-2006 di RS dr. M. Djamil Padang
12, namun lebih tinggi dari yang dilaporkan Hung et al. tahun 2007 di
Taiwan 13 dan RS Parkland, Amerika Serikat pada tahun 1998-2006.2 Hal
ini bisa dikarenakan pencatatan dan penyimpanan rekam medis secara
tidak sistematis dan lengkap,. Penyebab lain yang mungkin adalah masih
rendahnya penggunaan ultrasonografi (USG) baik untuk diagnosis
maupun deteksi dini. Padahal dengan meluasnya penggunaan
ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini,
insiden plasenta previa bisa lebih tinggi.1 Adanya perbedaan prevalensi
plasenta previa yang dilaporkan pada studi-studi yang dilakukan
8
disebabkan perbedaan populasi yang diteliti dan perbedaan metode
diagnosis plasenta previa yang dilakukan22.
Penelitian ini mendapatkan bahwa plasenta previa lebih banyak
terjadi pada usia < 35 tahun dan usia memiliki hubungan yang bermakna
dengan plasenta previa serta merupakan faktor risiko dari plasenta previa
(OR = 1,93), yang sejalan dengan hasil penelitian dari Hung et al. tahun
2007 (OR = 2,0-2,2)13, Tabassum et al. tahun 2010 (OR = } 2)5 dan
Widyastuti tahun 2007 (OR = 2,01)14. Dampak peningkatan usia ibu
terutama ≥ 35 tahun kemungkinan besar berhubungan dengan penuaan
uterus, sehingga terjadi sklerosis pembuluh darah arteri kecil dan arteriol
miometrium, menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata
sehingga plasenta tumbuh dengan luas permukaan yang lebih besar,
untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat, yang akhirnya
menyebabkan terjadinya plasenta previa.8,13
Multiparitas merupakan faktor risiko plasenta previa sebagaimana
yang dilaporkan oleh Davood et al. tahun 2008 (OR = 3,8)15, Abdat pada
tahun 2010 (OR = 2,53)7 dan Simbolon tahun 2012.16 Hasil penelitian ini
juga menemukan bahwa ibu dengan paritas ≥ 3 memiliki risiko 2,07 kali
mengalami plasenta previa dibandingkan ibu dengan paritas 0-2. Terdapat
perbedaan OR dengan penelitian sebelumnya yaitu OR yang didapatkan
lebih rendah, karena perbedaan jumlah sampel yang mempengaruhi
karakteristik sampel penelitian itu sendiri. Meningkatnya risiko pada
multiparitas adalah disebabkan vaskularisasi yang berkurang dan atrofi
pada desidua akibat persalinan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan aliran
darah ke plasenta tidak cukup sehingga plasenta memperluas
permukaannya untuk mencari bagian dengan suplai darah yang banyak
yaitu bagian segmen bawah uterus dan menutupi jalan lahir, yang
biasanya dikaitkan dengan placental migration.1,17 Hal yang serupa
diungkapkan oleh Kay et al. tahun 2011 yaitu terjadinya persalinan
berulang pada wanita multipara mengakibatkan adanya predisposisi
9
perbaikan jaringan yang abnormal pada endometrium sehingga implantasi
plasenta cenderung di segmen bawah uterus bukan di bagian fundus.21
Riwayat seksio sesaria dilaporkan oleh Tabassum et al. tahun 2010
meningkatkan risiko plasenta previa sebesar 5,3 kali dan 1,6 kali pada
penelitian Cromwell et al. tahun 2011, serta Getahun et al. tahun 2006
melaporkan peningkatan risiko sebesar 2 kali.5,18,19 Studi pada penelitian
ini mendapatkan tidak adanya hubungan antara riwayat seksio sesaria
dan plasenta previa, dengan OR sebesar 1,35. Odds Ratio yang
didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan OR yang
dilaporkan pada penelitian sebelumnya, yang diakibatkan perbedaan
demografi penduduk yang menjadi subjek penelitian karena perbedaan
tempat penelitian dan perbedaan metodologi penelitian dalam hal
pemilihan kelompok kasus dan kontrol, begitu pula desain penelitian yang
digunakan. Perubahan patologis dapat terjadi pada miometrium dan
endometrium uterus jika ada jaringan parut bekas seksio sesaria yang
mengakibatkan implantasi plasenta menjadi rendah pada ostium uteri
internum sehingga meningkatkan risiko plasenta previa.19,20
Hasil dari penelitian ini mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya,
baik yang dilaporkan oleh Hung et al. tahun 2007 (OR = 1,3-3,0), Davood
et al. tahun 2008 (OR = 8,1) serta Alit dan Kornia tahun 2002 (OR = 3,5) ,
yaitu adanya hubungan antara riwayat abortus dan plasenta previa serta
riwayat abortus merupakan faktor risiko plasenta previa dengan OR
sebesar 2,34 untuk penelitian ini yang nilainya lebih rendah dari hasil
ketiga penelitian tersebut.8,13,15 Hal ini dapat diakibatkan pertama karena
perbedaan metodologi penelitian, baik dari segi jumlah sampel penelitian
maupun tempat penelitian dilakukan yang berkaitan dengan perbedaan
demografi subjek penelitiannya. Kedua, adanya perbedaan tingkat
pajanan faktor risiko, dalam hal ini berupa riwayat abortus, bisa dilihat dari
jumlah ibu hamil yang memiliki riwayat abortus jumlahnya lebih sedikit dari
yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya. Adanya riwayat abortus
pada kehamilan sebelumnya baik yang diinduksi maupun spontan
10
berpengaruh terhadap terjadinya plasenta previa. Mekanisme yang dapat
menjelaskan pengaruh tersebut adalah kerusakan ataupun terbentuknya
jaringan parut pada endometrium akibat dilakukannya kuretase uterus
sehingga menganggu proses implantasi plasenta di bagian fundus uteri.15
Kesimpulan
Jumlah kasus plasenta previa di RSU dr. Soedarso pada tahun 2009
sampai dengan 2011 adalah 109 kasus dari 5406 persalinan, dengan
persentase 2,02%. Usia maternal, paritas, riwayat seksio sesaria dan
riwayat abortus merupakan faktor risiko kejadian plasenta previa pada ibu
hamil di RSU dr. Soedarso tahun 2009 sampai dengan 2011.















2.2  Preeklamsia Ringan dan Berat
1.      Preeklamsia Ringan
  adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas.
Preeklampsia ringan bila disertai dengan keadaan sebagai berikut :
a.       Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring telentang, atau kenaikan sistdik 30  mmHg atau lebih cara pengukuran sekurang-urangnnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
b.      Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka : atau kehamilan berat badan 1 kg lebih atau lebih perminggu.
c.       Proteinuria kwantitatif 0,3 gram atau lebih perliter :  kwalitatif 1 + atau 2 + pada urun
kater atau midstream.
Adanya yang melaporkan angka kejadian sebanyak 6% seluruh kehamilan, dan 12% pada kehamilan pimigravida. Menurut beberapa penulis dan frekuensi dilaporkan sekitar 3-10%.
Lebih banyak dijumpai pada primigravida dari pada multigravida, terutama primigravida usia muda.
Faktor-faktor predisposisi untuk terjadinya preeklamsia adalah molahida tidosa, diabetes melitus, kehamilan ganda, hidrops fetalis, obetasi, dan umur yang lebih dari 35 tahum.

Penanganan
Tujuan utama penanganan ialah :
          Pencegahan terjadi pre-eklamsia berat dan eklamsia
         Melahirkan janin hidup
         Melahirkan janin dengan trauma sekecil kecilnya.
Pada dasarnya penanganan terdiri dari penanganan medik dan obstetrik.
Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optoimal yaitu sebvelum janin mati dalam kandungan akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus.
Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita pre-eklamsi di rumah sakit ialah
- tekanan darah siscol 140 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah diastol 90 mmHg, protein +1 atau lebih.
- Kenaikan berat badan 1,5 Kg atau lebih dalam seminggu berulang
- Penambahan edema berlebihan tiba-tiba

Penanganan pre-eklamsia ringan
Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi untuk penanganan pre-eklamsia. Istirahat dengan berbaring pada posisi tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga elbih banyak. Tekanan pada ekstermitas bawah turun dan resobsi aliran darah tersebut bertambah. Selain itu juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar. Oleh sebab itu, dengan istirahat biasanya tekanan darah turun dan adema berkurang. Pemberian fenobarbital 3 x 30mg sehari akan meningkatkan penderita dan dapat juga menurunkan tekanan darah.
Pada umunya pemberian diuretik dan anti hipertensi pada pre-eklamsia ringan tidak dianjurkan karena obat-obat tersebut tidak menghentikan proses penyakit dan juga tidak memperbaiki prognosis janin. Selain itu, pemakaian obat-obatan tersebut dapat menutupi tanda dan gejala pre-eklamsia berat.
Setelah keadaan normal, penderita dibolehkan pulang, akan tetapi harus dipaksa lebih sering. Karena biasanya hamil sudah tua, persalinan tidak lama lagi. Bila hipertensi menetap, penderita tetap tinggal dirumah sakit. Bila keadaan janin mengizinkan, tunggu dengan melakukan induksi persalinan, sampai persalinan cukup bulan atau > 37 minggu.
Beberapa kasus pre-eklamsia ringan tidak membaik dengan penanganan konservatif. Tekanan darah meningkat, retensi cairan dan proteinuria bertambah, walaupun penderita istirahat dengan pengobatan medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.
Pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 16.00 WIB, Ny. E umur 25 tahun mengeluh pusing dan kakinya bengkak. Ibu mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit apapun. Riwayat menstruasi siklus 30 hari, banyaknya 3x ganti pembalut, teratur, lamanya 5 hari, sifat darah encer, dan tidak disminorhoe. Riwayat perkawinan syah 1 kali dan belum mempunyai anak. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu G1P0A0. Ibu mengatakan belum pernah menyusui sebelumnya. Riwayat hamil HPHT 08-10-2011 dan ramalan persalinannya tanggal 15-7-2012, ANC 8 kali teratur, hamil muda keluhan mual muntah, mendapatkan imunisasi TT 2 kali pada usia kehamilan 20 dan 24 munggu dan hamil tua keluhan pusing dan kaki bengkak. Ibu mengatakan tidak pernah menggunakan KB apapun, ibu mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit sistemik seperti DM, TBC, Asma, jantung, hipertensi, ginjal dan hepatitis dan ibu mengatakan tidak pernah dioperasi, dikeluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit apapun dan tidak ada keturunan kembar baik dari pihak ibu maupun suami. Ibu mengatakan kehamilan ini direncanakan dan jenis kelamin yang diharapkan laki-laki. Kebiasaan ibu sehari-hari antara lain makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk bervariasi, sayuran dan buah-buahan, porsinya setengah piring dan tidak ada pantangan apapun, ibu minum air putih sehari ± 7-8 gelas dan tidak ada keluhan apapun, istirahat cukup tidur malam ± 6-7 jam dan tidur siang ± 2 jam. Ibu mengatakan tidak merokok dan tidak mengkonsumsi obat-obatan selain obat dari bidan, untuk eliminasi BAK ± 4 kali sehari konsistensinya jernih tapi tidak ada keluhan apapun, BAB 1 kali sehari konsistensi lunak dan berbau khas srta tidak ada keluhan apapun.
  Setelah dilakukan pemeriksaan status generalis didapatkan keadaan umum ibu baik, kesadaran composmentis, TTV: tekanan darah 140/110mmHg, 37°C, nadi 79x/menit, respirasi 20x/menit, tinggi badan ibu 162cm, BB sekarang 72 kg, BB sebelum hamil 68 kg, dan LILA 26 cm. Sedangkan dari hasil pemeriksaan sistematis muka sedikit bengkak, mata conjungtiva tidak pucat, skelera tidak kuning, palpebra tidak cekung.Hasil pemeriksaan mamae membesar, tidak ada tumor, simetris kanan dan kiri, aerola hyperpigmentasi, puting susu menonjol, kolostrum belum keluar, axilla tidak ada tumor dan nyeri tekan, ekstremitas tungkai simetris kanan dan kiri, tidak ada varices, oedema positif kanan dan kiri dan refleks pattela positif kanan dan kiri. Pemeriksaan khusus obstetric didapatkan inspeksi abdomen membesar dengan arah memanjang dan tidak ada pelebaran vena, striae albican, linea nigra, palpasi tidak ada kontraksi, TFU 30cm, Leopold I FU teraba bulat, lunak, tidak melenting (bokong) , Leopold II kanan teraba panjang, keras, seperti papan ( punggung), kiri teraba bagian-bagian kecil janin (ekstremitas), Leopold III terisi bulat, keras, tidak melenting (kepala), Leopold IV divergent 3/5 bagian, lingkar bendel tidak ada, nyeri tekan tidak ada, TBJ (30-11)x155= 2945 gram, DJJ terdengar jelas disatu titik frekuensi 146x/menit. Pemeriksaan ano genital tidak dilakukan, pemeriksaan laboratorium Hb dan urin reduksi tidak dilakukan, protein urin (++).
Berdasarkan hasil pengkajian dan hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa yaitu ibu G1P0A0 hamil 36 minggu > 3 hari dengan preeklamsi ringan, Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepalaDasar ibu mengatakan ini kehamilan pertamanya, belum pernah melahirkan dan tidak pernah keguguran, HPHT 08-10-2011, TD 140/110 mmHg dan hasil pemeriksaan protein urin (++), DJJ terdengar jelas disatu titik frekuensi 146x/menit, leopold III teraba bulat, keras, tidak melenting (kepala). Masalah ibu merasa pusing dan kakinya bengkak, masalah potensial preeklamsi berat antisipasi melakukan terapi penanganan preeklamsi danobservasi tanda dan gejala PEB, tindakan segera kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan.
Setelah menentukan diagnosa pada ibu rencana asuhan yang akan diberikan yaitu beritahu ibu dan keluarga tentang kondisi bu saat ini, beri terapi penanganan preeklamsi, anjurkan ibu untuk diet tinggi protein dan rendah lemak, beri tahu ibu tanda-tanda preeklamsi dan eklamsi, anjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan rencana pada ibu maka dapat melakukan tindakan yaitu memberitahu ibu dan keluarga bahwa kondisi ibu kurang baik yaitu ibu mengalami preeklamsi atau keracunan dalam kehamilan dimana salah satu cirinya yakni adanya peningkatan tekadan darah dan adanya protein dalam urin tapi preeklamsinya masih ringan, memberi terapi penanganan preeklamsi yaitu memberitahu ibu tentang pentingnya istirahat tidur malam minimal 7-8 jam dan tidur siang minimal 1 jam, menganjurkan ibu untuk tidak bekerja terlalu berat dan selalu menjaga ketenangan pikirannya, menganjurkan ibu untuk tidur dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala, menaganjurkan ibu untuk diet tinggi protein dan rendah lemak serta mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan untuk mengurangi tekanan darahnya, memberitahu i u tanda-tanda preklamsi berat dan eklamsi seperti sakit kepala yang hebat disertai penglihatan kabur, nyeri epigastrium, dan kejang, menganjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan tindakan kami dapat mengevaluasi hasil ibu  dan keluarga sudah tau tentang kondisi ibu, ibu mengerti dengan apa yang dianjurkan oleh bidan, ibu berjanji akan melakukan apa yang dianjurka oleh bidan, ibu sudah tahu tentang tanda-tanda preeklamsi dan eklamsi, ibu berjanji akan melakukanpemeriksaan kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan pengkajian pada pasien Ny. E hamil dengan preeklamsi ringan. Terdapat kesenjangan pada teori dan tindakan yang telah dilakukan seperti, dalam teori pemeriksaan ibu hamil seharusnya dilakukan sesuai dengan manajemen varney, tetapi disini ada beberapa pemeriksaan yang tidak dilakukan seperti pemeriksaan rambut, hidung, telinga, mulut, leher, pemeriksaan anogenital dan pemeriksaan Hb dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan.



2.      Preeklampsia Berat
  Dari data yang didapat di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010 didapatkan
234 (11,86%) kasus preeklamsia berat dari 1973 persalinan dengan umur
kehamilan diatas 20 minggu. Terjadi penurunan 1,46% angka kejadian
preeklamsia berat apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Arie Indrianto (2009).4 Dari seluruh persalinan tersebut terdapat lima belas
kehamilan (6,4%) dengan jumlah janin ganda. Sehingga jumlah bayi dari
persalinan ibu hamil dengan preeklamsia di RSUP dr Kariadi tahun 2010 adalah
249 bayi. Dari 234 ibu hamil dengan preeklamsia berat yang dirawat, sebagian
besar (70,5%) masuk dalam kategori umur produktif yaitu antara umur 20 tahun
hingga 35 tahun. Sedangkan 29,5% sisanya berada dalam kategori umur ekstrim
atau kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Hasil yang didapat tidak
sesuai dengan sumber literatur dimana risiko terjadinya preeklamsia meningkat
pada ibu dengan umur terlalu tua atau terlalu muda. Hal ini mungkin terjadi
karena meningkatnya kesadaran masyarakat tentang bahaya kehamilan pada
umur ekstrim. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Duckitt dan Harrington
(2005) mengatakan bahwa seorang nulipara memiliki risiko mengalami
preeklamsia berat dua kali lebih besar.9 Sehingga dapat dikatakan nullipara dan
primigravida merupakan faktor risiko timbulnya preeklamsia.1 Hal ini sesuai
dengan data yang didapat dimana 35,9% atau 84 dari pasien belum pernah
melahirkan bayi yang dapat bertahan hidup atau nullipara dan juga sebagian
besar (31,2%) pasien merupakan primigravida. Duckitt dan Harrington juga
13
melaporkan bahwa risiko terjadinya preeklamsia meningkat dengan adanya
peningkatan BMI. Sedangkan risiko preeklamsia berkurang secara signifikan
pada pasien dengan BMI <20.9 Hal ini sesuai dengan data yang didapat yaitu 64
kasus (58,2%) memiliki BMI >29 atau masuk dalam kriteria obese dan 2 kasus
(1,8%) yang memiliki BMI ≤19. Akan tetapi 124 data yang didapat tidak tercatat
lengkap sehingga tidak dapat diketahui BMI pasien. Selain itu pencatatan berat
badan hanya dicatat saat pasien masuk atau dirujuk ke RSUP dr Kariadi
sehingga tidak dapat diketahui penambahan jumlah berat badan sebelum masa
kehamilan hamil hingga hamil. Penyakit penyerta yang dapat menjadi penyulit
atau faktor risiko terjadinya preeklamsia yang tersering adalah hipertensi (8,1%),
penyakit jantung (4,3%) dan diabetes melitus (1,7%). Menurut penelitian yang
telah dilakukan oleh McCowan, dkk (1996) bahwa wanita dengan hipertensi
kronik dapat mengalami superimposed preeclampsia yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya kematian perinatal, pertumbuhan janin yang terhambat, dan
kelahiran sebelum 32 minggu umur kehamilan.9
Tuffnell (2005) melaporkan dalam kurun waktu 1999 hingga 2003 tidak
terdapat kematian maternal dari 1087 pasien preeklamsia berat.10 Sedangkan
pada penelitian ini dari 234 ibu hamil dengan preeklamsia berat yang melakukan
persalinan di RSUP dr Kariadi terdapat lima (2,1%) pasien yang meninggal.
Kelimanya disebabkan karena gagal nafas dan edema paru. Tiga diantaranya
disertai HELLP sindrom parsial, satu karena efusi pleura dan satu lagi karena
DIC dan gagal ginjal akut. Dari lima kasus tersebut, satu diantaranya meninggal
sebelum persalinan. Terjadi peningkatan angka kematian maternal jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie Indrianto, dimana
pada tahun 2004 angka kematian maternal karena preeklamsia berat di RSUP dr
Kariadi adalah 1,8%.4 Sebagian besar dari pasien preeklamsia berat melakukan
persalinan dengan tindakan (69,3%) dan yang paling sering adalah dengan
seksio sesarea (44%) lalu diikuti dengan ekstraksi vakum (20,1%). Sedangkan
30,3% lainnya melakukan persalinan spontan pervaginam. Hasil yang didapat
hampir serupa dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Alexander,dkk
(1999) dimana dari 278 bayi tunggal lahir hidup di Parkland Hospital separuh
14
diantaranya menjalani persalinan melalui seksio sesarea.1 Dari data yang didapat
hanya sebagian kecil dari pasien dengan preeklamsia berat yang mengalami
perdarahan antepartum (4,7%) dan perdarahan postpartum (2,1%). Perdarahan
antepartum yang lebih sering terjadi adalah plasenta previa (4,3%), sedangkan
solusio plasenta hanya satu kasus (0,4%). Hasil yang didapat tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ananth dkk (1999) dimana terjadi peningkatan
insiden solusio plasenta tiga kali lipat pada hipertensi kronik dan empat kali lipat
pada preeklamsia berat.1 Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar dari
pasien merupakan nullipara maupun primipara dimana salah satu faktor risiko
terjadinya solusio plasenta selain preeklamsia dan hipertensi kronik adalah
paritas yang tinggi sehingga didapat angka kejadian solusio plasenta yang
rendah. Menurut penelitian yang dilakukan Frediksen dkk (1999) insidensi
plasenta previa meningkat seiring dengan bergesernya umur populasi obstetris
ke arah yang lebih tua.11 Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dimana
kejadian plasenta previa meningkat seiring dengan peningkatan umur pasien
preeklamsia berat. Rendahnya angka kejadian perdarahan postparum
menandakan bahwa telah terjadi penangan persalinan yang baik sehingga
kejadian perdarahaan postpartum dapat dihindari. Pada penelitian ini terdapat
tujuh kasus (3%) eklamsia dari 234 pasien dengan preeklamsia berat pada tahun
2010 di RSUP dr Kariadi. Dari tujuh kasus tersebut, empat diantaranya
mengalami kejang setelah persalinan. Sedangkan sisanya mengalami kejang
saat perawatan atau sebelum dirujuk ke RSUP dr Kariadi. Selain itu terdapat
pula 19 kasus (8,1%) impending eclampsia yang menunjukan tanda- tanda
prodormal, atau tanda khas yang dapat menjadi tanda akan terjadinya kejang,
seperti pusing, mual, muntah, nyeri ulu hati dan pandangan kabur. Dari 19 kasus
tersebut hanya satu yang mengalami eklamsia. Chappell (2008) melaporkan
terdapat tiga pasien (2%) yang mengalami sindrom HELLP dari 180 pasien
superimposed preeclampsia.6 Sedangkan pada penelitian ini, angka kejadian
sindrom HELLP lebih rendah 0,3% yaitu terdapat empat kasus (1,7%) sindrom
HELLP yang terdiri dari trombositopenia dan gangguan fungsi hati yang
ditandai dengan kenaikan kadar LDH dan SGOT dalam darah. Selain itu
15
terdapat 26 kasus (11,11%) sindrom HELLP parsial yang hanya terdiri dari satu
atau dua gejala sindrom HELLP. Dari 26 kasus tersebut terdapat sembilan belas
kasus trombositopenia, tiga belas kasus kadar SGOT lebih dari 70 UI/L dan
delapan kasus kadar LDH melebihi 600 UI/L. Pada penelitian ini didapat 24
kasus (10,3%) edema paru pada pasien preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi.
Dimana lima diantaranya meninggal dunia. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Arie Indrianto di RSUP dr Kariadi pada tahun 2004 terdapat empat kasus
edema paru (1,7%) dimana tiga diantaranya, yang disertai dengan sindrom
HELLP dan payah jantung, dinyatakan meninggal dunia. Selain edema paru
komplikasi lain pada ibu karena preeklamsia berat adalah gagal ginjal akut.
Didapatkan empat kasus (1,7%) gagal ginjal akut pada pasien preeklamsia berat
di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Tuffnell terdapat enam kasus (0,6%) gagal ginjal hingga memerlukan dialisis.10
Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran pasca serangan
kejang eklamsia yang dapat disebabkan karena komplikasi pada otak seperti
edema serebri dan perdarahan otak. Hal ini mungkin disebabkan karena
sedikitnya kasus preeklamsia berat yang mengalami eklamsia (3%). Karena
menurut penelitian yang dilakukan oleh Cunningham dan Twickler (2000)
selama 13 tahun di Parkland Hospital hanya terdapat 10 dari 175 wanita yang
mengalami eklamsia yang memperlihatakan adanya edema serebri. Loureiro dkk
(2003) melaporkan dari 25% wanita dengan eklamsia memperlihatkan adanya
area infark serebri pada pemeriksaan neuroimaging.1 Sedangkana pada pasien
preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi tidak dilakukan pemeriksaan CT Scan
sehingga tidak didapatkan kasus komplikasi pada otak.
Dari data yang didapat sebagian besar pasien preeklamsia melahirkan
bayi dengan berat badan diatas 2500 gram (63,8%). Begitu juga dengan hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Chappell dimana hanya 56% bayi yang lahir dari
pasien preeklamsia berat memiliki berat diatas 2500 gram.6 Dari berat badan
badan bayi lahir didapatkan juga angka kejadian pertumbuhan janin yang
terhambat yaitu sebanyak 17 kasus (7%). Angka kejadian pertumbuhan janin
yang terhambat dalam penelitian ini diambil dari diagnosis dalam catatan medik.
16
Pada penelitian ini sebagian besar (72,8%) bayi lahir pada umur kehamilan lebih
dari 37 minggu. Terjadi peningkatan angka kejadian kelahiran preterm sebesar
1,7% apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie
Indrianto dimana terdapat angka kejadian kelahiran preterm sebesar 25,5%.4
Akan tetapi hasil yang berbeda dilaporkan oleh Tuffnell dimana dari 1078 pasien
preeklamsia berat sebagian besar (65,3%) lahir pada umur kehamilan kurang
dari 37 minggu.10 Begitu juga dengan Chappell yang melaporkan bahwa 75%
dari bayi yang lahir dilahirkan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu.6
Sebagian besar (83,3%) bayi lahir dengan nilai skor APGAR lebih dari
tujuh,sehingga terdapat 16,7% atau 38 kasus yang lahir dalam keadaan nilai skor
APGAR kurang dari tujuh. Dari 38 kasus tersebut, sebelas bayi mengalami
asfiksia berat dan tiga diantaranya tidak dapat bertahan hidup. Dari 244 bayi
yang lahir didapatkan angka kematian perinatal sebesar 7,8% atau 19 perinatal
meninggal baik dalam kandungan atau sesaat setelah persalinan. Sebagian besar
dari angka kejadian kematian perinatal tersebut meninggal dalam kandungan
atau intra uterine fetal death (IUFD) sebanyak 84,2%. Sisanya meninggal
karena asfiksia berat (15,8%).Hasil dari penelitian ini apabila dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie Indrianto maka terlihat peningkatan
presentase kematian perinatal sebesar 2,1%. Akan tetapi presentase kematian ini
lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuffnell
dimana terdapat 54 (4,7%) kematian perinatal dari 1145 bayi yang lahir dan
penelitian yang dilakukan Chappell dimana terdapat 7 (3,8%) kematian perinatal
dari 180 bayi yang lahir.4,6,10
Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak semua data pasien
preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010 dapat diambil karena
ada beberapa data yang tidak tercatat dengan baik dalam catatan medik dan
beberapa catatan medik yang tidak dapat ditemukan. Selain itu data diambil dari
diagnosis terakhir sebelum pasien meninggalkan rumah sakit sehingga terdapat
kemungkinan terjadi human error dalam penulisan data dalam catatan medik.
17
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian pengaruh preeklamsia berat pada kehamilan terhadap
keluran maternal dan perinatal di RSUP dr Kariadi didapatkan bahwa terjadi
peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Pada penelitian
ini didapatkan keluaran maternal pada preeklamsia berat berdasarkan profil
obstetri meliputi antara lain cara persalinan diakhiri dengan seksio sesarea 103
kasus (44%), perdarahan antepartum yang meliputi plasenta previa 10 kasus
(4,3%) dan solusio plasenta 1 kasus (0,4%), perdarahan postpartum 5 kasus
(2,1%). Keluaran maternal pada preeklamsia berat berdasarkan komplikasi
karena preeklamsia berat meliputi antara lain eklamsia 7 kasus (3%), impending
eclampsia 19 kasus (8,1%), sindrom HELLP 4 kasus (1,7%), sindrom HELLP
parsial 26 kasus (11,1%), edema paru 24 kasus (10,3%), gagal ginjal akut 4
kasus (1,7%), kematian maternal adalah 5 kasus (2,1%). Keluaran perinatal pada
preeklamsia berat antara lain berat bayi lahir rendah (BBLR) 88 kasus (36,2%),
pertumbuhan janin yang terhambat 17 kasus (7%), kelahiran preterm 66 kasus
(27,2%), asfiksia neonatorum 38 kasus (16,7%), kematian perinatal adalah 19
kasus (7,8%). Kematian maternal adalah 5 kasus (2,1%)
Sebagai saran, perlu dilakukan pencatatan data catatan medik secara
lengkap dan benar sehingga diharapkan dikemudian hari apabila diadakan
penelitian menggunakan catatan medik dapat didapatkan data yang optimal dan
perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut tentang faktor risiko preeklamsia
berat sehingga dapat diketahui karakteristik ibu hamil yang berpotensi
mengalami preeklamsia berat.



2.3  Solusio Plasenta
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLnMIgxD0Usa3HyF67mMwPCcbwCFJUaXCcXT-nYXsRnXazD_Xw6z4mHiujwbI1OTWXLD2SaVXmmk49CdZg2Ni20-QrJ4NT2uRMd-U1E3uB0N4hEbchuQ8KeYAL8VtDhbYVzlb2RTrNGs1t/s1600/clip_image002_thumb3.jpg Suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas sebagian atau sebelum janin lahir , biasanya dihitung sejak usia kehamilan lebih dari 28 minggu.
Sulosio plasenta menurut derajat lepasnya plasenta dibagi menjadi :

         Solusio plasenta lateralis/parsialis
Bila hanya sebgian dari plasenta yang terlepas dari tempat perletakannya
         Solusio plasenta totalis
Bila seluruh bagian plasenta sudah terlepas dari perletakannya
         Prolapsus plasenta
Kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan dapat teraba pada pemeriksaan dalam

Perdarahan antepartum termasuk salah satu penyebab kematian ibu yang banyak terjadi di Indonesia, yaitu sebesar 15 % dari keseluruhan angka kematian ibu. Penyebab kematian ibu di negara berkembang yaitu perdarahan (25 %), sepsis (15 %), aborsi yang tidak aman (13 %), hipertensi (12 %), persalinan macet (8 %), lain-lain (8 %), dan penyebab tidak langsung (19 %). 1
        Perdarahan antepartum dapat mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin pada ibu hamil yang mengalaminya, yang disebabkan hilangnya banyak darah ibu serta bayi.3 Keadaan demikian dikhawatirkan dapat berpengaruh pada kondisi bayi yang dilahirkan. Kondisi bayi yang baru dilahirkan dapat dinilai dengan skor apgar, yang merupakan singkatan dari Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration. Skor apgar adalah suatu cara sederhana untuk menentukan kondisi bayi dengan cepat, sesaat setelah dilahirkan.4
      Perdarahan antepartum berkaitan dengan risiko hasil persalinan yang buruk.3 Baik atau buruknya hasil persalinan dapat dinilai antara lain dengan melihat skor apgar bayi yang dilahirkan. Skor apgar akan sangat menentukan tindakan medis apakah yang harus diberikan untuk menyelamatkan kondisi bayi. Skor apgar bayi yang rendah berarti bayi perlu perawatan postnatal yang lebih segera dan intensif dibandingkan bayi yang skor apgarnya agak rendah atau yang normal.4

Menurut WHO, kurang lebih 80% kematian maternal merupakan akibat langsung
dari komplikasi langsung selama kehamilan, persalinan dan masa nifas dan 20%
kematian maternal terjadi akibat penyebab tidak langsung.1,7) Perdarahan, terutama
perdarahan post partum, dengan onset yang tiba – tiba dan tidak dapat diprediksi
sebelumnya, akan membahayakan nyawa ibu, terutama bila ibu tersebut menderita
anemia. Pada umumnya, 25% kematian maternal terjadi akibat perdarahan hebat,
sebagian besar terjadi saat post partum. Sepsis / infeksi memberikan kontribusi 15%
terhadap kematian maternal, yang pada umumnya merupakan akibat dari rendahnya
higiene saat proses persalinan atau akibat penyakit menular seksual yang tidak diobati
sebelumnya. Infeksi dapat dicegah secara efektif dengan melakukan asuhan persalinan

yang bersih dan deteksi serta manajemen penyakit menular selama kehamilan. Perawatan
postpartum secara sistematik akan menjamin deteksi penyakit infeksi secara cepat dan
dapat memberikan manajemen antibiotika secara tepat. Hipertensi selama kehamilan,
khususnya eklamsia memberikan kontribusi 12% terhadap kematian maternal. Kematian
ini dapat dicegah dengan melakukan monitoring selama kehamilan dan dengan
pemberian terapi antikonvulsan, seperti magnesium sulfat. Abortus tidak aman (unsafe
abortion) memberikan kontribusi 13% terhadap kematian maternal, hal ini berkaitan
dengan komplikasi yang ditimbulkan, berupa sepsis, perdarahan, perlukaan uterus dan
keracunan obat – obatan. Di beberapa belahan dunia, sepertiga atau lebih kematian
maternal berhubungan dengan abortus tidak aman. Kematian ini dapat dicegah apabila
para ibu memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan keluarga berencana, dan
apabila abortus tidak dilarang secara hukum, maka abortus dapat dilakukan dengan
pemberian pelayanan abortus secara aman. Partus lama atau partus macet menyebabkan
kurang lebih 8% kematian maternal. Keadaan ini sering merupakan akibat dari
disproporsi sefalopelvik (bila kepala janin tidak dapat melewati pelvis ibu) atau akibat
letak abnormal (bila janin tidak dalam posisi yang benar untuk dapat melalui jalan lahir
ibu).1,4,7) Penyebab tidak langsung dari kematian maternal memberikan kontribusi sebesar
20% terhadap kematian maternal. Penyebab tidak langsung dari kematian maternal ini
terjadi akibat penyakit ibu yang telah diderita sebelumnya atau diperberat dengan
keadaan kehamilan atau penanganannya. Contoh penyebab kematian maternal tidak
langsung adalah anemia, infeksi hepatitis, malaria, tuberkulosis, penyakit jantung dan
infeksi HIV/AIDS.1,4,7)

Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa
penyebabnya adalah plasenta previa sampai kemudian ternyata dugaan itu salah.54)
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta terletak abnormal yaitu pada segmen
bawah uterus, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri
internum.44,54) Keadaan ini mengakibatkan perdarahan pervaginam pada kehamilan 28
minggu atau lebih, karena segmen bawah uterus telah terbentuk, dan dengan
bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar dan serviks
mulai membuka. Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks akan












2.4   Eklamsia
 didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan preeklamsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba, proteinuria dan udem yang bukan disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit neurology lain.1,2 Kejang pada eklamsia dapat berupa kejang motorik fokal atau kejang tonok klonik umum.2 Eklamsia terjadi pada 0,3% kehamilan , dan terutama terjadi antepartum pada usia kehamilan 20-40 minggu atau dalam

beberapa jam sampai 48 jam dan kadang-kadang lebih lama dari 48 jam setelah kelahiran.1 Beberapa tanda dan gejala peringatan yang mendahului eklamsia dapat berupa peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, nyeri kepala, perubahan visual dan mental, retensi cairan, dan hiperrefleksia, fotofobia, iritabel, mual dan muntah.1,3 Untuk menentukan dengan pasti kondisi neuropatologik yang menjadi pemicu kejang dapat dilakukan pemeriksaan diagnostic seperti foto rongen, CT scan atau MRI.4
Adanya udem serebri yang difus akan menimbulkan gambaran kejang pada eklamsia.5 Data menunjukkan bahwa udem sitotoksik maupun udem vasogenik dapat terjadi pada preeklamsia berat atau eklamsia.6 Udem vasogenik reversible adalah yang paling predominan sehingga eklamsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele neurologik yang permanent.7  

Dilaporkan suatu kasus seorang perempuan umur 38 tahun, dalam kondisi hamil 34 minggu dengan gravida 3, para 1, abortus1, beralamat di Margotirto Kokap, masuk rumah sakit Dr. Sardjito pada tanggal 14 Juli 2004, dirawat di bangsal obstetri dan ginekologi dengan diagnosis preeklamsia dan sindrom HELLP parsial. Pasien dikonsulkan ke bagian saraf dengan keluhan utama nyeri kepala, muntah, pandangan kabur dan bingung.

Anamnesis yang diperoleh dari pasien, suami pasien dan dokter yang merawat di bagian obstetrik dan ginekologi, menunjukkan bahwa 6 hari setelah mondok pasien melahirkan seorang anak perempuan, sehat, berat 1800 gram, pervaginam dengan induksi sintosinon. Enam jam postpartum pasien diberikan bolus magnesium sulfat 4 gram. Hari kedua postpartum pasien mengalami kejang tonok-klonik yang melibatkan seluruh ekstremitas selama 3 menit. Sehari berikutnya pasien kembali mengalami kejang tonik-klonik umum yang disertai dengan hilangnya kesadaran selama 5 menit. Kejang dapat dihentikan setelah diberikan 5 mg diazepam intravena, dan 15 menit berikutnya pasien mulai sadar kembali. Pasien kemudian diberikan fenitoin peroral dengan dosis 2 x 100 mg, dan selama itu pasien tidak mengalami kejang. Selain itu selama dirawat di bagian obstetrik dan ginekologi pasien juga mendapatkan nifedipin peroral 3 x 10 mg untuk mengontrol hipertensinya. Pada hari ke enam postpartum, pagi hari saat bangun tidur tiba-tiba pasien merasakan nyeri kepala, mual dan muntah, pandangan kabur dan bingung. Nyeri kepala dirasakan sekali saat kepala digerakkan. Keluhan ini tanpa disertai dengan kejang, kelemahan anggota badan, hemiparestesia, disfonia, gangguan menelan dan kelemahan otot-otot muka. Kondisi pasien sebelumnya tidak didapatkan adanya riwayat demam, tumor atau trauma kepala, hipertensi, sakit jantung, diabetes mellitus, strok atau TIK, riwayat ketergantungan obat, maupun kejang. Kemudian pasien dikonsulkan ke bagian neurologi.

Pada pemeriksaan fisik hari ke enam postpartum didapatkan keadaan umum lemah dan bingung, skala koma Glasgow E4V5M6, tekanan darah 200/100 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, sclera tampak ikterik dan pandangan kabur tanpa disertai udem ekstremitas. Pada pemeriksaan psikiatris ditemukan tingkah laku yang bingung (confused), serta mood yang hipotimik. Pemeriksaan neurologik menunjukkan visus yang menurun, peningkatan reflek fisiologi dan klonus yang positif pada anggota gerak kiri, serta
ditemukan reflek patologis pada keempat anggota gerak. Pasien tidak mengalami gangguan pada fungsi kognisinya.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan :
1. Pemeriksaan laboratorium darah: bilirubin total: 2,4; bilirubin direk: 0,7; bilirubin indidek: 1,6; protein total: 6,1; Albumin: 3,0; AST: 64; ALT: 28. Laboratorium darah lainnya dalam batas normal.
2. Pemeriksaan elektrokardiografi dalam batas normal.
3. Pemeriksaan X-Ray thorax menunjukkan adanya udem paru
4. Pemeriksaan CT scan kepala menunjukkan udem serebri difus dengan effacement ventrikel, dan tidak ditemukan tanda-tanda infark, perdarahan ataupun tumor.
5. Pemeriksaan fundoskopi (oleh bagian mata) menunjukkan adanya papil udem pada kedua mata dengan elevasi 6-7 dioptri, dengan tanda perdarahan retina minimal pada mata kanan.

Terapi yang diberikan pada penderita ini adalah: oksigen 2-3 liter/menit, infuse asering 16 tetes/menit, injeksi furosemid 20 mg/24 jam, nifedipin tablet 2x10 mg, aspar K 2x1 tablet, dan infuse magnesium sulfat 100 ml/6jam.
Pada perkembangan penyakitnya pasien sempat mengalami penurunan kesadaran dengan skor koma Glasgow E2V2M3 dengan tanda-tanda herniasi berupa penurunan reflek cahaya dan hilangnya fenomena doll’s eye. Akan tetapi kondisi segera membaik dengan terapi yang diberikan.
PEMBAHASAN
Pada pasien ini tanda-tanda eklamsia mulai terjadi pada hari kedua postpartum dengan munculnya gejala kejang tonik-klonik pada seluruh badan. Meskipun kejang dapat diatasi namun kejadian eklamsi masih tetap berlanjut sampai hari keenam postpartum dengan tanda-tanda nyeri kepala, mual dan muntah, pandangan kabur dan bingung. Adanya tanda-tanda tersebut perlu dicurigai adanya late postpartum eclampsia. Perkembangan eklamsia postpartum dapat terjadi 3-4 minggu setelah kelahiran. Beberapa peneliti menyebutkan 50% kejang terjadi antepartum, 25% intrapartum, dan 25% postpartum.1 Peneliti lain
menyebutkan hasil yang berbeda bahwa kejang pada eklamsia terjadi 64% postpartum, 38% antepartum, dan 18% intrapartum.4 Eklamsia post partum dapat terjadi karena pada saat itu level substansi konstriktor yang dilepaskan oleh plasenta akan menurun sehingga akan terjadi overperfusi darah serebral.9
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kejang postpartum (93%) berhubungan dengan udem serebri sebagai manifestasi encefalopati hipertensi pada eklamsia7 , dan hanya terdapat 0,01-0,05 % dari seluruh kehamilan yang merupakan stroke postpartum. Kejang, hipertensi, proteinuria, dan gangguan fisual dapat terjadi baik pada eklamsia pospartum maupun pada stroke postpartum sehingga dua kondisi tersebut sering misdiagnosis.10,11
Tidak terdapat simtom patognomonik yang spesifik yang dapat memberikan gambaran adanya udem serebri. Adanya nyeri kepala akut yang biasanya terjadi pada pagi hari dan meningkat dengan pergerakan kepala, dengan atau tanpa muntah, disertai tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial yang difus dapat dicurigai adanya udem serebri.12 Dengan demikian untuk menentukan kondisi neuropatologik yang mendasari terjadinya kejang pada eklamsia perlu dilakukan pemeriksaan diagnostic seperti CTscan kepala atau MRI.4
Pemeriksaan CT scan kepala pada pasien ini ditemukan adanya udem serebri yang difus. Data menunjukkan bahwa pada eklamsia dapat terjadi udem sitotoksik maupun vasogenik.6 Cunningham pada penelitiannya menyebutkan bahwa udem vasogenik terjadi pada semua penderita eklamsia, dan 18% diantaranya terdeteksi pula adanya udem sitotoksik.5
Secara teoritis terdapat 2 penyebab terjadinya udem serebri fokal yaitu adanya vasospasme dan dilatasi yang kuat. Teori vasospasme menganggap bahwa overregulasi serebrovaskuler akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal.1,5,13 Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membrane sel sehingga akan terjadi kegagalan ATP-dependent Na/K pump yang akan menyebabkan udem sitotoksikApabila proses ini terus berlanjut dapat terjadi rupture membrane sel yang menimbuklan lesi infark yang bersifat irreversible.8 Teori force dilatation mengungkapkan bahwa akibat peningkatan tekanan darah yang ekstrem pada eklamsia menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi
sehingga terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan ini akan menimbulkan terjadinya udem vasogenik.1,5,8
Udem vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang dapat menimbulkan kejang pada eklamsia.1 Perluasan udem serebri yang difus hanya terjadi pada 6% saja, dan 30%-nya dapat berkembang menjadi herniasi transtentorial.5 Akibat efek penekanan vaskuler akibat perluasan udem vasogenik ini dapat memperparah kondisi iskemiknya yang menimbulkan infark dan perdarahan perikapiler sehingga akan memperburuk prognosis. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi pengelolaan pasien dan harus lebih hati-hati dalam mengontrol tekanan darah.14
Pemeriksaan MRI dengan metode diffusion weighted imaging dapat membedakan gambaran udem serebri sitotoksik dan vasogenik, karena dapat mendeteksi perubahan distribusi molekul air pada jaringan serebral.7 Gambaran neuroradiologik serta defisit neurologik secara klinis pada eklamsia bersifat reversibel.8 Felz dkk. menemukan bahwa lesi sitotoksik dapat terjadi pemulihan yang sempurna.1 Peneliti lain membuktikan bahwa udem vasogenik yang terutama terjadi pada penderita eklamsia bersifat reversibel yang akan mengalami perbaikan dengan pengobatan yang cepat. Dengan demikian eklamsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele neurologik yang permanent.7
Udem serebri pada eklamsia bersifat reversibel sehingga pemahaman patofisiologi udem serebri sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis dan terapi pada eklamsia. Pengobatan udem serebri secara umum meliputi: 15
1. Hiperventilasi, yang menyebabkan darah menjadi lebih alkali yang menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga akan mengurangi udem serebri dan menurunkan tekanan intracranial.
2. Manitol, yang secara osmotic akan menarik cairan dari jaringan otak kembali ke vaskuler sehingga dapat mengurangi udem serebri dan menurunkan tekanan intracranial.
3. Mengontril hipertensi maligna, yang menimbulkan peningkatan tekanan darah serebral dan kebocoran cairan darah sehingga menimbulkan udem serebri.

Pada pasien ini diberikan injeksi diazepam untuk menghentikan kejang yang terjadi, dan fenitoin peroral untuk mengontrol kejang dan mencegah rekurensi kejang. Diazepam dapat dipergunakan untuk mengontrol kejang dengan cepat, akan tetapi penggunaanya untuk mencegah rekurensi kejang dengan infuse intravena atau pemberian bolus berulang masih diperdebatkan karena efek sampingnya berupa hipotoni, hiponatremia dan apnea. Antikonvulsan seperti fenitoin dapat dipergunakan untuk mengatasi dan mengontrol kejang pada eklamsia tanpa menimbulkan komplikasi maternal dan fetal, namun penggunaannya pada eklamsia masih banyak diperdebatkan.2
Pemberian magnesium sulfat pada pasien ini dapat berfungsi sebagai pencegahan kejang dan mencegah rekurensi kejang pada eklamsia. Beberapa penelitian oleh Duley dkk. menunjukkan bahwa magnesium sulfat merupakan pilihan utama untuk mencegah eklamsia. Magnesium sulfat lebih efektif daripada diazepam untuk terapi dan pencegahan eklamsia.16 Dibandingkan dengan fenitoin, magnesium sulfat juga lebih efektif untuk terapi eklamsia dan dapat mengurangi rekurensi kejang pada eklamsia.17 Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah dengan memblok reseptor NMDA yang berperan pada terjadinya kejang, atau memblok pintu kalsium yang diperlukan untuk kontraksi otot polos vaskuler sehingga dapat dipergunakan untuk mencegah vasospasme pada eklamsia.2,6 Data menunjukkan bahwa efek dilatator pembuluh darah sistemik lebih prominen daripada vasodilatator serebralnya sehingga akan menurunkan tekanan perfusi serebral yang akan mencegah terjadinya udem serebri. Efek inilah yang membuat magnesium sulfat penting dalam mekanisme penekanan kejang.6
Beberapa penelitian oleh Duley dkk. menunjukkan bahwa magnesium sulfat merupakan pilihan utama untuk mencegah eklamsia. Magnesium sulfat terbukti lebih efektif daripada diazepam untuk terapi dan pencegahan eklamsia.16,17 Selain itu magnesium sulfat juga lebih efektif untuk terapi eklamsia dan dapat mengurangi kejang pada eklamsia dibandingkan dengan fenitoin.18
Penggunaan manitol pada pasien ini adalah sebagai osmoterapi yang akan menurunkan volume otak dengan menurunkan kandungan airnya, menurunkan volume darah dengan vasokonstriksi, dan menurunkan volume liquor cerebro spinalis (LCS) dengan menurunkan kandungan airnya. Manitol juga akan memperbaiki perfusi serebral

dengan menurunkan viskositas atau merubah rheologi sel darah merah serta mempunyai efek protektif terhadap biochemical injury.12
Penggunaan furosemid pada pasien ini selain sebagai antihipertensi, juga sekaligus mempunyai efek memperpanjang efek osmotic dari pengobatan manitol.12 Rekomendasi penggunaan antihipertensi pada penderita eklamsia adalah tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolic > 105 mmHg atau bila tekanan arteri rata-rata (MAP) ≥ 125 mmHg. Pengobatan ini bertujuan untuk menurunkan resiko gangguan autoregulasi serebrovaskuler akibat hipertensi, sehingga hiperperfusi serebral yang dapat menimbulkan udem vasogenik dapat dicegah. Beberapa rejimen yang direkomendasikan adalah hydralazine, labetolol, nifedipin dan sodium nitropruside.4,19
Pada pasien ini diberikan nifedipin sebagai antihipertensi. Nifedipin peroral terbukti efektif dalam pengobatan hipertensi emergensi akut yang terjadi pada kehamilan, yang dapat mengontrol hipertensi dengan lebih cepat. Adanya kecenderungan deplesi dan penurunan perfusi ginjal pada eklamsia dapat diperbaiki dengan pemberian nifedipin peroral karena efeknya yang memperbaiki sirkulasi darah ke ginjal. Selain itu nifedipin aman digunakan karena tidak menurunkan aliran darah uteroplasenta dan tidak berpengaruh terhadap abnormalitas jantung fetal.20 Pada pasien ini juga diberikan oksigenasi yang merupakan upaya hiperventilasi. Hiperventilasi akan membantu menurunkan peningkatan tekanan intracranial.15,12
Hipertensi pada pasien ini merupakan hipertensi emergensi, dimana terjadi komplikasi sistemik pada paru dengan adanya udem paru pada pemeriksaan X-Ray thoraks, serta liver yang nampak pada pemeriksaan laboratorium darah dengan peningkatan bilirubin total, bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, dan peningkatan AST. Dengan adanya peningkatan nilai tes fungsi hati ini dapat dikatakan sebagai sindroma HELLP (Hemolisis, Elevated Liver function test, Low Platelet count) parsial. Selain itu keterlibatan sistemik pada eklamsia sering juga terjadi pada ginjal dan plasenta. Adapun proses yang terjadi pada organ-organ tersebut identik dengan proses mikrovaskuler yang terjadi di otak.1
Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemberian antiudem yang cepat dan tepat berdasarkan pemahaman patofisiologi udem serebri yang terjadi pada eklamsia akan memperbaiki manifestasi klinis kelainan neurologi. Udem sitotoksik pada pasien ini dapat



diperbaiki dengan pemberian manitol dan magnesium sulfat, sedangkan udem vasogenik dapat diperbaiki dengan pemberian nifedipin sebagai obat antihipertensi. Selain itu udem serebri dapat pula diatasi dengan pemberian oksigenasi.

2.5   Intrauterine fetal death (IUFD)
   Intrauterine fetal death (IUFD) adalah janin yang mati dalam rahim
dengan berat 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20
minggu atau lebih. Terdapat beberapa faktor maternal, fetal, dan plasenta yang
mempengaruhi risiko IUFD. Dalam kasus ini, diagnosis IUFD ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Beberapa studi yang dilakukan pada akhir-akhir ini melaporkan sejumlah
faktor risiko kematian fetal, khususnya IUFD. Peningkatan usia maternal akan
meningkatkan risiko IUFD. Wanita diatas usia 35 tahun memiliki risiko 40-50%
lebih tinggi akan terjadinya IUFD dibandingkan dengan wanita pada usia 20-29
tahun. Risiko terkait usia ini cenderung lebih berat pada pasien primipara
dibanding multipara. Selain itu, kebiasaan buruk (merokok), berat maternal,
kunjungan antenatal care, faktor sosioekonomi juga mempengaruhi resiko
terjadinya IUFD (Sarah and Mcdonald, 2007).
Kasus
Pada tanggal 24 Agustus 2012 datang seorang pasien, Ny. M, G3P2A0,
38 tahun, gravid 28 minggu ke RSUD Jendral Ahmad Yani Metro dengan keluhan
utama perut terasa kencang sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak pernah merasa perutnya kencang seperti
ini sebelumnya. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, telah keluar air-air dan
lendir dari liang kemaluannya. Lendir berwarna bening, lengket, dan tidak ada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
13
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
darah. Pasien merasa tidak ada gerakan bayi sejak satu minggu terakhir. Pasien
merasa perutnya tidak bertambah besar. Pasien juga merasa mules-mules seperti
mau melahirkan sejak tadi pagi hari, hilang timbul dan tidak teratur.
Pasien melakukan antenatal care (ANC) di Puskesmas 3 kali selama
kehamilan, tidak teratur setiap bulan, terakhir pada 1 Agustus 2012 dan terdapat
denyut jantung janin (DJJ), selama ANC dikatakan tidak ada kelainan. Pasien
tidak pernah dilakukan USG.
Pasien tidak pernah mengalami trauma selama hamil, pasien juga tidak ada
riwayat demam tinggi dan alergi, riwayat minum alkohol dan merokok juga
disangkal pasien, riwayat memelihara binatang peliharaan disangkal, riwayat
makan makanan setengah matang/panggang disangkal, riwayat keputihan
disangkal, riwayat minum obat-obatan lama juga disangkal.
Pasien mengalami haid pertama haid terakhir (HPHT) pada tanggal 27
Januari 2012 dengan taksiran persalinan pada tanggal 3 Oktober 2012. Pasien
menikah satu kali dengan usia perkawinan 20 tahun. Kehamilan sekarang
merupakan kehamilan ke 3, dimana 2 kehamilan yang lalu dilahirkan dengan
persalinan normal (aterm, pervaginam spontan) dibantu oleh bidan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan
umum tampak sakit sedang, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80x/menit,
pernapasan 22x/menit, dan suhu 36,7oC. Kepala tampak normocephali, kedua
konjungtiva mata tidak anemis dan tidak ikterik, kelenjar getah bening (KGB)
pada leher tidak membesar, mammae tampak simetris, membesar dan areola
hiperpigmentasi, paru-paru, jantung dan ekstremitas dalam batas normal. Pada
status obstetrikus didapatkan kesan yaitu tinggi fundus uteri (TFU) 13 cm tidak
sesuai dengan hamil 28 minggu, letak sungsang, presentasi bokong, punggung
kanan, tidak ada denyut jantung janin, janin intrauterine, tunggal, mati.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin : 12,5 gr/dl,
hematokrit : 18,2 %, leukosit 9.600/uL, trombosit 237.000/uL, CT : 2’30’’, BT :
13’’. Pada pemeriksaan USG tampak janin tunggal, intra uterin, letak sungsang,
tidak ada gerakan janin, tidak ada denyut jantung janin, terdapat Spalding Sign,
biparietal diameter (BPD) 15 mm, ketuban sedikit.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
14
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis G3P2A0, 38 tahun, gravid 28
minggu, janin tunggal mati, intrauterin, presentasi bokong, letak sungsang, belum
inpartu dengan Intrauterine Fetal Death (IUFD). Penatalaksanaan pada pasien ini,
yaitu observasi tanda-tanda vital/jam, observasi tanda-tanda inpartu, rencana
terminasi kehamilan, merangsang kontaksi uterus dengan uterotonika, dan
pemberian antibiotik untuk mecegah infeksi.
Pembahasan
Pada kasus ini Ny.M, 38 tahun dengan diagnosis Intra Uterine Fetal Death
( IUFD ). Pada kasus ini, diagnosis IUFD ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
IUFD menurut ICD 10 – International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems adalah kematian fetal atau janin pada usia
gestasional ≥ 22 minggu (Petersson, 2002). WHO dan American College of
Obstetricians and Gynecologist (1995) menyatakan IUFD adalah janin yang mati
dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih tau kematian janin dalam
rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Petersson, 2003; Winknjosastro,
2008).
Untuk mendiagnosis IUFD dari anamnesis biasanya didapatkan gerakan
janin yang tidak ada, perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil
(kehamilan tidak seperti biasanya), perut sering menjadi keras, merasakan sakit
seperti ingin melahirkan, danpenurunan berat badan (Agudelo et al., 2004; Mu et
al., 2003; Winknjosastro, 2008).
Pemeriksaan fisik pada pasien IUFD biasanya didapatkan tinggi fundus
uteri berkurang atau lebih rendah dari usia kehamilan, tidak terlihat gerakangerakan
janin yang biasanya dapat terlihat pada ibu yang kurus. Pada palpasi
didapatkan tonus uterus menurun, uterus teraba flaksid, dantidak teraba gerakangerakan
janin. Pada auskultasi tidak terdengar denyut jantung janin setelah usia
kehamilan 10-12 minggu (Agudelo et al., 2004; Mu et al., 2003; Winknjosastro,
2008).
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
15
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
Pemeriksaan fisik yang telah dilakukan pada pasien ini yaitu pemeriksaan
obstetri, inspeksi menjelaskan tanda- tanda kehamilan tidak sesuai dengan masa
kehamilan. Ukuran tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan usia kehamilan. Hal ini
dikarenakan kematian janin pada kasus ini sudah berlangsung 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Pada palpasi, tidat teraba gerak janin dan pada auskultasi
dengan pemeriksaan Doppler tidak terdengar bunyi jantung janin, hal ini turut
membuktikan adanya kematian janin intra uterin.
Pada pemeriksaan laboratorium, hanya didapatkan pemeriksaan darah
rutin dalam batas normal. Seharusnya dilakukan pemeriksaan darah yang lebih
lengkap yaitu fibrinogen untuk mengetahui ada tidaknya permasalahan pada
faktor pembekuan darah dari faktor janin terhadap maternal.
Pada pemeriksaan USG biasanya akan didapatkan beberapa tanda yaitu,
tulang tengkorak saling tutup menutupi (Spalding’s Sign), tulang punggung janin
sangat melengkung (Naujokes’s Sign), hiperekstensi kepala (Gerhard’s Sign),
Gelembung gas pada badan janin (Robert’s Sign), dan femur length yang tak
sesuai dengan usia kehamilan (Agudelo et al., 2004; Mu et al., 2003;
Winknjosastro, 2008)
Pada pemeriksaan USG yang telah dilakukan pada pasien ini, ditemukan
janin tunggal, intrauterine dengan letak sungsang. Didapatkan kesan janin IUFD
disertai dengan deskripsi yang menjadi dasar diagnosis IUFD, seperti tidak adanya
gerakan janin dan tidak ada denyut jantung janin, terdapat Spalding’s Sign
sehingga dapat ditegakkan diagnosis IUFD dengan pasti.
Penyebab IUFD pada pasien ini bisa dikarenakan faktor maternal dan fetal.
Berdasarkan anamnesis, pasien ini tidak ada riwayat trauma, infeksi, dan alergi
dalam kehamilannya ini. Pasien juga mengaku tidak punya kebiasaan minum
alkohol, merokok, dan minum obat- obatan lama. Namun melihat usia ibu 38
tahun, dapat merupakan faktor ibu yang terlalu tua saat kehamilan.
Faktor fetal belum dapat kita singkirkan karena sebaiknya dilakukan
pemeriksaan autopsi apakah terdapat kelainan kongenital mayor pada janin.
Pasien tidak memiliki binatang peliharaan, makan daging setengah matang, yang
menurut literatur dapat menyebabkan infeksi toksoplasmosis pada janin. Anomali
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
16
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
kromosom biasanya terjadi pada ibu dengan usia diatas 40 tahun, dan dibutuhkan
analisa kromosom. Inkompatibilitas Rhesus juga sangat kecil kemungkinannya
mengingat pasien dan suaminya dari suku yang sama.
Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian janin
dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: (Winknjosastro, 2008; Cuningham et al.,
2004)
1. Golongan I : Kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu penuh
(early fetal death)
2. Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate fetal
death)
3. Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal death)
4. Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan di
atas.
Pada kasus ini, kematian janin yang terjadi pada usia kehamilan 28
minggu, sehingga pada kasus ini termasuk golongan II yaitu (intermediate fetal
death). Penatalaksanaan pada kasus IUFD yaitu dengan terminasi kehamilan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : (Cuningham et al., 2004; Weeks,
2007)
1. Pilihan cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun ekspektatif,
perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum keputusan diambil.
2. Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif maka tunggu persalinan spontan
hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 % persalinan spontan akan terjadi
tanpa komplikasi
3. Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan
penanganan aktif.
4. Jika penanganan aktif akan dilakukan, nilai serviks yaitu
a. Jika serviks matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan
prostaglandin atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan
amniotomi karena berisiko infeksi
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
17
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
c. Persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir
5. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun dan
serviks belum matang, dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol:
a. Berikan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina dan dapat diulang
sesudah 6 jam
b. Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol maka naikkan
dosis menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg
setiap kali dan jangan melebihi 4 dosis.
6. Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika untuk metritis.
7. Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah,
waspada koagulopati
8. Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan
melakukan kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut.
9. Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya patologi
plasenta dan infeksi .
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan literatur, yaitu dilakukan
dengan penanganan aktif. Terminasi kehamilan segera pada pasien ini dipilih
melalui induksi persalinan pervaginam dengan mempertimbangkan kehamilan
aterm dan mengurangi gangguan psikologis pada ibu dan keluarganya.
Penanganan secara aktif pada pasien ini juga sudah sesuai dengan prosedur yang
seharusnya. Pada kasus ini persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu,
sehingga perlu pematangkan serviks dengan misoprostol atau prostaglandin F2.
Komplikasi IUFD lebih dari 6 minggu akan mengakibatkan gangguan
pembekuan darah yang meluas (Disseminated intravascular coagulation atau
DIC), infeksi, dampak psikologis dan berbagai komplikasi yang membahayakan
nyawa ibu (Winknjosastro, 2008).
Penyebab kematian pada janin dalam kasus ini, kemungkinan besar akibat
dari faktor maternal,dimana usia ibu yang terlalu tua (> 35 tahun) (Sarah and
Mcdonald, 2007).
Edukasi pada pasien ini ialah penjelasan mengenai program KB dan
memotivasi ibu untuk mengikutinya, mengingat sudah memiliki anak 2 dan usia
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
18
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
ibu yang sudah tua. Mengedukasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
mengenai kehamilan pada usia ibu yang tua. Memberikan dukungan psikologis
agar pasien tidak terganggu akibat kematian janin yang dialaminya saat ini, dan
menyarankan kepada keluarga pasien untuk memberikan dukungan yang besar
untuk ibu.
Simpulan. Bedasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien ini didiagnosis sebagai IUFD. Faktor maternal merupakan
kemungkinan terbesar penyabab kematian janin dalam kasus ini. Terminasi kehamilan
merupakan tatalaksana dari IUFD.
2.6  Ruptur Uteri
            Terjadinya rupture uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan anak karena rupture uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita jumpai dinegara-negara yang sedang berkembang, seperti afrika dan asia. Angka ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas pengangkutan dari daerah-daerah periver dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan faktor yang penting.
Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai teknik operasi.
Menurut lokasinya:
1. Korpus Uteri
    Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti; SC                                                                                                                                                                       klasik(korporal) atau miomektomi.
2. Segmen bawah rahim
   Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah   tegang dan tipis dan akhirnya terjadi rupture uteri.
3. Servik uteri
  Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versa dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-kolporeksi
   Robekan-robekan diantara servik dan vagina.
Upaya pencegahan (provilaksis)
1. Panggul sempit (CPD)
Anjurkan bersalin dirumah sakit
2. Malposisi kepala
Cobalah lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tidak berhasil, pikirkan untuk melakukan SC primer saat inpartu
3. Malpresentasi
letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid servik
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara dan abdomen pendulum
9. Pada bekas SC
10. Uterus cacat karena miomektomi, curetage, manual uri, maka dianjurkan bersalin diruma sakit dengan pengawasan yang teliti
11. Rupture uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara legeartis, jangan melakukan ekspresi kristeler yang berlebih-lebihan, bidan dilarang memberikan oksitosin sebelum janin lahir
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotonika, antibiotika. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi.

Kasus
Senin  25  Desember 2012 pukul 10.00 WIB
Ibu datang kebidan mengatakan hamil anak ke lima sudah melahirkan secara normal 2 kali dan secara operasi sesarea 2 kali dan tidak pernah keguguran dengan HPHT 04 juni 2012. Ibu mengeluh nyeri perut bagian bawah, keluar darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules sejak 1 jam yang lalu.
Keadaan umum gelisah dan tampak cemas, kesadaran compos mentis, keadaan emosional syok, TD: 80/60 mmhg, N : 100x/menit, S: 380C, R: 30x/menit, BB sekarang 72 kg, BB sebelumnya 63 kg, muka tidak oedema, konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik, Pemeriksaan abdomen: terdapat luka bekas operasi, Palpasi : TFU : ¹/3 antara pusat dan PX (Prosesus Xyfoideus) (28 cm), L1 = Difundus teraba bulat, lunak, tidak melenting ( Bokong ), LII = sebelah kanan teraba kecil-kecil ( ektermitas ), sebelah kiri teraba lurus seperti papan ( punggung ), LIII = Disymphisis teraba keras, bulat, melenting ( kepala ) masih bisa digoyangkan, LIV =  belum masuk PAP. DJJ (+) 144x/menit, teratur. Ekstremitas atas dan bawah simetris, tidak ada oedema, tidak ada varises. Pemeriksaan Dalam : portio : nyeri goyang. Data penunjang : Hb : 9 gr %
A  :    Ny. Z Usia 42 tahun G5PA0 hamil 28 minggu dengan rupture uteri
Janin Tunggal Hidup Intra Uterin Presentasi Kepala
P :
1.            Menyampaikan hasil pemeriksaan (bahwa ada penyulit yang menyertai, menjelaskan  kemungkinan untuk ditranfusi darah, dan  dilakukan operasi)
Hasil : ibu telah mengetahui hasil pemeriksaan
2.            Mengatur posisi ibu senyaman mungkin
Hasil : ibu sudah diposisikan dengan posisi tidur
3.            Memberi dukungan  psikologis  pada  ibu
Hasil : ibu terlihat tenang setelah  diberikan dukungan  psikologis
4.            Memberi cairan Ringer Laktat 28 tetes/menit
Hasil : cairan Ringer Laktat sudah diberikan dengan 28 tetes/menit
5.            Memberikan antibiotic ampicilin 2 gr melalui IV
Hasil : antibiotic ampicilin 2gr  sudah diberikan melalui IV
6.            Segera merujuk ibu dengan membawa BAKSOKUDA (Bidan, Alat, keluarga, Surat (dokumentasi), Obat, Kenderaan, Uang, Donor darah).
Hasil : hal-hal yang diperlukan untuk rujukan sudah dipersiapkan  dan pasien siap dirujuk.

PEMBAHASAN
Pada awal pemeriksaan penulis memberikan pelayanan standar 10 T, hal ini sesuai dengan Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kementrian Kesehatan RI, bahwa pelayanan atau asuhan standar minimal pemeriksaan 10 T. Pasien telah melakukan 2 kali kunjungan ANC.
Dari hasil anamnesa didapat Ny. Z berumur 42 tahun, hamil yang kelima, menurut teori bahwa umur yang baik untuk ibu hamil adalah 20-35 tahun agar segalanya sehat, baik reproduksinya maupun psikologinya. Berarti tidak sama antara teori dengan kasus yang diambil, jadi Ny. Z tergolong kurang baik untuk hamil karena umurnya 42 tahun dan hamil kelima ini tidak sesuai dengan program pemerintah yaitu dua anak lebih baik.
Menurut teori bahwa umur yang baik untuk ibu hamil adalah 20-35 tahun agar segalanya sehat, baik reproduksinya maupun psikologinya, sedangkan dari hasil anamnesa didapat Ny. Z berumur 42 tahun, hamil yang kelima. Hal ini menunjukan bahwa Ny. Z tidak termasuk  kedalam katagori usia yang dianjurkan untuk hamil.
Pada riwayat menstruasi Ny. Z didapatkan informasi bahwa siklus haidnya 28 hari, teratur, sehingga tapsiran persalinan Ny. Z dapat menggunakan rumus Neagel, dimana hari pertama haid terakhir tanggal 08 Oktober 2012, dengan tapsiran persalinan tanggal 15 Juli 2013 (Wiknjosastro, 2006).
Pada usia kehamilan 12 minggu ibu mengeluh nyeri perut bagian bawah, keluar darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules.
bahwa nyeri perut bagian bawah, keluar darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules yang dialami ibu, menurut teori adalah tanda bahaya kehamilan trimester I ( Sarwono,2002 ). Tekanan darah Ny Z juga mengalami penurunan dari 110/70 mmHg pada usia kehamilan 8 minggu menjadi 80/60 mmHg pada usia kehamilan 12 minggu menurut teori bahwa tekanan darah ibu hamil normal 110/70 mmHg – 120/80 mmHg (Sarwono,2002) sedangkan dari hasil data objektif didapatkan Tekanan darah Ny. Z 80/60 mmHg. Hal ini Ny. Z termasuk keadaan yang tidak normal ( hipotensi ). Muka tidak oedema, konjungtiva pucat. Pemeriksaan abdomen: terdapat luka bekas operasi, Palpasi : TFU : 2 jari dibawah pusat (16 cm). Menurut teori bahwa normal TFU usia kehamilan 12 minguu adalah 3 jari diatas sympisis ( Mc.donald ). saat dilakukan pemeriksaan penunjang, didapat hasil Hb: 9 gram % Hal ini menunjukan keadaan ibu anemis karena menurut teori bahwa normal ibu hamil 11 gr % (Depkes RI ). Sehingga ibu didiagnosa mengalami rupture uteri, dilihat dari faktor riwayat persalinan yang lalu.
Dikarenakan adanya komplikasi kehamilan pada Ny.Z, maka Ny.Z dirujuk ke tempat yang memiliki fasilitas yang memadai, hal ini sesuai dengan APN 2008 rujukan dalam kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas rujukan atau fasilitas yang memiliki sarana lebih lengkap.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
      Setelah beberapa kasus yang terajdi seperti plasenta previa, solusio plasenta, preeklamsia ringan dan berat, rupture uteri dan eklamsia bahwa semuanya sebenarnya dapat di atasi atau ditangani dengan cepat dan tepat. Namun ada banyak hal yang dapat menyebabkan itu terjadi dan disinilah dibutuhkan keterampilannya seorang bidan mulai dari skill/ kemampuan, tidak salah dalam penatalaksaan persalinan, dan mendirikan diagnosis yang tepat agar terhindar dari kematian ibu.
           Terutama pada kasus pendarahan seorang ibu yang melahirkan, kasus ini masih sangat tinggi bahkan sering menyebakan kematian, inilah yang harus diperbaiki dan harus mengetahui apa penyebab itu terjadi. Dan disinilah peran bidan  harus dapat menanganinya.
3.2 Saran
            Saat menangani proses persalinan terlebih dahulu kita harus mengetahui yang terjadi pada kondisi ibu sehingga bidan dapat mengambil langkah untuk tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.









DAFTAR PUSTAKA

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam dunia kesehatan sering kita jumpai permasalahan kematian kepada seorang ibu. Masalah yang terkait begitu banyak mulai dari Solusio plasenta, Plasenta previa, Preeklamsia ringan dan berat, eklamsia,  rupture uteri, dan Intrauterine fetal death (IUFD). Kasus-kasus ini sudah sering terjadi yang hingga akhinya menyebabkan kematian dan pada Indonesia sendiri angka kematian seorang ibu sangat tinggi , banyak faktor-faktor yang menyebabkan itu semua terjadi mulai dari faktor umum sampai dengan khusus. Tentu bidan mempunyai tanggung jawab mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana cara penangan yang tepat terhadap kasus yang sering terjadi agar mengurangi angak kematian di Indonesia.
Pada makalah ini saya banyak mengupas hal yang terkait pada permasalahan yang terjadi dalam kebidanan seperti kasus di atas dengan di dukung dari  jurnal dengan sumber yang akurat, tentunya pada jurnal yang saya ambil sudah terlebih dahulu melakukan penelitian.

1.2  Tujuan
Makalah ini bertujuan agar setiap mahasiswa dapat memahami dan mencermati setiap kasus dan bagaimana cara penangannya . Dan di harapkan kepada mahasiswi bidan dapat menambah wawasan secara lebih luas dan kelak akan di jadikan pelajaran pada saat telah menjadi seorang bidan.

1.3  Manfaat
Semoga pada makalah ini memberikan manfaat dalam menganalisis suatu kasus dan membantu mahasiswi kebidanan dalam mengerjakan tugas.








BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Plasenta Previa
      Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri
internum.1 Gambaran klinis yang paling khas pada plasenta previa adalah
perdarahan tanpa rasa sakit, yang biasanya timbul pada trimester kedua
atau setelahnya.
Plasenta previa memiliki beberapa faktor risiko yaitu usia, paritas,
riwayat seksio sesaria, riwayat abortus, dan suku. Pada penelitian oleh
Tabassum et al., tahun 2010 di Pakistan mendapatkan bahwa usia adalah
salah satu faktor risiko dari plasenta previa, yaitu usia ≥ 35 tahun memiliki
risiko hampir 2 kali lebih besar dibandingkan usia < 35 tahun, serta ibu
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfRuM59jUrWwC8sU5eLeKZgjLftB179kXh09f11SpedNsIhyUEFYwPmH2NUEmh5Uh_YOtgXYfdqd1AnWj_rBFXZlW25wlGQ_6PO6cCpTldJXa6CgU42ZBr_ouB_AeBO3TsYJdihp-zuqpK/s1600/placenta-previa.gifdengan riwayat seksio sesaria pada kelahiran sebelumnya memiliki risiko
4,5 kali mengalami plasenta previa.5 Berdasarkan penelitian oleh Kim et
al. tahun 2011, didapatkan bahwa wanita Asia dan wanita kulit hitam
memiliki risiko mengalami plasenta previa lebih tinggi dibandingkan wanita
kulit putih.6
Hasil penelitian oleh Abdat di rumah sakit dr. Moewadi Surakarta
tahun 2010 mendapatkan risiko terjadinya plasenta previa pada ibu
multiparitas meningkat 2,53 kali.7 Penelitian Alit dan Kornia di rumah sakit
Sanglah Denpasar, Bali, tahun 2002, mendapatkan peningkatan risiko
terjadinya plasenta previa pada wanita dengan riwayat abortus sampai 4
kali lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa riwayat abortus.8
Prevalensi yang didapatkan pada penelitian ini (2,02%) lebih
rendah dibandingkan prevalensi yang dilaporkan pada studi oleh Halimi
tahun 2003-2007 di Pakistan 10, Eichelberger et al. pada Desember 2003-
2007 11, Dirjen Yanmedik tahun 2005 3, Imna tahun 2010 di RS dr.
Pirngadi Medan 4, Rambey tahun 2005-2006 di RS dr. M. Djamil Padang
12, namun lebih tinggi dari yang dilaporkan Hung et al. tahun 2007 di
Taiwan 13 dan RS Parkland, Amerika Serikat pada tahun 1998-2006.2 Hal
ini bisa dikarenakan pencatatan dan penyimpanan rekam medis secara
tidak sistematis dan lengkap,. Penyebab lain yang mungkin adalah masih
rendahnya penggunaan ultrasonografi (USG) baik untuk diagnosis
maupun deteksi dini. Padahal dengan meluasnya penggunaan
ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi lebih dini,
insiden plasenta previa bisa lebih tinggi.1 Adanya perbedaan prevalensi
plasenta previa yang dilaporkan pada studi-studi yang dilakukan
8
disebabkan perbedaan populasi yang diteliti dan perbedaan metode
diagnosis plasenta previa yang dilakukan22.
Penelitian ini mendapatkan bahwa plasenta previa lebih banyak
terjadi pada usia < 35 tahun dan usia memiliki hubungan yang bermakna
dengan plasenta previa serta merupakan faktor risiko dari plasenta previa
(OR = 1,93), yang sejalan dengan hasil penelitian dari Hung et al. tahun
2007 (OR = 2,0-2,2)13, Tabassum et al. tahun 2010 (OR = } 2)5 dan
Widyastuti tahun 2007 (OR = 2,01)14. Dampak peningkatan usia ibu
terutama ≥ 35 tahun kemungkinan besar berhubungan dengan penuaan
uterus, sehingga terjadi sklerosis pembuluh darah arteri kecil dan arteriol
miometrium, menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata
sehingga plasenta tumbuh dengan luas permukaan yang lebih besar,
untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat, yang akhirnya
menyebabkan terjadinya plasenta previa.8,13
Multiparitas merupakan faktor risiko plasenta previa sebagaimana
yang dilaporkan oleh Davood et al. tahun 2008 (OR = 3,8)15, Abdat pada
tahun 2010 (OR = 2,53)7 dan Simbolon tahun 2012.16 Hasil penelitian ini
juga menemukan bahwa ibu dengan paritas ≥ 3 memiliki risiko 2,07 kali
mengalami plasenta previa dibandingkan ibu dengan paritas 0-2. Terdapat
perbedaan OR dengan penelitian sebelumnya yaitu OR yang didapatkan
lebih rendah, karena perbedaan jumlah sampel yang mempengaruhi
karakteristik sampel penelitian itu sendiri. Meningkatnya risiko pada
multiparitas adalah disebabkan vaskularisasi yang berkurang dan atrofi
pada desidua akibat persalinan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan aliran
darah ke plasenta tidak cukup sehingga plasenta memperluas
permukaannya untuk mencari bagian dengan suplai darah yang banyak
yaitu bagian segmen bawah uterus dan menutupi jalan lahir, yang
biasanya dikaitkan dengan placental migration.1,17 Hal yang serupa
diungkapkan oleh Kay et al. tahun 2011 yaitu terjadinya persalinan
berulang pada wanita multipara mengakibatkan adanya predisposisi
9
perbaikan jaringan yang abnormal pada endometrium sehingga implantasi
plasenta cenderung di segmen bawah uterus bukan di bagian fundus.21
Riwayat seksio sesaria dilaporkan oleh Tabassum et al. tahun 2010
meningkatkan risiko plasenta previa sebesar 5,3 kali dan 1,6 kali pada
penelitian Cromwell et al. tahun 2011, serta Getahun et al. tahun 2006
melaporkan peningkatan risiko sebesar 2 kali.5,18,19 Studi pada penelitian
ini mendapatkan tidak adanya hubungan antara riwayat seksio sesaria
dan plasenta previa, dengan OR sebesar 1,35. Odds Ratio yang
didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan OR yang
dilaporkan pada penelitian sebelumnya, yang diakibatkan perbedaan
demografi penduduk yang menjadi subjek penelitian karena perbedaan
tempat penelitian dan perbedaan metodologi penelitian dalam hal
pemilihan kelompok kasus dan kontrol, begitu pula desain penelitian yang
digunakan. Perubahan patologis dapat terjadi pada miometrium dan
endometrium uterus jika ada jaringan parut bekas seksio sesaria yang
mengakibatkan implantasi plasenta menjadi rendah pada ostium uteri
internum sehingga meningkatkan risiko plasenta previa.19,20
Hasil dari penelitian ini mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya,
baik yang dilaporkan oleh Hung et al. tahun 2007 (OR = 1,3-3,0), Davood
et al. tahun 2008 (OR = 8,1) serta Alit dan Kornia tahun 2002 (OR = 3,5) ,
yaitu adanya hubungan antara riwayat abortus dan plasenta previa serta
riwayat abortus merupakan faktor risiko plasenta previa dengan OR
sebesar 2,34 untuk penelitian ini yang nilainya lebih rendah dari hasil
ketiga penelitian tersebut.8,13,15 Hal ini dapat diakibatkan pertama karena
perbedaan metodologi penelitian, baik dari segi jumlah sampel penelitian
maupun tempat penelitian dilakukan yang berkaitan dengan perbedaan
demografi subjek penelitiannya. Kedua, adanya perbedaan tingkat
pajanan faktor risiko, dalam hal ini berupa riwayat abortus, bisa dilihat dari
jumlah ibu hamil yang memiliki riwayat abortus jumlahnya lebih sedikit dari
yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya. Adanya riwayat abortus
pada kehamilan sebelumnya baik yang diinduksi maupun spontan
10
berpengaruh terhadap terjadinya plasenta previa. Mekanisme yang dapat
menjelaskan pengaruh tersebut adalah kerusakan ataupun terbentuknya
jaringan parut pada endometrium akibat dilakukannya kuretase uterus
sehingga menganggu proses implantasi plasenta di bagian fundus uteri.15
Kesimpulan
Jumlah kasus plasenta previa di RSU dr. Soedarso pada tahun 2009
sampai dengan 2011 adalah 109 kasus dari 5406 persalinan, dengan
persentase 2,02%. Usia maternal, paritas, riwayat seksio sesaria dan
riwayat abortus merupakan faktor risiko kejadian plasenta previa pada ibu
hamil di RSU dr. Soedarso tahun 2009 sampai dengan 2011.















2.2  Preeklamsia Ringan dan Berat
1.      Preeklamsia Ringan
  adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas.
Preeklampsia ringan bila disertai dengan keadaan sebagai berikut :
a.       Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring telentang, atau kenaikan sistdik 30  mmHg atau lebih cara pengukuran sekurang-urangnnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
b.      Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka : atau kehamilan berat badan 1 kg lebih atau lebih perminggu.
c.       Proteinuria kwantitatif 0,3 gram atau lebih perliter :  kwalitatif 1 + atau 2 + pada urun
kater atau midstream.
Adanya yang melaporkan angka kejadian sebanyak 6% seluruh kehamilan, dan 12% pada kehamilan pimigravida. Menurut beberapa penulis dan frekuensi dilaporkan sekitar 3-10%.
Lebih banyak dijumpai pada primigravida dari pada multigravida, terutama primigravida usia muda.
Faktor-faktor predisposisi untuk terjadinya preeklamsia adalah molahida tidosa, diabetes melitus, kehamilan ganda, hidrops fetalis, obetasi, dan umur yang lebih dari 35 tahum.

Penanganan
Tujuan utama penanganan ialah :
          Pencegahan terjadi pre-eklamsia berat dan eklamsia
         Melahirkan janin hidup
         Melahirkan janin dengan trauma sekecil kecilnya.
Pada dasarnya penanganan terdiri dari penanganan medik dan obstetrik.
Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optoimal yaitu sebvelum janin mati dalam kandungan akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar uterus.
Pada umumnya indikasi untuk merawat penderita pre-eklamsi di rumah sakit ialah
- tekanan darah siscol 140 mmHg atau lebih dan atau tekanan darah diastol 90 mmHg, protein +1 atau lebih.
- Kenaikan berat badan 1,5 Kg atau lebih dalam seminggu berulang
- Penambahan edema berlebihan tiba-tiba

Penanganan pre-eklamsia ringan
Istirahat di tempat tidur masih merupakan terapi untuk penanganan pre-eklamsia. Istirahat dengan berbaring pada posisi tubuh menyebabkan pengaliran darah ke plasenta meningkat, aliran darah ke ginjal juga elbih banyak. Tekanan pada ekstermitas bawah turun dan resobsi aliran darah tersebut bertambah. Selain itu juga mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar. Oleh sebab itu, dengan istirahat biasanya tekanan darah turun dan adema berkurang. Pemberian fenobarbital 3 x 30mg sehari akan meningkatkan penderita dan dapat juga menurunkan tekanan darah.
Pada umunya pemberian diuretik dan anti hipertensi pada pre-eklamsia ringan tidak dianjurkan karena obat-obat tersebut tidak menghentikan proses penyakit dan juga tidak memperbaiki prognosis janin. Selain itu, pemakaian obat-obatan tersebut dapat menutupi tanda dan gejala pre-eklamsia berat.
Setelah keadaan normal, penderita dibolehkan pulang, akan tetapi harus dipaksa lebih sering. Karena biasanya hamil sudah tua, persalinan tidak lama lagi. Bila hipertensi menetap, penderita tetap tinggal dirumah sakit. Bila keadaan janin mengizinkan, tunggu dengan melakukan induksi persalinan, sampai persalinan cukup bulan atau > 37 minggu.
Beberapa kasus pre-eklamsia ringan tidak membaik dengan penanganan konservatif. Tekanan darah meningkat, retensi cairan dan proteinuria bertambah, walaupun penderita istirahat dengan pengobatan medik. Dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.
Pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 16.00 WIB, Ny. E umur 25 tahun mengeluh pusing dan kakinya bengkak. Ibu mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit apapun. Riwayat menstruasi siklus 30 hari, banyaknya 3x ganti pembalut, teratur, lamanya 5 hari, sifat darah encer, dan tidak disminorhoe. Riwayat perkawinan syah 1 kali dan belum mempunyai anak. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu G1P0A0. Ibu mengatakan belum pernah menyusui sebelumnya. Riwayat hamil HPHT 08-10-2011 dan ramalan persalinannya tanggal 15-7-2012, ANC 8 kali teratur, hamil muda keluhan mual muntah, mendapatkan imunisasi TT 2 kali pada usia kehamilan 20 dan 24 munggu dan hamil tua keluhan pusing dan kaki bengkak. Ibu mengatakan tidak pernah menggunakan KB apapun, ibu mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit sistemik seperti DM, TBC, Asma, jantung, hipertensi, ginjal dan hepatitis dan ibu mengatakan tidak pernah dioperasi, dikeluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit apapun dan tidak ada keturunan kembar baik dari pihak ibu maupun suami. Ibu mengatakan kehamilan ini direncanakan dan jenis kelamin yang diharapkan laki-laki. Kebiasaan ibu sehari-hari antara lain makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk bervariasi, sayuran dan buah-buahan, porsinya setengah piring dan tidak ada pantangan apapun, ibu minum air putih sehari ± 7-8 gelas dan tidak ada keluhan apapun, istirahat cukup tidur malam ± 6-7 jam dan tidur siang ± 2 jam. Ibu mengatakan tidak merokok dan tidak mengkonsumsi obat-obatan selain obat dari bidan, untuk eliminasi BAK ± 4 kali sehari konsistensinya jernih tapi tidak ada keluhan apapun, BAB 1 kali sehari konsistensi lunak dan berbau khas srta tidak ada keluhan apapun.
  Setelah dilakukan pemeriksaan status generalis didapatkan keadaan umum ibu baik, kesadaran composmentis, TTV: tekanan darah 140/110mmHg, 37°C, nadi 79x/menit, respirasi 20x/menit, tinggi badan ibu 162cm, BB sekarang 72 kg, BB sebelum hamil 68 kg, dan LILA 26 cm. Sedangkan dari hasil pemeriksaan sistematis muka sedikit bengkak, mata conjungtiva tidak pucat, skelera tidak kuning, palpebra tidak cekung.Hasil pemeriksaan mamae membesar, tidak ada tumor, simetris kanan dan kiri, aerola hyperpigmentasi, puting susu menonjol, kolostrum belum keluar, axilla tidak ada tumor dan nyeri tekan, ekstremitas tungkai simetris kanan dan kiri, tidak ada varices, oedema positif kanan dan kiri dan refleks pattela positif kanan dan kiri. Pemeriksaan khusus obstetric didapatkan inspeksi abdomen membesar dengan arah memanjang dan tidak ada pelebaran vena, striae albican, linea nigra, palpasi tidak ada kontraksi, TFU 30cm, Leopold I FU teraba bulat, lunak, tidak melenting (bokong) , Leopold II kanan teraba panjang, keras, seperti papan ( punggung), kiri teraba bagian-bagian kecil janin (ekstremitas), Leopold III terisi bulat, keras, tidak melenting (kepala), Leopold IV divergent 3/5 bagian, lingkar bendel tidak ada, nyeri tekan tidak ada, TBJ (30-11)x155= 2945 gram, DJJ terdengar jelas disatu titik frekuensi 146x/menit. Pemeriksaan ano genital tidak dilakukan, pemeriksaan laboratorium Hb dan urin reduksi tidak dilakukan, protein urin (++).
Berdasarkan hasil pengkajian dan hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa yaitu ibu G1P0A0 hamil 36 minggu > 3 hari dengan preeklamsi ringan, Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepalaDasar ibu mengatakan ini kehamilan pertamanya, belum pernah melahirkan dan tidak pernah keguguran, HPHT 08-10-2011, TD 140/110 mmHg dan hasil pemeriksaan protein urin (++), DJJ terdengar jelas disatu titik frekuensi 146x/menit, leopold III teraba bulat, keras, tidak melenting (kepala). Masalah ibu merasa pusing dan kakinya bengkak, masalah potensial preeklamsi berat antisipasi melakukan terapi penanganan preeklamsi danobservasi tanda dan gejala PEB, tindakan segera kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan.
Setelah menentukan diagnosa pada ibu rencana asuhan yang akan diberikan yaitu beritahu ibu dan keluarga tentang kondisi bu saat ini, beri terapi penanganan preeklamsi, anjurkan ibu untuk diet tinggi protein dan rendah lemak, beri tahu ibu tanda-tanda preeklamsi dan eklamsi, anjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan rencana pada ibu maka dapat melakukan tindakan yaitu memberitahu ibu dan keluarga bahwa kondisi ibu kurang baik yaitu ibu mengalami preeklamsi atau keracunan dalam kehamilan dimana salah satu cirinya yakni adanya peningkatan tekadan darah dan adanya protein dalam urin tapi preeklamsinya masih ringan, memberi terapi penanganan preeklamsi yaitu memberitahu ibu tentang pentingnya istirahat tidur malam minimal 7-8 jam dan tidur siang minimal 1 jam, menganjurkan ibu untuk tidak bekerja terlalu berat dan selalu menjaga ketenangan pikirannya, menganjurkan ibu untuk tidur dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala, menaganjurkan ibu untuk diet tinggi protein dan rendah lemak serta mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan untuk mengurangi tekanan darahnya, memberitahu i u tanda-tanda preklamsi berat dan eklamsi seperti sakit kepala yang hebat disertai penglihatan kabur, nyeri epigastrium, dan kejang, menganjurkan ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan tindakan kami dapat mengevaluasi hasil ibu  dan keluarga sudah tau tentang kondisi ibu, ibu mengerti dengan apa yang dianjurkan oleh bidan, ibu berjanji akan melakukan apa yang dianjurka oleh bidan, ibu sudah tahu tentang tanda-tanda preeklamsi dan eklamsi, ibu berjanji akan melakukanpemeriksaan kehamilan 2 kali seminggu.
Setelah melakukan pengkajian pada pasien Ny. E hamil dengan preeklamsi ringan. Terdapat kesenjangan pada teori dan tindakan yang telah dilakukan seperti, dalam teori pemeriksaan ibu hamil seharusnya dilakukan sesuai dengan manajemen varney, tetapi disini ada beberapa pemeriksaan yang tidak dilakukan seperti pemeriksaan rambut, hidung, telinga, mulut, leher, pemeriksaan anogenital dan pemeriksaan Hb dikarenakan waktu yang tidak memungkinkan.



2.      Preeklampsia Berat
  Dari data yang didapat di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010 didapatkan
234 (11,86%) kasus preeklamsia berat dari 1973 persalinan dengan umur
kehamilan diatas 20 minggu. Terjadi penurunan 1,46% angka kejadian
preeklamsia berat apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Arie Indrianto (2009).4 Dari seluruh persalinan tersebut terdapat lima belas
kehamilan (6,4%) dengan jumlah janin ganda. Sehingga jumlah bayi dari
persalinan ibu hamil dengan preeklamsia di RSUP dr Kariadi tahun 2010 adalah
249 bayi. Dari 234 ibu hamil dengan preeklamsia berat yang dirawat, sebagian
besar (70,5%) masuk dalam kategori umur produktif yaitu antara umur 20 tahun
hingga 35 tahun. Sedangkan 29,5% sisanya berada dalam kategori umur ekstrim
atau kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Hasil yang didapat tidak
sesuai dengan sumber literatur dimana risiko terjadinya preeklamsia meningkat
pada ibu dengan umur terlalu tua atau terlalu muda. Hal ini mungkin terjadi
karena meningkatnya kesadaran masyarakat tentang bahaya kehamilan pada
umur ekstrim. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Duckitt dan Harrington
(2005) mengatakan bahwa seorang nulipara memiliki risiko mengalami
preeklamsia berat dua kali lebih besar.9 Sehingga dapat dikatakan nullipara dan
primigravida merupakan faktor risiko timbulnya preeklamsia.1 Hal ini sesuai
dengan data yang didapat dimana 35,9% atau 84 dari pasien belum pernah
melahirkan bayi yang dapat bertahan hidup atau nullipara dan juga sebagian
besar (31,2%) pasien merupakan primigravida. Duckitt dan Harrington juga
13
melaporkan bahwa risiko terjadinya preeklamsia meningkat dengan adanya
peningkatan BMI. Sedangkan risiko preeklamsia berkurang secara signifikan
pada pasien dengan BMI <20.9 Hal ini sesuai dengan data yang didapat yaitu 64
kasus (58,2%) memiliki BMI >29 atau masuk dalam kriteria obese dan 2 kasus
(1,8%) yang memiliki BMI ≤19. Akan tetapi 124 data yang didapat tidak tercatat
lengkap sehingga tidak dapat diketahui BMI pasien. Selain itu pencatatan berat
badan hanya dicatat saat pasien masuk atau dirujuk ke RSUP dr Kariadi
sehingga tidak dapat diketahui penambahan jumlah berat badan sebelum masa
kehamilan hamil hingga hamil. Penyakit penyerta yang dapat menjadi penyulit
atau faktor risiko terjadinya preeklamsia yang tersering adalah hipertensi (8,1%),
penyakit jantung (4,3%) dan diabetes melitus (1,7%). Menurut penelitian yang
telah dilakukan oleh McCowan, dkk (1996) bahwa wanita dengan hipertensi
kronik dapat mengalami superimposed preeclampsia yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya kematian perinatal, pertumbuhan janin yang terhambat, dan
kelahiran sebelum 32 minggu umur kehamilan.9
Tuffnell (2005) melaporkan dalam kurun waktu 1999 hingga 2003 tidak
terdapat kematian maternal dari 1087 pasien preeklamsia berat.10 Sedangkan
pada penelitian ini dari 234 ibu hamil dengan preeklamsia berat yang melakukan
persalinan di RSUP dr Kariadi terdapat lima (2,1%) pasien yang meninggal.
Kelimanya disebabkan karena gagal nafas dan edema paru. Tiga diantaranya
disertai HELLP sindrom parsial, satu karena efusi pleura dan satu lagi karena
DIC dan gagal ginjal akut. Dari lima kasus tersebut, satu diantaranya meninggal
sebelum persalinan. Terjadi peningkatan angka kematian maternal jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie Indrianto, dimana
pada tahun 2004 angka kematian maternal karena preeklamsia berat di RSUP dr
Kariadi adalah 1,8%.4 Sebagian besar dari pasien preeklamsia berat melakukan
persalinan dengan tindakan (69,3%) dan yang paling sering adalah dengan
seksio sesarea (44%) lalu diikuti dengan ekstraksi vakum (20,1%). Sedangkan
30,3% lainnya melakukan persalinan spontan pervaginam. Hasil yang didapat
hampir serupa dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Alexander,dkk
(1999) dimana dari 278 bayi tunggal lahir hidup di Parkland Hospital separuh
14
diantaranya menjalani persalinan melalui seksio sesarea.1 Dari data yang didapat
hanya sebagian kecil dari pasien dengan preeklamsia berat yang mengalami
perdarahan antepartum (4,7%) dan perdarahan postpartum (2,1%). Perdarahan
antepartum yang lebih sering terjadi adalah plasenta previa (4,3%), sedangkan
solusio plasenta hanya satu kasus (0,4%). Hasil yang didapat tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ananth dkk (1999) dimana terjadi peningkatan
insiden solusio plasenta tiga kali lipat pada hipertensi kronik dan empat kali lipat
pada preeklamsia berat.1 Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar dari
pasien merupakan nullipara maupun primipara dimana salah satu faktor risiko
terjadinya solusio plasenta selain preeklamsia dan hipertensi kronik adalah
paritas yang tinggi sehingga didapat angka kejadian solusio plasenta yang
rendah. Menurut penelitian yang dilakukan Frediksen dkk (1999) insidensi
plasenta previa meningkat seiring dengan bergesernya umur populasi obstetris
ke arah yang lebih tua.11 Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dimana
kejadian plasenta previa meningkat seiring dengan peningkatan umur pasien
preeklamsia berat. Rendahnya angka kejadian perdarahan postparum
menandakan bahwa telah terjadi penangan persalinan yang baik sehingga
kejadian perdarahaan postpartum dapat dihindari. Pada penelitian ini terdapat
tujuh kasus (3%) eklamsia dari 234 pasien dengan preeklamsia berat pada tahun
2010 di RSUP dr Kariadi. Dari tujuh kasus tersebut, empat diantaranya
mengalami kejang setelah persalinan. Sedangkan sisanya mengalami kejang
saat perawatan atau sebelum dirujuk ke RSUP dr Kariadi. Selain itu terdapat
pula 19 kasus (8,1%) impending eclampsia yang menunjukan tanda- tanda
prodormal, atau tanda khas yang dapat menjadi tanda akan terjadinya kejang,
seperti pusing, mual, muntah, nyeri ulu hati dan pandangan kabur. Dari 19 kasus
tersebut hanya satu yang mengalami eklamsia. Chappell (2008) melaporkan
terdapat tiga pasien (2%) yang mengalami sindrom HELLP dari 180 pasien
superimposed preeclampsia.6 Sedangkan pada penelitian ini, angka kejadian
sindrom HELLP lebih rendah 0,3% yaitu terdapat empat kasus (1,7%) sindrom
HELLP yang terdiri dari trombositopenia dan gangguan fungsi hati yang
ditandai dengan kenaikan kadar LDH dan SGOT dalam darah. Selain itu
15
terdapat 26 kasus (11,11%) sindrom HELLP parsial yang hanya terdiri dari satu
atau dua gejala sindrom HELLP. Dari 26 kasus tersebut terdapat sembilan belas
kasus trombositopenia, tiga belas kasus kadar SGOT lebih dari 70 UI/L dan
delapan kasus kadar LDH melebihi 600 UI/L. Pada penelitian ini didapat 24
kasus (10,3%) edema paru pada pasien preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi.
Dimana lima diantaranya meninggal dunia. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Arie Indrianto di RSUP dr Kariadi pada tahun 2004 terdapat empat kasus
edema paru (1,7%) dimana tiga diantaranya, yang disertai dengan sindrom
HELLP dan payah jantung, dinyatakan meninggal dunia. Selain edema paru
komplikasi lain pada ibu karena preeklamsia berat adalah gagal ginjal akut.
Didapatkan empat kasus (1,7%) gagal ginjal akut pada pasien preeklamsia berat
di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Tuffnell terdapat enam kasus (0,6%) gagal ginjal hingga memerlukan dialisis.10
Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran pasca serangan
kejang eklamsia yang dapat disebabkan karena komplikasi pada otak seperti
edema serebri dan perdarahan otak. Hal ini mungkin disebabkan karena
sedikitnya kasus preeklamsia berat yang mengalami eklamsia (3%). Karena
menurut penelitian yang dilakukan oleh Cunningham dan Twickler (2000)
selama 13 tahun di Parkland Hospital hanya terdapat 10 dari 175 wanita yang
mengalami eklamsia yang memperlihatakan adanya edema serebri. Loureiro dkk
(2003) melaporkan dari 25% wanita dengan eklamsia memperlihatkan adanya
area infark serebri pada pemeriksaan neuroimaging.1 Sedangkana pada pasien
preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi tidak dilakukan pemeriksaan CT Scan
sehingga tidak didapatkan kasus komplikasi pada otak.
Dari data yang didapat sebagian besar pasien preeklamsia melahirkan
bayi dengan berat badan diatas 2500 gram (63,8%). Begitu juga dengan hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Chappell dimana hanya 56% bayi yang lahir dari
pasien preeklamsia berat memiliki berat diatas 2500 gram.6 Dari berat badan
badan bayi lahir didapatkan juga angka kejadian pertumbuhan janin yang
terhambat yaitu sebanyak 17 kasus (7%). Angka kejadian pertumbuhan janin
yang terhambat dalam penelitian ini diambil dari diagnosis dalam catatan medik.
16
Pada penelitian ini sebagian besar (72,8%) bayi lahir pada umur kehamilan lebih
dari 37 minggu. Terjadi peningkatan angka kejadian kelahiran preterm sebesar
1,7% apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie
Indrianto dimana terdapat angka kejadian kelahiran preterm sebesar 25,5%.4
Akan tetapi hasil yang berbeda dilaporkan oleh Tuffnell dimana dari 1078 pasien
preeklamsia berat sebagian besar (65,3%) lahir pada umur kehamilan kurang
dari 37 minggu.10 Begitu juga dengan Chappell yang melaporkan bahwa 75%
dari bayi yang lahir dilahirkan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu.6
Sebagian besar (83,3%) bayi lahir dengan nilai skor APGAR lebih dari
tujuh,sehingga terdapat 16,7% atau 38 kasus yang lahir dalam keadaan nilai skor
APGAR kurang dari tujuh. Dari 38 kasus tersebut, sebelas bayi mengalami
asfiksia berat dan tiga diantaranya tidak dapat bertahan hidup. Dari 244 bayi
yang lahir didapatkan angka kematian perinatal sebesar 7,8% atau 19 perinatal
meninggal baik dalam kandungan atau sesaat setelah persalinan. Sebagian besar
dari angka kejadian kematian perinatal tersebut meninggal dalam kandungan
atau intra uterine fetal death (IUFD) sebanyak 84,2%. Sisanya meninggal
karena asfiksia berat (15,8%).Hasil dari penelitian ini apabila dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie Indrianto maka terlihat peningkatan
presentase kematian perinatal sebesar 2,1%. Akan tetapi presentase kematian ini
lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuffnell
dimana terdapat 54 (4,7%) kematian perinatal dari 1145 bayi yang lahir dan
penelitian yang dilakukan Chappell dimana terdapat 7 (3,8%) kematian perinatal
dari 180 bayi yang lahir.4,6,10
Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak semua data pasien
preeklamsia berat di RSUP dr Kariadi pada tahun 2010 dapat diambil karena
ada beberapa data yang tidak tercatat dengan baik dalam catatan medik dan
beberapa catatan medik yang tidak dapat ditemukan. Selain itu data diambil dari
diagnosis terakhir sebelum pasien meninggalkan rumah sakit sehingga terdapat
kemungkinan terjadi human error dalam penulisan data dalam catatan medik.
17
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian pengaruh preeklamsia berat pada kehamilan terhadap
keluran maternal dan perinatal di RSUP dr Kariadi didapatkan bahwa terjadi
peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal. Pada penelitian
ini didapatkan keluaran maternal pada preeklamsia berat berdasarkan profil
obstetri meliputi antara lain cara persalinan diakhiri dengan seksio sesarea 103
kasus (44%), perdarahan antepartum yang meliputi plasenta previa 10 kasus
(4,3%) dan solusio plasenta 1 kasus (0,4%), perdarahan postpartum 5 kasus
(2,1%). Keluaran maternal pada preeklamsia berat berdasarkan komplikasi
karena preeklamsia berat meliputi antara lain eklamsia 7 kasus (3%), impending
eclampsia 19 kasus (8,1%), sindrom HELLP 4 kasus (1,7%), sindrom HELLP
parsial 26 kasus (11,1%), edema paru 24 kasus (10,3%), gagal ginjal akut 4
kasus (1,7%), kematian maternal adalah 5 kasus (2,1%). Keluaran perinatal pada
preeklamsia berat antara lain berat bayi lahir rendah (BBLR) 88 kasus (36,2%),
pertumbuhan janin yang terhambat 17 kasus (7%), kelahiran preterm 66 kasus
(27,2%), asfiksia neonatorum 38 kasus (16,7%), kematian perinatal adalah 19
kasus (7,8%). Kematian maternal adalah 5 kasus (2,1%)
Sebagai saran, perlu dilakukan pencatatan data catatan medik secara
lengkap dan benar sehingga diharapkan dikemudian hari apabila diadakan
penelitian menggunakan catatan medik dapat didapatkan data yang optimal dan
perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut tentang faktor risiko preeklamsia
berat sehingga dapat diketahui karakteristik ibu hamil yang berpotensi
mengalami preeklamsia berat.



2.3  Solusio Plasenta
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLnMIgxD0Usa3HyF67mMwPCcbwCFJUaXCcXT-nYXsRnXazD_Xw6z4mHiujwbI1OTWXLD2SaVXmmk49CdZg2Ni20-QrJ4NT2uRMd-U1E3uB0N4hEbchuQ8KeYAL8VtDhbYVzlb2RTrNGs1t/s1600/clip_image002_thumb3.jpg Suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas sebagian atau sebelum janin lahir , biasanya dihitung sejak usia kehamilan lebih dari 28 minggu.
Sulosio plasenta menurut derajat lepasnya plasenta dibagi menjadi :

         Solusio plasenta lateralis/parsialis
Bila hanya sebgian dari plasenta yang terlepas dari tempat perletakannya
         Solusio plasenta totalis
Bila seluruh bagian plasenta sudah terlepas dari perletakannya
         Prolapsus plasenta
Kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan dapat teraba pada pemeriksaan dalam

Perdarahan antepartum termasuk salah satu penyebab kematian ibu yang banyak terjadi di Indonesia, yaitu sebesar 15 % dari keseluruhan angka kematian ibu. Penyebab kematian ibu di negara berkembang yaitu perdarahan (25 %), sepsis (15 %), aborsi yang tidak aman (13 %), hipertensi (12 %), persalinan macet (8 %), lain-lain (8 %), dan penyebab tidak langsung (19 %). 1
        Perdarahan antepartum dapat mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin pada ibu hamil yang mengalaminya, yang disebabkan hilangnya banyak darah ibu serta bayi.3 Keadaan demikian dikhawatirkan dapat berpengaruh pada kondisi bayi yang dilahirkan. Kondisi bayi yang baru dilahirkan dapat dinilai dengan skor apgar, yang merupakan singkatan dari Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration. Skor apgar adalah suatu cara sederhana untuk menentukan kondisi bayi dengan cepat, sesaat setelah dilahirkan.4
      Perdarahan antepartum berkaitan dengan risiko hasil persalinan yang buruk.3 Baik atau buruknya hasil persalinan dapat dinilai antara lain dengan melihat skor apgar bayi yang dilahirkan. Skor apgar akan sangat menentukan tindakan medis apakah yang harus diberikan untuk menyelamatkan kondisi bayi. Skor apgar bayi yang rendah berarti bayi perlu perawatan postnatal yang lebih segera dan intensif dibandingkan bayi yang skor apgarnya agak rendah atau yang normal.4

Menurut WHO, kurang lebih 80% kematian maternal merupakan akibat langsung
dari komplikasi langsung selama kehamilan, persalinan dan masa nifas dan 20%
kematian maternal terjadi akibat penyebab tidak langsung.1,7) Perdarahan, terutama
perdarahan post partum, dengan onset yang tiba – tiba dan tidak dapat diprediksi
sebelumnya, akan membahayakan nyawa ibu, terutama bila ibu tersebut menderita
anemia. Pada umumnya, 25% kematian maternal terjadi akibat perdarahan hebat,
sebagian besar terjadi saat post partum. Sepsis / infeksi memberikan kontribusi 15%
terhadap kematian maternal, yang pada umumnya merupakan akibat dari rendahnya
higiene saat proses persalinan atau akibat penyakit menular seksual yang tidak diobati
sebelumnya. Infeksi dapat dicegah secara efektif dengan melakukan asuhan persalinan

yang bersih dan deteksi serta manajemen penyakit menular selama kehamilan. Perawatan
postpartum secara sistematik akan menjamin deteksi penyakit infeksi secara cepat dan
dapat memberikan manajemen antibiotika secara tepat. Hipertensi selama kehamilan,
khususnya eklamsia memberikan kontribusi 12% terhadap kematian maternal. Kematian
ini dapat dicegah dengan melakukan monitoring selama kehamilan dan dengan
pemberian terapi antikonvulsan, seperti magnesium sulfat. Abortus tidak aman (unsafe
abortion) memberikan kontribusi 13% terhadap kematian maternal, hal ini berkaitan
dengan komplikasi yang ditimbulkan, berupa sepsis, perdarahan, perlukaan uterus dan
keracunan obat – obatan. Di beberapa belahan dunia, sepertiga atau lebih kematian
maternal berhubungan dengan abortus tidak aman. Kematian ini dapat dicegah apabila
para ibu memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan keluarga berencana, dan
apabila abortus tidak dilarang secara hukum, maka abortus dapat dilakukan dengan
pemberian pelayanan abortus secara aman. Partus lama atau partus macet menyebabkan
kurang lebih 8% kematian maternal. Keadaan ini sering merupakan akibat dari
disproporsi sefalopelvik (bila kepala janin tidak dapat melewati pelvis ibu) atau akibat
letak abnormal (bila janin tidak dalam posisi yang benar untuk dapat melalui jalan lahir
ibu).1,4,7) Penyebab tidak langsung dari kematian maternal memberikan kontribusi sebesar
20% terhadap kematian maternal. Penyebab tidak langsung dari kematian maternal ini
terjadi akibat penyakit ibu yang telah diderita sebelumnya atau diperberat dengan
keadaan kehamilan atau penanganannya. Contoh penyebab kematian maternal tidak
langsung adalah anemia, infeksi hepatitis, malaria, tuberkulosis, penyakit jantung dan
infeksi HIV/AIDS.1,4,7)

Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa
penyebabnya adalah plasenta previa sampai kemudian ternyata dugaan itu salah.54)
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta terletak abnormal yaitu pada segmen
bawah uterus, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri
internum.44,54) Keadaan ini mengakibatkan perdarahan pervaginam pada kehamilan 28
minggu atau lebih, karena segmen bawah uterus telah terbentuk, dan dengan
bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar dan serviks
mulai membuka. Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks akan












2.4   Eklamsia
 didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan preeklamsia yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba, proteinuria dan udem yang bukan disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit neurology lain.1,2 Kejang pada eklamsia dapat berupa kejang motorik fokal atau kejang tonok klonik umum.2 Eklamsia terjadi pada 0,3% kehamilan , dan terutama terjadi antepartum pada usia kehamilan 20-40 minggu atau dalam

beberapa jam sampai 48 jam dan kadang-kadang lebih lama dari 48 jam setelah kelahiran.1 Beberapa tanda dan gejala peringatan yang mendahului eklamsia dapat berupa peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, nyeri kepala, perubahan visual dan mental, retensi cairan, dan hiperrefleksia, fotofobia, iritabel, mual dan muntah.1,3 Untuk menentukan dengan pasti kondisi neuropatologik yang menjadi pemicu kejang dapat dilakukan pemeriksaan diagnostic seperti foto rongen, CT scan atau MRI.4
Adanya udem serebri yang difus akan menimbulkan gambaran kejang pada eklamsia.5 Data menunjukkan bahwa udem sitotoksik maupun udem vasogenik dapat terjadi pada preeklamsia berat atau eklamsia.6 Udem vasogenik reversible adalah yang paling predominan sehingga eklamsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele neurologik yang permanent.7  

Dilaporkan suatu kasus seorang perempuan umur 38 tahun, dalam kondisi hamil 34 minggu dengan gravida 3, para 1, abortus1, beralamat di Margotirto Kokap, masuk rumah sakit Dr. Sardjito pada tanggal 14 Juli 2004, dirawat di bangsal obstetri dan ginekologi dengan diagnosis preeklamsia dan sindrom HELLP parsial. Pasien dikonsulkan ke bagian saraf dengan keluhan utama nyeri kepala, muntah, pandangan kabur dan bingung.

Anamnesis yang diperoleh dari pasien, suami pasien dan dokter yang merawat di bagian obstetrik dan ginekologi, menunjukkan bahwa 6 hari setelah mondok pasien melahirkan seorang anak perempuan, sehat, berat 1800 gram, pervaginam dengan induksi sintosinon. Enam jam postpartum pasien diberikan bolus magnesium sulfat 4 gram. Hari kedua postpartum pasien mengalami kejang tonok-klonik yang melibatkan seluruh ekstremitas selama 3 menit. Sehari berikutnya pasien kembali mengalami kejang tonik-klonik umum yang disertai dengan hilangnya kesadaran selama 5 menit. Kejang dapat dihentikan setelah diberikan 5 mg diazepam intravena, dan 15 menit berikutnya pasien mulai sadar kembali. Pasien kemudian diberikan fenitoin peroral dengan dosis 2 x 100 mg, dan selama itu pasien tidak mengalami kejang. Selain itu selama dirawat di bagian obstetrik dan ginekologi pasien juga mendapatkan nifedipin peroral 3 x 10 mg untuk mengontrol hipertensinya. Pada hari ke enam postpartum, pagi hari saat bangun tidur tiba-tiba pasien merasakan nyeri kepala, mual dan muntah, pandangan kabur dan bingung. Nyeri kepala dirasakan sekali saat kepala digerakkan. Keluhan ini tanpa disertai dengan kejang, kelemahan anggota badan, hemiparestesia, disfonia, gangguan menelan dan kelemahan otot-otot muka. Kondisi pasien sebelumnya tidak didapatkan adanya riwayat demam, tumor atau trauma kepala, hipertensi, sakit jantung, diabetes mellitus, strok atau TIK, riwayat ketergantungan obat, maupun kejang. Kemudian pasien dikonsulkan ke bagian neurologi.

Pada pemeriksaan fisik hari ke enam postpartum didapatkan keadaan umum lemah dan bingung, skala koma Glasgow E4V5M6, tekanan darah 200/100 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, sclera tampak ikterik dan pandangan kabur tanpa disertai udem ekstremitas. Pada pemeriksaan psikiatris ditemukan tingkah laku yang bingung (confused), serta mood yang hipotimik. Pemeriksaan neurologik menunjukkan visus yang menurun, peningkatan reflek fisiologi dan klonus yang positif pada anggota gerak kiri, serta
ditemukan reflek patologis pada keempat anggota gerak. Pasien tidak mengalami gangguan pada fungsi kognisinya.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan :
1. Pemeriksaan laboratorium darah: bilirubin total: 2,4; bilirubin direk: 0,7; bilirubin indidek: 1,6; protein total: 6,1; Albumin: 3,0; AST: 64; ALT: 28. Laboratorium darah lainnya dalam batas normal.
2. Pemeriksaan elektrokardiografi dalam batas normal.
3. Pemeriksaan X-Ray thorax menunjukkan adanya udem paru
4. Pemeriksaan CT scan kepala menunjukkan udem serebri difus dengan effacement ventrikel, dan tidak ditemukan tanda-tanda infark, perdarahan ataupun tumor.
5. Pemeriksaan fundoskopi (oleh bagian mata) menunjukkan adanya papil udem pada kedua mata dengan elevasi 6-7 dioptri, dengan tanda perdarahan retina minimal pada mata kanan.

Terapi yang diberikan pada penderita ini adalah: oksigen 2-3 liter/menit, infuse asering 16 tetes/menit, injeksi furosemid 20 mg/24 jam, nifedipin tablet 2x10 mg, aspar K 2x1 tablet, dan infuse magnesium sulfat 100 ml/6jam.
Pada perkembangan penyakitnya pasien sempat mengalami penurunan kesadaran dengan skor koma Glasgow E2V2M3 dengan tanda-tanda herniasi berupa penurunan reflek cahaya dan hilangnya fenomena doll’s eye. Akan tetapi kondisi segera membaik dengan terapi yang diberikan.
PEMBAHASAN
Pada pasien ini tanda-tanda eklamsia mulai terjadi pada hari kedua postpartum dengan munculnya gejala kejang tonik-klonik pada seluruh badan. Meskipun kejang dapat diatasi namun kejadian eklamsi masih tetap berlanjut sampai hari keenam postpartum dengan tanda-tanda nyeri kepala, mual dan muntah, pandangan kabur dan bingung. Adanya tanda-tanda tersebut perlu dicurigai adanya late postpartum eclampsia. Perkembangan eklamsia postpartum dapat terjadi 3-4 minggu setelah kelahiran. Beberapa peneliti menyebutkan 50% kejang terjadi antepartum, 25% intrapartum, dan 25% postpartum.1 Peneliti lain
menyebutkan hasil yang berbeda bahwa kejang pada eklamsia terjadi 64% postpartum, 38% antepartum, dan 18% intrapartum.4 Eklamsia post partum dapat terjadi karena pada saat itu level substansi konstriktor yang dilepaskan oleh plasenta akan menurun sehingga akan terjadi overperfusi darah serebral.9
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kejang postpartum (93%) berhubungan dengan udem serebri sebagai manifestasi encefalopati hipertensi pada eklamsia7 , dan hanya terdapat 0,01-0,05 % dari seluruh kehamilan yang merupakan stroke postpartum. Kejang, hipertensi, proteinuria, dan gangguan fisual dapat terjadi baik pada eklamsia pospartum maupun pada stroke postpartum sehingga dua kondisi tersebut sering misdiagnosis.10,11
Tidak terdapat simtom patognomonik yang spesifik yang dapat memberikan gambaran adanya udem serebri. Adanya nyeri kepala akut yang biasanya terjadi pada pagi hari dan meningkat dengan pergerakan kepala, dengan atau tanpa muntah, disertai tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial yang difus dapat dicurigai adanya udem serebri.12 Dengan demikian untuk menentukan kondisi neuropatologik yang mendasari terjadinya kejang pada eklamsia perlu dilakukan pemeriksaan diagnostic seperti CTscan kepala atau MRI.4
Pemeriksaan CT scan kepala pada pasien ini ditemukan adanya udem serebri yang difus. Data menunjukkan bahwa pada eklamsia dapat terjadi udem sitotoksik maupun vasogenik.6 Cunningham pada penelitiannya menyebutkan bahwa udem vasogenik terjadi pada semua penderita eklamsia, dan 18% diantaranya terdeteksi pula adanya udem sitotoksik.5
Secara teoritis terdapat 2 penyebab terjadinya udem serebri fokal yaitu adanya vasospasme dan dilatasi yang kuat. Teori vasospasme menganggap bahwa overregulasi serebrovaskuler akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal.1,5,13 Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membrane sel sehingga akan terjadi kegagalan ATP-dependent Na/K pump yang akan menyebabkan udem sitotoksikApabila proses ini terus berlanjut dapat terjadi rupture membrane sel yang menimbuklan lesi infark yang bersifat irreversible.8 Teori force dilatation mengungkapkan bahwa akibat peningkatan tekanan darah yang ekstrem pada eklamsia menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi
sehingga terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan ini akan menimbulkan terjadinya udem vasogenik.1,5,8
Udem vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang dapat menimbulkan kejang pada eklamsia.1 Perluasan udem serebri yang difus hanya terjadi pada 6% saja, dan 30%-nya dapat berkembang menjadi herniasi transtentorial.5 Akibat efek penekanan vaskuler akibat perluasan udem vasogenik ini dapat memperparah kondisi iskemiknya yang menimbulkan infark dan perdarahan perikapiler sehingga akan memperburuk prognosis. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi pengelolaan pasien dan harus lebih hati-hati dalam mengontrol tekanan darah.14
Pemeriksaan MRI dengan metode diffusion weighted imaging dapat membedakan gambaran udem serebri sitotoksik dan vasogenik, karena dapat mendeteksi perubahan distribusi molekul air pada jaringan serebral.7 Gambaran neuroradiologik serta defisit neurologik secara klinis pada eklamsia bersifat reversibel.8 Felz dkk. menemukan bahwa lesi sitotoksik dapat terjadi pemulihan yang sempurna.1 Peneliti lain membuktikan bahwa udem vasogenik yang terutama terjadi pada penderita eklamsia bersifat reversibel yang akan mengalami perbaikan dengan pengobatan yang cepat. Dengan demikian eklamsia hampir tidak pernah menimbulkan sequele neurologik yang permanent.7
Udem serebri pada eklamsia bersifat reversibel sehingga pemahaman patofisiologi udem serebri sangat penting dalam pengambilan keputusan klinis dan terapi pada eklamsia. Pengobatan udem serebri secara umum meliputi: 15
1. Hiperventilasi, yang menyebabkan darah menjadi lebih alkali yang menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga akan mengurangi udem serebri dan menurunkan tekanan intracranial.
2. Manitol, yang secara osmotic akan menarik cairan dari jaringan otak kembali ke vaskuler sehingga dapat mengurangi udem serebri dan menurunkan tekanan intracranial.
3. Mengontril hipertensi maligna, yang menimbulkan peningkatan tekanan darah serebral dan kebocoran cairan darah sehingga menimbulkan udem serebri.

Pada pasien ini diberikan injeksi diazepam untuk menghentikan kejang yang terjadi, dan fenitoin peroral untuk mengontrol kejang dan mencegah rekurensi kejang. Diazepam dapat dipergunakan untuk mengontrol kejang dengan cepat, akan tetapi penggunaanya untuk mencegah rekurensi kejang dengan infuse intravena atau pemberian bolus berulang masih diperdebatkan karena efek sampingnya berupa hipotoni, hiponatremia dan apnea. Antikonvulsan seperti fenitoin dapat dipergunakan untuk mengatasi dan mengontrol kejang pada eklamsia tanpa menimbulkan komplikasi maternal dan fetal, namun penggunaannya pada eklamsia masih banyak diperdebatkan.2
Pemberian magnesium sulfat pada pasien ini dapat berfungsi sebagai pencegahan kejang dan mencegah rekurensi kejang pada eklamsia. Beberapa penelitian oleh Duley dkk. menunjukkan bahwa magnesium sulfat merupakan pilihan utama untuk mencegah eklamsia. Magnesium sulfat lebih efektif daripada diazepam untuk terapi dan pencegahan eklamsia.16 Dibandingkan dengan fenitoin, magnesium sulfat juga lebih efektif untuk terapi eklamsia dan dapat mengurangi rekurensi kejang pada eklamsia.17 Mekanisme kerja magnesium sulfat adalah dengan memblok reseptor NMDA yang berperan pada terjadinya kejang, atau memblok pintu kalsium yang diperlukan untuk kontraksi otot polos vaskuler sehingga dapat dipergunakan untuk mencegah vasospasme pada eklamsia.2,6 Data menunjukkan bahwa efek dilatator pembuluh darah sistemik lebih prominen daripada vasodilatator serebralnya sehingga akan menurunkan tekanan perfusi serebral yang akan mencegah terjadinya udem serebri. Efek inilah yang membuat magnesium sulfat penting dalam mekanisme penekanan kejang.6
Beberapa penelitian oleh Duley dkk. menunjukkan bahwa magnesium sulfat merupakan pilihan utama untuk mencegah eklamsia. Magnesium sulfat terbukti lebih efektif daripada diazepam untuk terapi dan pencegahan eklamsia.16,17 Selain itu magnesium sulfat juga lebih efektif untuk terapi eklamsia dan dapat mengurangi kejang pada eklamsia dibandingkan dengan fenitoin.18
Penggunaan manitol pada pasien ini adalah sebagai osmoterapi yang akan menurunkan volume otak dengan menurunkan kandungan airnya, menurunkan volume darah dengan vasokonstriksi, dan menurunkan volume liquor cerebro spinalis (LCS) dengan menurunkan kandungan airnya. Manitol juga akan memperbaiki perfusi serebral

dengan menurunkan viskositas atau merubah rheologi sel darah merah serta mempunyai efek protektif terhadap biochemical injury.12
Penggunaan furosemid pada pasien ini selain sebagai antihipertensi, juga sekaligus mempunyai efek memperpanjang efek osmotic dari pengobatan manitol.12 Rekomendasi penggunaan antihipertensi pada penderita eklamsia adalah tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolic > 105 mmHg atau bila tekanan arteri rata-rata (MAP) ≥ 125 mmHg. Pengobatan ini bertujuan untuk menurunkan resiko gangguan autoregulasi serebrovaskuler akibat hipertensi, sehingga hiperperfusi serebral yang dapat menimbulkan udem vasogenik dapat dicegah. Beberapa rejimen yang direkomendasikan adalah hydralazine, labetolol, nifedipin dan sodium nitropruside.4,19
Pada pasien ini diberikan nifedipin sebagai antihipertensi. Nifedipin peroral terbukti efektif dalam pengobatan hipertensi emergensi akut yang terjadi pada kehamilan, yang dapat mengontrol hipertensi dengan lebih cepat. Adanya kecenderungan deplesi dan penurunan perfusi ginjal pada eklamsia dapat diperbaiki dengan pemberian nifedipin peroral karena efeknya yang memperbaiki sirkulasi darah ke ginjal. Selain itu nifedipin aman digunakan karena tidak menurunkan aliran darah uteroplasenta dan tidak berpengaruh terhadap abnormalitas jantung fetal.20 Pada pasien ini juga diberikan oksigenasi yang merupakan upaya hiperventilasi. Hiperventilasi akan membantu menurunkan peningkatan tekanan intracranial.15,12
Hipertensi pada pasien ini merupakan hipertensi emergensi, dimana terjadi komplikasi sistemik pada paru dengan adanya udem paru pada pemeriksaan X-Ray thoraks, serta liver yang nampak pada pemeriksaan laboratorium darah dengan peningkatan bilirubin total, bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, dan peningkatan AST. Dengan adanya peningkatan nilai tes fungsi hati ini dapat dikatakan sebagai sindroma HELLP (Hemolisis, Elevated Liver function test, Low Platelet count) parsial. Selain itu keterlibatan sistemik pada eklamsia sering juga terjadi pada ginjal dan plasenta. Adapun proses yang terjadi pada organ-organ tersebut identik dengan proses mikrovaskuler yang terjadi di otak.1
Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemberian antiudem yang cepat dan tepat berdasarkan pemahaman patofisiologi udem serebri yang terjadi pada eklamsia akan memperbaiki manifestasi klinis kelainan neurologi. Udem sitotoksik pada pasien ini dapat



diperbaiki dengan pemberian manitol dan magnesium sulfat, sedangkan udem vasogenik dapat diperbaiki dengan pemberian nifedipin sebagai obat antihipertensi. Selain itu udem serebri dapat pula diatasi dengan pemberian oksigenasi.

2.5   Intrauterine fetal death (IUFD)
   Intrauterine fetal death (IUFD) adalah janin yang mati dalam rahim
dengan berat 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20
minggu atau lebih. Terdapat beberapa faktor maternal, fetal, dan plasenta yang
mempengaruhi risiko IUFD. Dalam kasus ini, diagnosis IUFD ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Beberapa studi yang dilakukan pada akhir-akhir ini melaporkan sejumlah
faktor risiko kematian fetal, khususnya IUFD. Peningkatan usia maternal akan
meningkatkan risiko IUFD. Wanita diatas usia 35 tahun memiliki risiko 40-50%
lebih tinggi akan terjadinya IUFD dibandingkan dengan wanita pada usia 20-29
tahun. Risiko terkait usia ini cenderung lebih berat pada pasien primipara
dibanding multipara. Selain itu, kebiasaan buruk (merokok), berat maternal,
kunjungan antenatal care, faktor sosioekonomi juga mempengaruhi resiko
terjadinya IUFD (Sarah and Mcdonald, 2007).
Kasus
Pada tanggal 24 Agustus 2012 datang seorang pasien, Ny. M, G3P2A0,
38 tahun, gravid 28 minggu ke RSUD Jendral Ahmad Yani Metro dengan keluhan
utama perut terasa kencang sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak pernah merasa perutnya kencang seperti
ini sebelumnya. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, telah keluar air-air dan
lendir dari liang kemaluannya. Lendir berwarna bening, lengket, dan tidak ada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
13
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
darah. Pasien merasa tidak ada gerakan bayi sejak satu minggu terakhir. Pasien
merasa perutnya tidak bertambah besar. Pasien juga merasa mules-mules seperti
mau melahirkan sejak tadi pagi hari, hilang timbul dan tidak teratur.
Pasien melakukan antenatal care (ANC) di Puskesmas 3 kali selama
kehamilan, tidak teratur setiap bulan, terakhir pada 1 Agustus 2012 dan terdapat
denyut jantung janin (DJJ), selama ANC dikatakan tidak ada kelainan. Pasien
tidak pernah dilakukan USG.
Pasien tidak pernah mengalami trauma selama hamil, pasien juga tidak ada
riwayat demam tinggi dan alergi, riwayat minum alkohol dan merokok juga
disangkal pasien, riwayat memelihara binatang peliharaan disangkal, riwayat
makan makanan setengah matang/panggang disangkal, riwayat keputihan
disangkal, riwayat minum obat-obatan lama juga disangkal.
Pasien mengalami haid pertama haid terakhir (HPHT) pada tanggal 27
Januari 2012 dengan taksiran persalinan pada tanggal 3 Oktober 2012. Pasien
menikah satu kali dengan usia perkawinan 20 tahun. Kehamilan sekarang
merupakan kehamilan ke 3, dimana 2 kehamilan yang lalu dilahirkan dengan
persalinan normal (aterm, pervaginam spontan) dibantu oleh bidan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan
umum tampak sakit sedang, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80x/menit,
pernapasan 22x/menit, dan suhu 36,7oC. Kepala tampak normocephali, kedua
konjungtiva mata tidak anemis dan tidak ikterik, kelenjar getah bening (KGB)
pada leher tidak membesar, mammae tampak simetris, membesar dan areola
hiperpigmentasi, paru-paru, jantung dan ekstremitas dalam batas normal. Pada
status obstetrikus didapatkan kesan yaitu tinggi fundus uteri (TFU) 13 cm tidak
sesuai dengan hamil 28 minggu, letak sungsang, presentasi bokong, punggung
kanan, tidak ada denyut jantung janin, janin intrauterine, tunggal, mati.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin : 12,5 gr/dl,
hematokrit : 18,2 %, leukosit 9.600/uL, trombosit 237.000/uL, CT : 2’30’’, BT :
13’’. Pada pemeriksaan USG tampak janin tunggal, intra uterin, letak sungsang,
tidak ada gerakan janin, tidak ada denyut jantung janin, terdapat Spalding Sign,
biparietal diameter (BPD) 15 mm, ketuban sedikit.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
14
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis G3P2A0, 38 tahun, gravid 28
minggu, janin tunggal mati, intrauterin, presentasi bokong, letak sungsang, belum
inpartu dengan Intrauterine Fetal Death (IUFD). Penatalaksanaan pada pasien ini,
yaitu observasi tanda-tanda vital/jam, observasi tanda-tanda inpartu, rencana
terminasi kehamilan, merangsang kontaksi uterus dengan uterotonika, dan
pemberian antibiotik untuk mecegah infeksi.
Pembahasan
Pada kasus ini Ny.M, 38 tahun dengan diagnosis Intra Uterine Fetal Death
( IUFD ). Pada kasus ini, diagnosis IUFD ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
IUFD menurut ICD 10 – International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems adalah kematian fetal atau janin pada usia
gestasional ≥ 22 minggu (Petersson, 2002). WHO dan American College of
Obstetricians and Gynecologist (1995) menyatakan IUFD adalah janin yang mati
dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih tau kematian janin dalam
rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Petersson, 2003; Winknjosastro,
2008).
Untuk mendiagnosis IUFD dari anamnesis biasanya didapatkan gerakan
janin yang tidak ada, perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil
(kehamilan tidak seperti biasanya), perut sering menjadi keras, merasakan sakit
seperti ingin melahirkan, danpenurunan berat badan (Agudelo et al., 2004; Mu et
al., 2003; Winknjosastro, 2008).
Pemeriksaan fisik pada pasien IUFD biasanya didapatkan tinggi fundus
uteri berkurang atau lebih rendah dari usia kehamilan, tidak terlihat gerakangerakan
janin yang biasanya dapat terlihat pada ibu yang kurus. Pada palpasi
didapatkan tonus uterus menurun, uterus teraba flaksid, dantidak teraba gerakangerakan
janin. Pada auskultasi tidak terdengar denyut jantung janin setelah usia
kehamilan 10-12 minggu (Agudelo et al., 2004; Mu et al., 2003; Winknjosastro,
2008).
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
15
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
Pemeriksaan fisik yang telah dilakukan pada pasien ini yaitu pemeriksaan
obstetri, inspeksi menjelaskan tanda- tanda kehamilan tidak sesuai dengan masa
kehamilan. Ukuran tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan usia kehamilan. Hal ini
dikarenakan kematian janin pada kasus ini sudah berlangsung 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Pada palpasi, tidat teraba gerak janin dan pada auskultasi
dengan pemeriksaan Doppler tidak terdengar bunyi jantung janin, hal ini turut
membuktikan adanya kematian janin intra uterin.
Pada pemeriksaan laboratorium, hanya didapatkan pemeriksaan darah
rutin dalam batas normal. Seharusnya dilakukan pemeriksaan darah yang lebih
lengkap yaitu fibrinogen untuk mengetahui ada tidaknya permasalahan pada
faktor pembekuan darah dari faktor janin terhadap maternal.
Pada pemeriksaan USG biasanya akan didapatkan beberapa tanda yaitu,
tulang tengkorak saling tutup menutupi (Spalding’s Sign), tulang punggung janin
sangat melengkung (Naujokes’s Sign), hiperekstensi kepala (Gerhard’s Sign),
Gelembung gas pada badan janin (Robert’s Sign), dan femur length yang tak
sesuai dengan usia kehamilan (Agudelo et al., 2004; Mu et al., 2003;
Winknjosastro, 2008)
Pada pemeriksaan USG yang telah dilakukan pada pasien ini, ditemukan
janin tunggal, intrauterine dengan letak sungsang. Didapatkan kesan janin IUFD
disertai dengan deskripsi yang menjadi dasar diagnosis IUFD, seperti tidak adanya
gerakan janin dan tidak ada denyut jantung janin, terdapat Spalding’s Sign
sehingga dapat ditegakkan diagnosis IUFD dengan pasti.
Penyebab IUFD pada pasien ini bisa dikarenakan faktor maternal dan fetal.
Berdasarkan anamnesis, pasien ini tidak ada riwayat trauma, infeksi, dan alergi
dalam kehamilannya ini. Pasien juga mengaku tidak punya kebiasaan minum
alkohol, merokok, dan minum obat- obatan lama. Namun melihat usia ibu 38
tahun, dapat merupakan faktor ibu yang terlalu tua saat kehamilan.
Faktor fetal belum dapat kita singkirkan karena sebaiknya dilakukan
pemeriksaan autopsi apakah terdapat kelainan kongenital mayor pada janin.
Pasien tidak memiliki binatang peliharaan, makan daging setengah matang, yang
menurut literatur dapat menyebabkan infeksi toksoplasmosis pada janin. Anomali
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
16
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
kromosom biasanya terjadi pada ibu dengan usia diatas 40 tahun, dan dibutuhkan
analisa kromosom. Inkompatibilitas Rhesus juga sangat kecil kemungkinannya
mengingat pasien dan suaminya dari suku yang sama.
Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian janin
dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: (Winknjosastro, 2008; Cuningham et al.,
2004)
1. Golongan I : Kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu penuh
(early fetal death)
2. Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate fetal
death)
3. Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal death)
4. Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan di
atas.
Pada kasus ini, kematian janin yang terjadi pada usia kehamilan 28
minggu, sehingga pada kasus ini termasuk golongan II yaitu (intermediate fetal
death). Penatalaksanaan pada kasus IUFD yaitu dengan terminasi kehamilan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : (Cuningham et al., 2004; Weeks,
2007)
1. Pilihan cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun ekspektatif,
perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum keputusan diambil.
2. Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif maka tunggu persalinan spontan
hingga 2 minggu dan yakinkan bahwa 90 % persalinan spontan akan terjadi
tanpa komplikasi
3. Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan
penanganan aktif.
4. Jika penanganan aktif akan dilakukan, nilai serviks yaitu
a. Jika serviks matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin atau
prostaglandin.
b. Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan
prostaglandin atau kateter foley, dengan catatan jangan lakukan
amniotomi karena berisiko infeksi
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
17
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
c. Persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir
5. Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun dan
serviks belum matang, dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol:
a. Berikan misoprostol 25 mcg dipuncak vagina dan dapat diulang
sesudah 6 jam
b. Jika tidak ada respon sesudah 2x25 mcg misoprostol maka naikkan
dosis menjadi 50mcg setiap 6 jam. Jangan berikan lebih dari 50 mcg
setiap kali dan jangan melebihi 4 dosis.
6. Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika untuk metritis.
7. Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah,
waspada koagulopati
8. Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan
melakukan kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut.
9. Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya patologi
plasenta dan infeksi .
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan literatur, yaitu dilakukan
dengan penanganan aktif. Terminasi kehamilan segera pada pasien ini dipilih
melalui induksi persalinan pervaginam dengan mempertimbangkan kehamilan
aterm dan mengurangi gangguan psikologis pada ibu dan keluarganya.
Penanganan secara aktif pada pasien ini juga sudah sesuai dengan prosedur yang
seharusnya. Pada kasus ini persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu,
sehingga perlu pematangkan serviks dengan misoprostol atau prostaglandin F2.
Komplikasi IUFD lebih dari 6 minggu akan mengakibatkan gangguan
pembekuan darah yang meluas (Disseminated intravascular coagulation atau
DIC), infeksi, dampak psikologis dan berbagai komplikasi yang membahayakan
nyawa ibu (Winknjosastro, 2008).
Penyebab kematian pada janin dalam kasus ini, kemungkinan besar akibat
dari faktor maternal,dimana usia ibu yang terlalu tua (> 35 tahun) (Sarah and
Mcdonald, 2007).
Edukasi pada pasien ini ialah penjelasan mengenai program KB dan
memotivasi ibu untuk mengikutinya, mengingat sudah memiliki anak 2 dan usia
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
18
Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
ibu yang sudah tua. Mengedukasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
mengenai kehamilan pada usia ibu yang tua. Memberikan dukungan psikologis
agar pasien tidak terganggu akibat kematian janin yang dialaminya saat ini, dan
menyarankan kepada keluarga pasien untuk memberikan dukungan yang besar
untuk ibu.
Simpulan. Bedasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien ini didiagnosis sebagai IUFD. Faktor maternal merupakan
kemungkinan terbesar penyabab kematian janin dalam kasus ini. Terminasi kehamilan
merupakan tatalaksana dari IUFD.
2.6  Ruptur Uteri
            Terjadinya rupture uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya. Kematian ibu dan anak karena rupture uteri masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tinggi kita jumpai dinegara-negara yang sedang berkembang, seperti afrika dan asia. Angka ini sebenarnya dapat diperkecil bila ada pengertian dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping fasilitas pengangkutan dari daerah-daerah periver dan penyediaan darah yang cukup juga merupakan faktor yang penting.
Ibu-ibu yang telah melakukan pengangkatan rahim, biasanya merasa dirinya tidak sempurna lagi dan perasaan takut diceraikan oleh suaminya. Oleh karena itu, diagnosis yang tepat serta tindakan yang jitu juga penting, misalnya menguasai teknik operasi.
Menurut lokasinya:
1. Korpus Uteri
    Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti; SC                                                                                                                                                                       klasik(korporal) atau miomektomi.
2. Segmen bawah rahim
   Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah   tegang dan tipis dan akhirnya terjadi rupture uteri.
3. Servik uteri
  Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versa dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-kolporeksi
   Robekan-robekan diantara servik dan vagina.
Upaya pencegahan (provilaksis)
1. Panggul sempit (CPD)
Anjurkan bersalin dirumah sakit
2. Malposisi kepala
Cobalah lakukan reposisi, kalau kiranya sulit dan tidak berhasil, pikirkan untuk melakukan SC primer saat inpartu
3. Malpresentasi
letak lintang atau presentasi bahu, maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid servik
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara dan abdomen pendulum
9. Pada bekas SC
10. Uterus cacat karena miomektomi, curetage, manual uri, maka dianjurkan bersalin diruma sakit dengan pengawasan yang teliti
11. Rupture uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah dengan bekerja secara legeartis, jangan melakukan ekspresi kristeler yang berlebih-lebihan, bidan dilarang memberikan oksitosin sebelum janin lahir
Tindakan pertama adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah, kardiotonika, antibiotika. Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi.

Kasus
Senin  25  Desember 2012 pukul 10.00 WIB
Ibu datang kebidan mengatakan hamil anak ke lima sudah melahirkan secara normal 2 kali dan secara operasi sesarea 2 kali dan tidak pernah keguguran dengan HPHT 04 juni 2012. Ibu mengeluh nyeri perut bagian bawah, keluar darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules sejak 1 jam yang lalu.
Keadaan umum gelisah dan tampak cemas, kesadaran compos mentis, keadaan emosional syok, TD: 80/60 mmhg, N : 100x/menit, S: 380C, R: 30x/menit, BB sekarang 72 kg, BB sebelumnya 63 kg, muka tidak oedema, konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik, Pemeriksaan abdomen: terdapat luka bekas operasi, Palpasi : TFU : ¹/3 antara pusat dan PX (Prosesus Xyfoideus) (28 cm), L1 = Difundus teraba bulat, lunak, tidak melenting ( Bokong ), LII = sebelah kanan teraba kecil-kecil ( ektermitas ), sebelah kiri teraba lurus seperti papan ( punggung ), LIII = Disymphisis teraba keras, bulat, melenting ( kepala ) masih bisa digoyangkan, LIV =  belum masuk PAP. DJJ (+) 144x/menit, teratur. Ekstremitas atas dan bawah simetris, tidak ada oedema, tidak ada varises. Pemeriksaan Dalam : portio : nyeri goyang. Data penunjang : Hb : 9 gr %
A  :    Ny. Z Usia 42 tahun G5PA0 hamil 28 minggu dengan rupture uteri
Janin Tunggal Hidup Intra Uterin Presentasi Kepala
P :
1.            Menyampaikan hasil pemeriksaan (bahwa ada penyulit yang menyertai, menjelaskan  kemungkinan untuk ditranfusi darah, dan  dilakukan operasi)
Hasil : ibu telah mengetahui hasil pemeriksaan
2.            Mengatur posisi ibu senyaman mungkin
Hasil : ibu sudah diposisikan dengan posisi tidur
3.            Memberi dukungan  psikologis  pada  ibu
Hasil : ibu terlihat tenang setelah  diberikan dukungan  psikologis
4.            Memberi cairan Ringer Laktat 28 tetes/menit
Hasil : cairan Ringer Laktat sudah diberikan dengan 28 tetes/menit
5.            Memberikan antibiotic ampicilin 2 gr melalui IV
Hasil : antibiotic ampicilin 2gr  sudah diberikan melalui IV
6.            Segera merujuk ibu dengan membawa BAKSOKUDA (Bidan, Alat, keluarga, Surat (dokumentasi), Obat, Kenderaan, Uang, Donor darah).
Hasil : hal-hal yang diperlukan untuk rujukan sudah dipersiapkan  dan pasien siap dirujuk.

PEMBAHASAN
Pada awal pemeriksaan penulis memberikan pelayanan standar 10 T, hal ini sesuai dengan Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kementrian Kesehatan RI, bahwa pelayanan atau asuhan standar minimal pemeriksaan 10 T. Pasien telah melakukan 2 kali kunjungan ANC.
Dari hasil anamnesa didapat Ny. Z berumur 42 tahun, hamil yang kelima, menurut teori bahwa umur yang baik untuk ibu hamil adalah 20-35 tahun agar segalanya sehat, baik reproduksinya maupun psikologinya. Berarti tidak sama antara teori dengan kasus yang diambil, jadi Ny. Z tergolong kurang baik untuk hamil karena umurnya 42 tahun dan hamil kelima ini tidak sesuai dengan program pemerintah yaitu dua anak lebih baik.
Menurut teori bahwa umur yang baik untuk ibu hamil adalah 20-35 tahun agar segalanya sehat, baik reproduksinya maupun psikologinya, sedangkan dari hasil anamnesa didapat Ny. Z berumur 42 tahun, hamil yang kelima. Hal ini menunjukan bahwa Ny. Z tidak termasuk  kedalam katagori usia yang dianjurkan untuk hamil.
Pada riwayat menstruasi Ny. Z didapatkan informasi bahwa siklus haidnya 28 hari, teratur, sehingga tapsiran persalinan Ny. Z dapat menggunakan rumus Neagel, dimana hari pertama haid terakhir tanggal 08 Oktober 2012, dengan tapsiran persalinan tanggal 15 Juli 2013 (Wiknjosastro, 2006).
Pada usia kehamilan 12 minggu ibu mengeluh nyeri perut bagian bawah, keluar darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules.
bahwa nyeri perut bagian bawah, keluar darah pada kemaluan, sesak nafas dan mules-mules yang dialami ibu, menurut teori adalah tanda bahaya kehamilan trimester I ( Sarwono,2002 ). Tekanan darah Ny Z juga mengalami penurunan dari 110/70 mmHg pada usia kehamilan 8 minggu menjadi 80/60 mmHg pada usia kehamilan 12 minggu menurut teori bahwa tekanan darah ibu hamil normal 110/70 mmHg – 120/80 mmHg (Sarwono,2002) sedangkan dari hasil data objektif didapatkan Tekanan darah Ny. Z 80/60 mmHg. Hal ini Ny. Z termasuk keadaan yang tidak normal ( hipotensi ). Muka tidak oedema, konjungtiva pucat. Pemeriksaan abdomen: terdapat luka bekas operasi, Palpasi : TFU : 2 jari dibawah pusat (16 cm). Menurut teori bahwa normal TFU usia kehamilan 12 minguu adalah 3 jari diatas sympisis ( Mc.donald ). saat dilakukan pemeriksaan penunjang, didapat hasil Hb: 9 gram % Hal ini menunjukan keadaan ibu anemis karena menurut teori bahwa normal ibu hamil 11 gr % (Depkes RI ). Sehingga ibu didiagnosa mengalami rupture uteri, dilihat dari faktor riwayat persalinan yang lalu.
Dikarenakan adanya komplikasi kehamilan pada Ny.Z, maka Ny.Z dirujuk ke tempat yang memiliki fasilitas yang memadai, hal ini sesuai dengan APN 2008 rujukan dalam kondisi optimal dan tepat waktu ke fasilitas rujukan atau fasilitas yang memiliki sarana lebih lengkap.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
      Setelah beberapa kasus yang terajdi seperti plasenta previa, solusio plasenta, preeklamsia ringan dan berat, rupture uteri dan eklamsia bahwa semuanya sebenarnya dapat di atasi atau ditangani dengan cepat dan tepat. Namun ada banyak hal yang dapat menyebabkan itu terjadi dan disinilah dibutuhkan keterampilannya seorang bidan mulai dari skill/ kemampuan, tidak salah dalam penatalaksaan persalinan, dan mendirikan diagnosis yang tepat agar terhindar dari kematian ibu.
           Terutama pada kasus pendarahan seorang ibu yang melahirkan, kasus ini masih sangat tinggi bahkan sering menyebakan kematian, inilah yang harus diperbaiki dan harus mengetahui apa penyebab itu terjadi. Dan disinilah peran bidan  harus dapat menanganinya.
3.2 Saran
            Saat menangani proses persalinan terlebih dahulu kita harus mengetahui yang terjadi pada kondisi ibu sehingga bidan dapat mengambil langkah untuk tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.









DAFTAR PUSTAKA


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 Embung Kebidanan. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates